Tuesday, December 14, 2010

Tema dan Sub Tema GMKI

Tema :
Jadilah berhikmat! Berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan
(Amsal 8:1-21).

Sub tema:
Mendorong Solidaritas Bangsa Untuk Memperjuangkan Kebenaran, Keadilan dan Kesejahteraan Dalam Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia Secara Bermartabat.

I. Pengantar
Dalam setiap Kongres, tema ditetapkan sebagai landasan penatalayanan GMKI yang menjiwai seluruh gerak internal maupun eksternal organisasi. Tema adalah gambaran dari seluruh realitas dalam trimatra pelayanan (gereja, perguruan tinggi, dan masyarakat) yang dirumuskan berdasarkan pertimbangan dan hasil analisa pada konteks pergumulan GMKI. Oleh sebab itu tema haruslah merupakan abstraksi realitas sekaligus seruan profetis yang berisi sikap, posisi dan harapan GMKI terhadap kehidupan sosial.

Subtema merupakan penjabaran tema dalam konsep operasional, yang sifatnya akumulatif untuk memberikan tuntunan bagi perumusan program, dengan memuat gagasan tentang berbagai aspek kehidupan yang menjadi sasaran aktualisasi pelayanan GMKI. Aspek-aspek yang digagas dalam subtema merupakan pilihan sadar untuk menjadi media pengejawantahan tema.

II. Kajian Teologis Tema
Jadilah berhikmat! Berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan (Amsal 8:1-21).

Kitab Amsal adalah bagian dari Kanon, karena itu sama otoritasnya dengan kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain. Seluruh pengajaran dalam Kitab Amsal adalah “firman Allah”. Pengajaran itu mengandung penyataan Allah, merupakan kesaksian tentang Allah dan kehendak Allah. Seluruhnya penting bukan hanya bagi orang Israel dulu tetapi juga bagi orang Kristen pada zaman ini. Dengan demikian, semua orang Kristen perlu mempelajari Kitab Amsal, baik orang muda maupun orang tua, yang kurang berpendidikan atau berpendidikan tinggi, yang berpengalaman atau tidak berpengalaman, bahkan para guru atau pengajar gereja (Sinulingga, 2010).

Kitab Amsal menekankan pengajaran yang akan membawa seseorang kepada sikap hidup yang “takut akan Tuhan”, sikap hidup yang amat dibutuhkan ditengah-tengah dekadensi moral yang umumnya terjadi dalam masyarakat Indonesia. Karena sikap hidup “takut akan Tuhan” adalah langkah pertama dan elemen utama semua pengetahuan dan ilmu pengetahuan (Ams. 1:7). “Takut akan Tuhan” harus menjadi pemandu bagi setiap orang yang mencari atau mengaplikasikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, bahkan “takut akan Tuhan” itu menjadi karakteristik moralnya.
Kitab Amsal, Ayub, dan Pengkhotbah, merupakan bagian dari tulisan-tulisan hikmat pada Perjanjian Lama. Menurut tradisi orang Yahudi, sesuai dengan kata-kata yang tercantum dalam Amsal 1:1a, kitab ini ditulis Raja Salomo. Memang, bagian dari isi kitab tersebut berasal dari masa Kerajaan Israel kuno, bahkan kemungkinan besar dari Raja Salomo, yang menggunakan bermacam-macam bahan (lih. 1 Raj. 3-5). Tetapi, dengan disebutkannya macam-macam penulis, selain Raja Salomo, dalam perikop tertentu dari Kitab Amsal (Ams. 1:1; 10:1; 22:17; 23:23; 25:1; 30:1; 31:1), jelaslah bahwa kitab ini merupakan koleksi dari aneka ragam tulisan dan penulis. Sinulingga (2010) juga menegaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian terhadap konsep hikmat dan bahasa Ibrani dalam Kitab Amsal, ternyata bahwa kitab ini tidak mungkin seluruhnya ditulis pada satu masa, apalagi oleh seorang saja. Tidaklah seluruh bagian kitab ini berasal dari masa Kerajaan, tetapi sebagian dari masa sebelum Kerajaan (sekitar abad ke-12 s/d 10 sM.), yang lainnya dari masa Pembuangan (sekitar abad ke-7 sM.) dan sesudah Pembuangan (sekitar abad ke-6 sM.).

Kitab Amsal berisi bahan pendidikan tradisional yang digunakan oleh umat Israel sejak masa sebelum Kerajaan sampai sesudah Pembuangan. Sebagian kitab yang berisi bahan pendidikan bagi salah satu bangsa di Timur Tengah Kuno, tentu kitab ini mempunyai banyak persamaan dengan bahan pendidikan bangsa-bangsa lain di wilayah tersebut. Tetapi sistuasi dan kondisi, terutama konsep keagamaan umat Israel yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain, memberi warna khusus kepada Kitab Amsal. Dapat diduga bahwa bahan pendidikan dari Timur Tengah Kuno mempengaruhi kitab ini, tetapi bahan itu terlebih dahulu mengalami penyesuaian keagamaan umat Israel. Itulah yang membuat kitab tersebut memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan kitab pendidikan bangsa-bangsa lain tersebut. Sebagai contoh, konsep keagamaan Israel Kuno yang mempengaruhi kitab Amsal, amat berbeda dengan konsep keagamaan filsafat Yunani, yang sudah mulai populer dan berpengaruh terhadap bahan pendidikan Helenistik pada masa penulisan Kitab Amsal.

Bahan pendidikan Israel ini selalu bersifat teologis. Kadangkala, bahan pendidikan yang terdiri dari pengajaran hikmat itu, merupakan bahasan teologi yang sistematis, kerap pula berisi ulasan etis, dan yang paling sering mengenai perilaku yang amat praktis. Ketiganya, secara langsung atau tidak, tentu didasarkan kepada agama Israel. Pengajaran hikmat yang teologi-sistematis, maupun yang etis, dan amat praktis ini mengandung penyataan Allah. Melalui pengajaran itu Allah berbicara bukan hanya kepada orang Israel tetapi juga kepada orang Kristen. Karenanya, kedua jenis pengajaran ini berguna sebagai pedoman, terutama dalam kehidupan sehari-hari umat Israel, dan juga bagi orang Kristen dewasa ini. Sehingga, Kitab Amsal sekarang pun masih perlu dipelajari untuk dihidupi sebagai pedoman hidup dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman yang terus berlangsung.

Amsal 8:1-36 berisi pengajaran tentang hikmat yang membujuk. Pengajaran yang bersifat membujuk itu langsung diucapkan oleh hikmat. Sinulingga (2010) mengungkapkan, bahwa melalui kalimat-kalimat perintah, motif dan deskriptif pada Amsal 8:1-36, disampaikan khotbah hikmat berbentuk janji dan bujukan si hikmat. Penekanan utama terletak pada nilai yang tinggi dan berkat yang diberikan hikmat. Pengajaran ini diawali oleh pendahuluan yang berisi perkenalan dari diri hikmat (ay. 1-3), dilanjutkan oleh panggilan hikmat (ay. 4-9), kemudian penjelasan tentang nilai, kekuatan, berkat hikmat (ay. 10-21), dan eksistensi serta peran hikmat itu sebelum dunia dijadikan (ay. 22-31) lalu ditutup dengan kesimpulan (ay. 32-36).

Selajutnya, Amsal 8:10-21 berisi pengajaran mengenai nilai (ay. 8-11), kekuatan (ay. 12-16), dan berkat hikmat (ay. 17-21). Pengajaran ini merupakan penjelasan lanjutan dari panggilan hikmat pada perikop sebelumnya. Panggilan hikmat yang dipersonifikasi perlu didengarkan bukan saja karena pengajarannya adalah pelajaran moral yang berguna bahkan mulia, tetapi juga karena alasan lain, yaitu nilai dan kekuatannya, serta berkatnya yang sama dengan berkat Tuhan.

Pengajaran tentang nilai hikmat yang melebihi segala sesuatu disampaikan melalui kalimat perintah (ay.10), yang diperkuat oleh kalimat motif pada ayat 11. Istilah yang digunakan dalam perikop ini adalah “didikan” (musar), “pengetahuan” (da’at) dan “hikmat” (khokma). Istilah “didikan” digunakan untuk disiplin moral yang memampukan seseorang untuk menertibkan hidupnya. Sedangkan pengetahuan dan hikmat adalah dua istilah yang berbeda, tetapi mempunyai makna yang sama. Keduanya merupakan istilah umum untuk hikmat dan pengetahuan; bisa dalam konotasi ketrampilan dan kemampuan teknis, tetapi bisa juga dalam konotasi agama atau kualitas moral. Sehubungan dengan pembahasan sebelumnya, kedua istilah ini harus dipahami dalam makna yang terakhir. Yang mau dikatakan guru hikmat adalah pengajaran moral dari si hikmat yang dipersonifikasi lebih berharga dari perak, emas pilihan, dan permata, bahkan melebihi semua yang diinginkan orang (ay. 11).

Amsal 8:12-16 mengungkapkan tentang kekuatan hikmat yang luar biasa. Melalui kalimat deskriptif diterangkan bahwa hikmat memberi kekuatan kepada manusia, termasuk para pembesar seperti hakim dan raja-raja, untuk melaksanakan tugasnya. Alasan lain untuk mendengarkan panggilan hikmat adalah agar mendapatkan kekuatan yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Dikemukakan melalui kalimat deskriptif pada ayat 12 bahwa hikmat yang dipersonifikasi ini mempunyai kekuatan khusus, sesuai dengan jenis pengetahuan yang ada padanya.

Jadi hikmat yang dimiliki dan yang diajarkan oleh hikmat yang dipersonifikasi tentulah berhubungan dengan pengajaran moral. “Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan” (ay. 13a) adalah tujuan yang mendasar dari suatu agama. Kepercayaan dan penyembahan yang benar serta ketaatan terhadap undang-undang dalam agama tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa membenci kejahatan. Dalam ayat 13b keempat istilah ini diletakkan pada posisi bertentangan dengan “kejahatan”, kesombongan”, “kecongkakan”, tingkahlaku yang jahat”, dan “mulut tipu muslihat”. Karena itu, dapat diduga bahwa hikmat yang dimaksud adalah pengajaran moral tentang kepercayaan dan penyembahan terhadap Allah, khususnya ketaatan kepada undang-undang Allah dan penolakan terhadap aneka ragam bentuk keburukan dan kejahatan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, hikmat juga akan memberi kemampuan dan kekuatan kepada para pejabat, yaitu raja, pembesar, para bangsawan, dan hakim untuk memerintah dengan penuh kebenaran dan keadilan, bukan dengan kekejaman. Karena kemampuan dan kekuatan ini berjalan bersama-sama dengan “Takut akan Tuhan”, tetapi bertentangan dengan kejahatan, kesombongan, dan kata-kata yang penuh tipu muslihat.

Kemudian, dalam Amsal 8:18 dikemukakan alasan terakhir untuk mendengarkan hikmat, yaitu berkat hikmat. Hikmat yang dipersonifikasi memiliki wibawa ilahi karena ia memberi berkat yang hanya mungkin diberikan oleh Tuhan. Melalui kalimat deskriptif pada ayat 17 dan 18 dikemukakan langsung oleh hikmat bahwa berkatnya akan diberikan kepada orang yang sungguh-sungguh mengasihi hikmat dan yang dengan tekun mencarinya; “Jadilah berhikmat! Berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan”. Sesuai dengan bahasan sebelumnya tentang hikmat, maka dapat disimpulkan bahwa orang yang mengasihi dan tekun mencari hikmat adalah orang yang memiliki kepercayaan penuh kepada Allah, setia dalam penyembahan terhadap-Nya, bahkan menaati hukum dan undang-undang-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dia suka akan bimbingan moral yang berasal dari undang-undang Allah tersebut. Orang yang seperti ini adalah orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menanggulangi aneka ragam masalah dalam kehidupannya, bahkan mampu melaksanakan pekerjaannya dengan benar dan adil. Karena itu pasti orang ini pulalah yang akan menerima berkat hikmat.

III. Kajian umum tema
Bagaimana kita dapat memahami tanda-tanda zaman yang sedang terjadi saat ini? Barangkali banyak dari kita yang sudah tidak antusias lagi membicarakan hal-hal yang bersifat prinsipil, baik dalam hal moral maupun etika, karena semua orang telah tahu bahwa hal itu adalah mustahil. Mungkin kita juga sudah malu bahkan enggan membicarakan sesuatu yang ideal, tentang nilai-nilai, cita-cita luhur dan sebagainya.

Pada kondisi sekarang ini kita serasa kehilangan gairah dalam menatap masa depan. Mungkinkah kita sudah memasuki sebuah kultur yang pesimis yang menghantar orang banyak kepada pesimistic retreat? Tetapi, barangkali banyak dari antara kita yang belum sampai pada kondisi pesimistic tersebut. Namun, paling tidak, setiap hari kita menemukan ada tumpukan sikap cuek, skeptis dan apatis terhadap perkembangan budaya bangsa kita di dalam menghadapi masa depan.

Banyak orang lari pada kesempatan dunia privatnya, untuk mengejar apa yang masih bermakna dan menyenangkan untuk dirinya sendiri, tanpa peduli apa yang terjadi di luar sana. Situasi eksistensial yang buram inilah yang mungkin bisa menghubungkan kita sekaligus menyadarkan kita secara lebih mendalam dengan semua dinamika yang terjadi. Bagaimana kita dapat berjalan dalam kesulitan hidup zaman sekarang ini, dan menghidupi nilai-nilai kehidupan manusia yang seutuhnya di negeri yang sangat miskin cinta dan kasih, dalam budaya bangsa kita yang sekarang ini sedang mengalami carut-marut.

Menyadari kondisi yang terjadi pada belakangan ini, tampaklah adanya sebuah pengamatan yang telah terjadi, yang pernah dikemukakan oleh Sindunata (2002) pasca reformasi yang telah berlangsung dalam konteks masyarakat Indonesia. Dalam refleksinya Sindunata melihat tanda-tanda zaman pada masyarakat yang tanpa pusat. Di mana, dalam waktu yang relatif singkat, menjelang abad kedua puluh satu ini – yang sekarang kita kenal dalam sebutan kampung global atau global village – semua bentuk pemersatu, sentrum, perekat dan pengikat dalam masyarakat mengalami keruntuhan di tiap-tiap negara.

Sindunata telah mengungkapkan bahwa dewasa ini kita tidak dapat lagi bersandar pada tradisi, yang dulu sangat kita bangga-banggakan sebagai institusi yang mengikat kita bersama-sama. Juga tidak dapat lagi negara kita anggap sebagai institusi yang mampu mengatasi pelbagai problem yang kita hadapi. Pada kondisi sekarang kita sedang diperhadapkan pada sebuah pertanyaan, manakah sekarang objektivitas masyarakat yang boleh kita pertahankan? Dahulu memang ada objektivitas yang tidak berubah, yang dapat dijadikan ukuran (patron) untuk menilai dan menimbang sesuatu. Akan tetapi sekarang semua objektivitas yang kokoh, tak berubah dan abadi itu sudah hilang. Sebab, objektivitas tidak berada lagi sebagai patokan, tetapi sebagai sesuatu yang diperoleh dalam proses dan pengalaman, yang bisa selalu dirundingkan, karena itu juga harus selalu berubah dan tak bisa diubah.

Sindunata juga menegaskan bahwa, nilai-nilai seperti dalam anggapan tradisional itu sungguh tiada lagi. Sekarang ini nilai bukanlah harga mati. Artinya, hanya nilai yang dapat dipertanyakan, diargumentasikan dan diperdebatkan itulah yang menjadi nilai sejati, dipercaya dan dapat dipertahankan. Di bidang hukum, keadilan dan HAM, kita tidak dapat lagi berbicara secara normatif. Sekarang dalam bidang hukum ini tidak ada lagi suatu kebenaran yang substansial, sebab hukum, keadilan dan HAM sudah menjadi suatu komoditi yang bisa di tawar dengan harga yang ”pantas” di bawah laci.

Sehingga dari kondisi tersebut jelaslah apa yang dinyatakan oleh Sindunata dalam refleksinya, bahwa dapatkah suatu masyarakat tanpa sentrum itu bertahan atau dipertahankan? Dapatkah masyarakat tanpa nilai yang kokoh langgeng itu dapat berdiri? Tidakkah masyarakat demikian akan dengan mudah roboh dan ambruk? Inilah kondisi dilematis yang juga menjadi realitas hidup yang harus kita sadari dan pergumulkan saat ini. Sehingga dalam kesadaran ini ada permenungan yang akan menuntun kita untuk dapat segera bertindak dengan kritis mengatasi semua kondisi yang kita hadapi.

Sedikit atau banyak, peristiwa yang telah terjadi pada bangsa kita telah membuat masyarakat kita jenuh dan muak dengan dinamika hidup yang tidak jelas kemana arahnya. Setelah Orde Baru runtuh, tiadalah lagi sentrum yang mempersatukan kita. Kita menjadi bingung dan resah dengan fenomena yang ada. Akan tetapi, akan lebih fatal dan naif sekali jika dalam menghadapi kondisi zaman ini kita akhirnya menjadi cengeng dan berpikir untuk kembali mencari sentrum itu. Sebab, fenomena yang tampak dalam masyarakat kita saat ini memperlihatkan bahwa sangat banyak sekali orang yang ingin kembali mencari sentrum itu untuk mendapatkan dan menikmati apa yang dulu pernah dimilikinya tanpa ada gangguan apapun.

Oleh sebab itu, kita harus dapat bersikap kritis dalam melihat dan memahami semua fenomena yang terjadi pada saat ini. Dengan demikian kita akan dapat melihat apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Kesadaran GMKI untuk berada dalam pencarian transformatif haruslah terlihat dalam identitas diri yang utuh dan kuat, serta sikap hidup untuk mampu berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan. Sehingga, dengan sikap hidup yang takut akan Tuhan tersebut, maka GMKI akan diteguhkan dan tidak goyah untuk berjalan menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang datang terus-menerus.

Berangkat dari semua kondisi dan permasalahan yang telah kita lihat sebelumnya, tentu perlu suatu upaya yang dilakukan GMKI dalam perbaikan ke arah yang lebih baik (defiensi positif). GMKI sebagai umat yang percaya (gereja yang incognito) tentunya harus lebih pro aktif untuk dapat peka dan tanggap dalam memahami fenomena ataupun kondisi apa yang sedang dan akan terjadi. Khidmat-Nya telah mengajarkan kita bahwa kita haruslah senantiasa berpegang dan bersandar pada hukum-Nya – untuk jadi berhikmat, berjalan dalam jalan kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan – agar kita semua tetap teguh berjalan dan tidak tersandung dan akhirnya terjatuh dalam godaan dunia ini.

Sehingga, untuk mampu bertahan dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman yang terjadi, kita membutuhkan hikmat Tuhan, yaitu sikap hidup yang “takut akan Tuhan”. Sebab, hanya orang yang benar-benar takut akan Tuhanlah kepada mereka Allah memberikan khidmat sebagai karunia: Salomo (Mat. 12:42; Luk. 11:31), Stefanus (Kis. 6:10), Paulus (2Ptr. 3:15), Yusuf (Kis. 7:10). Salah satu khidmat yang dapat kita lihat dari karunia Kristus kepada murid-murid-Nya adalah khidmat untuk mengatakan hal benar pada masa-masa penganiayaan dan pencobaan (Luk. 21:15).

Oleh sebab itu, hikmat mutlak perlu bukan saja bagi para pemimpin gereja (Kis. 6:3), tetapi juga bagi orang-orang percaya (baik orang muda maupun tua, yang kurang berpendidikan ataupun berpendidikan tinggi, yang berpengalaman ataupun tidak berpengalaman, bahkan para guru dan pengajar gereja) guna memahami supaya dapat berjalan seperti semestinya di jalan kebenaran dan jalan keadilan Allah (Kol. 1:9; Yak. 1:5; 3:13-17), dan juga supaya berhati-hati di depan orang-orang yang tidak percaya (Kol. 4:5). Sebagaimana Paulus juga telah mengajar para pendengarnya dalam segala khidmat (Kol. 1:28), demikian pula hendaknya mereka yang telah cukup dewasa untuk memahami khidmat rohani (1Kor. 2:6, 7), dan wajib pula mengajar orang-orang lain di dalam khidmat (Kol. 3:16).

IV. Matra pelayanan GMKI

4.1 Perguruan Tinggi
Dunia pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu – terutama bagi pembangunan suatu bangsa dan negara – dalam menghadapi dan menanggapi persaingan global. Oleh sebab itu Sudarminta (2000) dan Munandar (2002) telah mengemukakan bahwa kemajuan suatu kebudayaan dan perkembangan pendidikan masa depan suatu bangsa tergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, dan hal ini berkaitan erat dengan bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan tanggap terhadap tantangan era globalisasi.

Tujuan pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan anak didik untuk mengembangkan potensinya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan peribadinya dan kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu pendidikan bertanggungjawab untuk memandu (mengidentifikasi dan membina) serta memupuk (mengembangkan dan meningkatkan) potensi yang dimiliki.

Namun, pada faktanya hingga saat ini problematika pendidikan di bangsa kita secara umum dan dalam perguruan tinggi secara khusus masih memperlihatkan masalah yang sama, bahkan semakin berat. Salah satu bentuk keprihatinan yang masih menjadi bayang-bayang dalam masyarakat kita adalah semakin meningkatnya jumlah pengangguran yang dihasilkan oleh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Kemudian, masalah-masalah yang juga perlu dicermati adalah:
• Paradigma kurikulum pendidikan berbasis kompetensi yang diselenggarakan dengan acuan kepentingan masa depan juga menghadapi masalah; ada kecenderungan lembaga pendidikan beroposisi sebagai produsen output bagi pengguna lulusan (user) dan pen-supplay kebutuhan masyarakat.
• Terjadinya passing-out beberapa jurusan atau program studi yang sudah jenuh; tidak lagi dibutuhkan karena segmen dunia kerja yang berbeda sebagai dampak dari pemenuhan target pasar.
• Munculnya masalah baru yakni usangnya kompetensi lulusan (obsolete) akibat adanya perubahan kebutuhan pengguna lulusan yang sangat cepat. Lulusan yang belum tertampung dalam dunia kerja kesulitan memasuki dunia kerja.
• Masalah mendasar lainnya adalah mekanisme atau cara yang tepat dalam mengidentifikasi yang representatif dalam mengidentifikasi kebutuhan riil pengguna lulusan di lapangan.

Perlu upaya serius dan berkelanjutan (sustainable) dalam mengatasi kondisi tersebut, dan mau tidak mau GMKI juga harus tetap berusaha memberikan solusi dalam melakukan perannya sebagai bagian dari perguruan tinggi. Sebab, jika GMKI tidak proaktif dalam mengambil peran untuk mengantisipasi hal tersebut, maka GMKI tidak akan mendapat ruang, bahkan akan ditinggalkan oleh mahasiswa. Tentunya peran konstruktif GMKI bagi perguruan tinggi tidak lahir dari struktur dan tersedianya segala sarana dan prasarana di dalam organiasasi, melainkan dimulai dari adanya kesadaran kritis dan motivasi yang kuat di dalam diri setiap kader GMKI untuk mau belajar mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki untuk menjadi lebih produktif dan kreatif agar tetap semangat untuk terus belajar dalam membangun Rumah Intelektualitas GMKI yang tinggi Iman, ilmu dan Pengabdian.

Rumah intelektualitas yang hendak dibangun oleh GMKI dalam mempersiapkan anggotanya menjadi kader-kader yang kreatif dan komptetitif di dunia akademis haruslah dibangun atas dasar iman yang teguh. Dalam artian, GMKI harus kembali menyadari bahwa hanya dengan “takut akan Tuhanlah” maka GMKI akan diperlengkapi, diteguhkan dan menerima berkat hikmat dari Tuhan. Berkat dari hikmat Tuhan itulah yang akan memampukan GMKI untuk jadi berhikmat agar dapat berjalan pada jalan kebenaran, di tengah jalan-jalan keadilan menghadapi tantangan dan problematikan pendidikan yang terjadi di perguruan tinggi.

4.2 Gereja
Konteks matra gereja yang terjadi hingga saat ini masih juga dalam kondisi dan pergumulan yang telah diungkap oleh GMKI pada kongres sebelumnya. Secara umum pelayanan gereja masih bersifat karitatif (belum pada konteks pemikiran konstruktif dan aplikatif) dan masih di sekitar tradisi pelayanan mimbar yang belum menyentuh kebutuhan dasar sebagai warga jemaat dan masyarakat dalam pemenuhan aspek kesejahteraan dalam arti yang luas. Di satu sisi, gereja juga masih terkesan terus berlomba untuk membangun gedung-gedung peribadatan yang megah, sedangkan kesejahteraan (kemiskinan) jemaat dan masyarakat sekitar luput dari perhatian dan pelayanan diakonia gereja. Pada sisi lain, diberlakukannya PERBER 2 Mentri Tahun 2006, masih menjadi problematika yang terus berproses di dalam gereja hingga saat ini untuk mendapatkan jaminan hukum atas hak untuk beribadah dan membangun rumah ibadah. Akan tetapi, gereja masih saja menganggap bahwa hal tersebut sebagai hal yang biasa, sehingga gereja belum mampu proaktif untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi problematika hukum tersebut secara bersama-sama.

Dalam pengembangan bidang ekonomi dan kesejahteraan, gereja juga belum sepenuhnya mengembangkan bentuk-bentuk usaha kemandirian yang berorientasi pada kemandirian dana untuk mendukung pembangunan ekonomi jemaat. Hal ini dimaksudkan selain menjadi sumber keuangan yang dapat menopang pelayanan gereja, dapat pula menyerap tenaga kerja dari kalangan warga jemaat. Kongkritnya, peran diakonia sosial gereja sangat dituntut dalam membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah tingkat kelayakan hidup yang seharusnya. Sebab, kondisi ini merupakan kebutuhan pelayanan gereja yang mendesak untuk dirasakan oleh jemaat.

Gereja sebagai salah satu media pewarta kritis dan fungsi kontrol seharusnya berada pada posisi dan mitra kritis pemerintah/negara yang banyak melakukan kooptasi terhadap kehidupan gereja. Kecendrungan saat ini, gereja menjadi lumpuh dan tidak lagi menjadi mandiri dalam mengkritisi kehidupan kenegaraan tetapi justru menjadi alat kepentingan negara untuk mengendalikan umat di tingkatan FKUB. Gereja terjebak dalam orientasi struktur dan figur kekuasaan negara yang pada akhirnya membuat gereja seolah-olah menjadi sub-ordinasi dan dipolitisasi oleh negara. Ini jugalah yang membuat suara kenabian gereja terdengar sumbang; gereja telah kehilangan wibawa profetisnya.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai wadah berhimpun bersama dengan tujuh aras gereja nasional (PGLII, PGPI, GOI, dst) mestinya secara bersama-sama aktif mendorong gereja-gereja anggotanya untuk tetap bersama-sama menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah kondisi bangsa yang sedang bergejolak karena diharu biru oleh gerakan-gerakan ekstrim yang destruktif di dalam berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Saat ini Gereja sedang berada dalam labirin intoleransi, dan gereja sangat diharapkan untuk mampu membawa transformasi pemahaman dan pemaknaan tentang keyakinan yang berwajah kontekstual. Sehingga, gereja mampu meletakkan dialog lintas agama dalam bingkai usaha-usaha pembangunan masyarakat komunikatif yang bebas tekanan dan dominasi. Dengan demikian, kehadiran gereja pada bangsa ini tetap menjadi berkat lewat solusi maupun upaya-upaya konstrukstif lainnya yang dilakukan bersama-sama.

4.3 Masyarakat
Gejolak krisis ekonomi dan ketidakadilan sosial, serta kemiskinan masih menjadi persoalan mendasar pada masyarakat Indonesia saat ini. Sebab, kehidupan yang sejahtera dan kelimpahan materi hanya dinikmati oleh sekelompok kecil golongan masyarakat, yang kemudian berakibat pada kesenjangan sosial yang semakin lebar dan pada akhirnya menggerus semangat kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Komitmen negara untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam membongkar dan meyelesaikan pesakitan korupsi belum dapat berjalan dengan baik, bahkan semakin meluas dan sistematis. Jaringan korupsi yang perlahan terbongkar juga melibatkan aparat maupun pejabat negara, baik legislatif, judikatif, maupun eksekutif. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa bahwa elit negara sangat rentan terhadap perilaku yang korup. Korupsi sistemik yang berjamaah di semua lembaga tersebut mengakibatkan penegakan supremasi hukum yang tebang pilih dan hanya tunduk pada kepentingan politik.

Bencana alam dan krisis lingkungan hidup ternyata masih membayang-bayangi masyarakat kita. Program konservasi alam dan penanaman sejuta pohon yang dicanangkan pemerintah ternyata belum mampu menanggulangi ataupun mengurangi setiap bencana yang akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat baik di desa maupun kota. Sehingga, perlu langkah kongkrit dan berkelanjutan sebagai usaha partisipatif yang konstruktif dalam mendorong masyarakat untuk menyadari akan krisis lingkungan (ekologi) yang saat ini sudah sangat memperihatinkan.
Otonomi daerah sebagai strategi pengembangan daerah ternyata belum dapat menjadi sistem pendukung (supporting system) untuk mendekatkan efektifitas pelayanan pemerintah kepada masyaratakat. Bahkan, akhirnya otonomi daerah menjadi kehilangan orientasi dalam menjalankan fungsinya sebagai instrument pengembangan daerah. Otonomi daerah menjadi kekuasaan baru untuk semakin melegalkan eksploitasi sumber daya alam selain mendorong praktek penyimpangan hukum melalui perda-perda yang direduksi untuk kepentingan golongan dan ideologi politik tertentu. Dipihak lain, pemerintah juga cenderung menggeneralisir sistem pemerintahan yang mengabaikan kekhasan tiap wilayah.

Partai politik sebagai rumah aspirasi yang diharapkan sebagai motor perubahan budaya politik, ternyata masih terjebak dalam budaya feodalistik yang antidemokrasi. Dimana setiap keputusan partai (yang tidak transparan) selalu menjadi prioritas utama. Partai menjadi alat manipulasi oleh sekelompok elit terhadap kepentingan rakyat. Sejatinya partai politik menjadi saluran aspirasi masyarakat berlandaskan aliran dan ideologi yang dianut untuk menciptakan kesejahteraan, namun kenyataanya partai hanya menjadi kendaraan untuk mengawal kepentingan kelompok.

Mencermati partai politik peserta pemilu tahun 2009 yang terlalu banyak, pemerintah selaku regulator melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) semestinya dapat dengan tegas membatasi jumlah partai-partai peserta pemilu tanpa harus membatasi hak untuk membentuk partai politik baru sebagai bagian dari demokrasi. Fenomena demokrasi saat ini telah membuai seluruh masyarakat dalam sebuah siklus lima-tahunan lewat pemilihan umum yang seyogyanya adalah pesta demokrasi, akhirnya menjadi sekedar ritual untuk mendapatkan kekuasaan melalui legitimasi rakyat.

Demokrasi menjadi candu propaganda politis ditengah ketidakmampuan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat, sementara sistem ketatanegaraan hanya menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan. Keadaan ini diperparah lagi dengan kepemimpinan nasional yang lemah dan tak berwibawa, dan berdampak kepada produktivitas kepemimpinan di daerah. Transisi demokrasi hanya menjadi jargon untuk membenarkan segala bentuk kelemahan dan penyimpangan praktek penyelenggaraan negara. Capaian demokrasi substansial untuk penegakan hukum, keadilan, kesetaraan dan kesejahteraaan masih berupa wacana yang pada kenyataanya juga sebatas prosedur demokrasi.

V. Kajian Sub Tema
Mendorong Solidaritas Bangsa Untuk Memperjuangkan Kebenaran, Keadilan Dan Kesejahteraan Dalam Mewujudkan Kemerdekaan Indonesia Secara Bermartabat.

5.1 Solidaritas bangsa
Solidaritas dan wajah pluralisme Bangsa Indonesia sedang diharu biru oleh berbagai konflik (etnik/ras, agama, politik, akonomi ataupun budaya) yang melanda. Intoleransi beragama, terorisme, dan tendensi pengerasan identitas seolah-olah mendapat tempat yang subur di Indonesia. Mengaburnya pagar-pagar identitas akibat interaksi yang kian ketat dan ketidakpastian sistem-sistem sebagai pegangan kategoris, akhirnya mengakibatkan kebingungan identitas. Ini masih diperburuk oleh fakta bahwa interaksi global yang terjadi kerap kali dialami sebagai ketidakadilan, bahkan menindas. Maka situasi ini mudah melahirkan tendensi kabalikannya: pengerasan identitas secara membabibuta, naïf dan penuh amarah. Identitas dipeluk erat-erat dan tertutup dengan cara menyingkirkan atau membunuh segala yang lain dan yang berbeda. Maka meriaplah hari-hari ini dengan berbagai bentuk perjuangan identitas, atas nama kelompok etnis, agama, politik, ekonomi ataupun budaya.

Kondisi tersebut juga telah menjadi pengamatan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Sultan Hamengku Buwono X sebagai bentuk gejala krisis budaya, di mana belakangan ini jati diri regional lebih diutamakan dari pada jati diri nasional yang lebih luas. Akan tetapi, penyempitan jati diri ini berlangsung beriringan dengan perluasan jati diri masyarakat yang semakin banyak berinteraksi dengan bangsa lain, yang memiliki adat-istiadat dan peradaban yang berbeda. Penyempitan jati diri ini bisa dilihat dari, misalnya, gencarnya gerakan “kembali ke etnisitas” di panggung politik Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini jika tidak dicermati dengan seksama dapat menjadi salah satu pemicu disintegrasi bangsa.

Situasi pasca-reformasi dan suasana pergaulan global telah mengakibatkan bangunnya kesadaran individu. Kini individu sedang menyadari hak-haknya, sedang membangun dan menikmati kehidupan moderennya masing-masing. Ada suasana umum egosentrisme yang kuat, kerakusan yang nekad, dan kecenderungan anti sosial yang ngawur. Kekuasaan, popularitas dan kekayaan seakan-akan adalah hal yang paling berharga dan penting yang diburu semua orang. Dalam konteks ini seringkali kepentingan agama, etnisitas, ekonomi, dan lainnya hanyalah siasat atau lips-service belaka. Di sana tampak jelas bahwa individu Indonesia itu mentah, kekanak-kanakan dan dangkal: etos kerjanya amat rendah dan maunya serba instant, tanggungjawab hanyalah soal rekayasa pencitraan di media, moralitas hanyalah menjadi sekedar urusan ritual, penalaran mendalam diganti menjadi kesetiaan yang garang, bahkan komitmen nilai dan konsistensi pun diganti dan dibeli dengan harga yang “pantas” dalam negosiasi di bawah laci.

Menyikapi kondisi tersebut, tentunya perlu upaya yang serius dalam mendorong kembali bangkitnya kesadaran moral dan solidaritas bangsa untuk menjadi peluang baru yang menjanjikan bagi masyarakat Indonesia. GMKI sebagai salah satu organisasi yang turut andil dalam proses pembentukan dan pembangunan bangsa ini kembali diingatkan akan tugas dan panggilannya untuk tetap mengawal proses tersebut. Dalam artian, peran GMKI sangat dibutuhkan dan tetap akan dibutuhkan dalam menjawab cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai warga negara dan warga gereja.

Akan tetapi, peran konstruktif dan kreatif yang hendak dilakukan GMKI dalam mendorong kembali solidaritas bangsa bukanlah semata-mata menjadi serupa dengan apa yang telah ditawarkan oleh organisasi atau kelompok lain. Ada peran yang unik dan khas, menjadi warna tersendiri bagi GMKI dalam mewujudkan partisipasinya guna mendorong solidaritas tersebut. GMKI sebagai gerakan pemikiran yang konstruktif, juga diharapkan dapat menjadi gerakan yang efektif dan praktis dalam memberikan jawab atas fenomena intoleransi dan gerakan-gerakan destruktif lainnya.

Peran unik dan warna yang khas tersebut juga tersimpan di dalam hikmat “takut akan Tuhan”. GMKI dapat mendorong terwujudnya solidaritas tersebut jika GMKI benar-benar berjalan di jalan yang benar, di tengah-tengah jalan keadilan. Hikmat itulah yang akan menuntun GMKI menjadi gerakan yang berbeda dengan gerakan lainnya. Itulah hikmat gerakan yang berani hadir, bahkan terbuang di bawah kolong langit untuk bergeliat dan terus bergumul menjadi berkat dan perekat dalam mewujudkan solidaritas tersebut. Sebab, gerakan yang dibangun diluar dari hikmat itu adalah gerakan yang semata-mata dilakukan hanya untuk kepentingan duniawi.

5.2 Kebenaran dan Keadilan
Wajah hukum dan keadilan bangsa Indonesia sudah dipenuhi borok yang mengerikan. Kepastian hukum sudah menjadi hal yang jarang sekali kita temukan saat ini. Kasus KPK versus POLRI, skandal Bank Centuri, dan mafia hukum dalam sindikat makelar kasus menjadi isu yang sangat menggemparkan dalam ruang publik masyarakat kita. Kebenaran yang hendak diungkap atas semua skandal dan kasus yang terjadi pada bangsa kita tidak akan pernah didapatkan oleh masyarakat jika penegakan keadilan dan reformasi hukum dan politik secara komunikatif tidak dapat berjalan dengan baik.

Kriminalisasi yang terus meningkat, hukum yang tidak berbela rasa; tidak berpihak pada yang lemah serta obral remisi yang dilakukan oleh pemerintah (president dan kementrian hukum dan HAM), adalah kebijakan yang semakin membuat masyarakat kita semakin miris. Pembiaran oknum-oknum dan kelompok tertentu dalam melakukan tindakan kekerasan seolah-olah mendapatkan tempat yang subur pada masyarakat kita. Beberapa kasus konflik yang terakumulasi akibat dari proses pembiaran yang dilakukan oleh negara tersebut adalah konflik kekerasan yang menimpa jemaat HKBP Pondok Timur Indah Bekasi, GKI Yasmin, Jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, dan banyak lagi.

Tentunya konflik tersebut sangat memilukan hati segenap masyarakat Indonesia. Mengatasnamakan agama, mereka secara leluasa melakukan tindakan anarkhis terhadap penganut agama lain. Agama bahkan dijadikan alat untuk menekan kelompok lain. Akibatnya, agama sebagai sumber kedamaian, membawa pesan kepada seluruh umat manusia tentang kasih sayang, keadilan, dan saling memahami menjadi berubah fungsi. Agama justru tampil berwajah garang dan sangat mudah tersulut untuk menabuh genderang perang.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki tingkat toleransi umat beragama yang cukup tinggi, tetapi belakangan ini berubah dan memperlihatkan sikap intoleransi. Dengan demikian, peran hukum dalam penegakan keadilan dan kebenaran sangat dituntut. GMKI harus hadir pada posisi tersebut. Mendorong penegakan hukum untuk tetap menjadi pilar penting dalam mewujudkan masyarakat yang adil. Sebab, tanpa penegakan hukum tersebut bangsa ini akan mengalami kropos dan ketimpangan yang berkepanjangan.

Di sisi lain, GMKI juga harus memberikan dorongan atas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran yang netral dan tidak memihak kepada apa dan siapapun. GMKI harus menempatkan dirinya sebagai fungsi kontrol atau pengawasan dalam pembaruan hukum di Indonesia. Upaya tersebut tentunya akan tercermin dari dalam diri GMKI ketika organisasi ini juga tetap hidup dalam hukum-Nya dan berjalan dalam hikmat kebenaran, di tengah-tengah jalan keadilan. Tanpa hikmat tersebut maka GMKI akan terombang-ambing dan terjebak pada proses hukum yang salah, yang hanya memuaskan pihak/kelompok tertentu, yang berkuasa menentukan segalanya.

5.3 Kesejahteraan
Meriapnya gerakan-gerakan mikro belakang ini adalah bentuk perlawanan masyarakat atas lambatnya kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan sosial yang sesungguhnya. Bersama dengan menurunnya kepercayaan terhadap sistem-sistem besar, banyak individu kini merintis gerakan dalam rupa kelompok-kelompok kecil, yang saling terhubung namun mandiri, dan dengan caranya masing-masing menggulirkan berbagai kegiatan produktif, kreatif, dan berkualitas, baik di wilayah sains, seni, ekonomi pinggiran, pendidikan, penerbitan, ekologi, politik, industri-kreatif maupun agama yang dibungkus dalam kemasan CU (credit union) dan syariah. Dan jaringan mereka diam-diam banyak yang menjangkau skala internasional-global, pola geraknya tidak lagi bisa dibatasi oleh aturan maupun kebijakan nasional-lokal. Kinerja mereka boleh jadi tidak tampak spektakuler, namun hidup dan berdampak, dalam spektrum kisaran-kisarannya masing-masing.

Akan tetapi, pada sisi lain gerakan mikro tersebut tidak akan dapat bertahan menghadapi krisis yang masih berlangsung dalam persaingan pasar ekonomi global. Hal ini dikarenakan belum siapnya masyarakat kita menghadapi perubahan besar yang sedang berlangsung. Ada keterbatasan SDM dan juga modal akhirnya membuat masyarakat kita terjebak pada kondisi yang tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga, dampak yang ditimbulkan adalah kemiskinan yang berkepanjangan. Hal ini tampak dari apa yang diungkapkan oleh Tim Partisipasi Penanggulangan Kemiskinan (TPPK), bahwa daerah miskin di Indonesia hingga tahun 2010 sebesar 54% adalah di kantong-kantong Kristen. Dalam artian, bahwa pemerintah memberi peningkatan angka kesejahteraan masyarakat dalam statistik, tetapi fakta di lapanagn berbicara lain. Kemiskinan adalah tanggungjawab negara sepenuhnya, akan tetapi dalam hal ini gereja juga ikut lalai untuk berbuat.

Menyikapi konteks ini, seharusnya GMKI dan gereja dapat membangun kerjasama untuk mengatasi masalah kesejahtraan di Indonesia, baik pusat maupun daerah. Terutama kemiskinan yang masih tinggi di daerah-daerah dan kantong Kristen. Gereja dan GMKI jangan merasa alergi untuk membangun kerjasama dengan pemerintah pusat sampai level pemerintah bawah. Dengan demikian, gerakan mikro yang saat ini sedang bertumbuh di Indonesia menjadi kesempatan yang produktif untuk dikembangkan di daerah-daerah, terutama di daerah kantong-kantong Kristen.

Begitu banyak potensi yang kita miliki. Sumber daya alam kita juga sangat kaya. Namun, SDM kita masih belum mampu untuk memanfaatkan kesempatan dan fasilitas dari pemerintah karena minimnya informasi dan pemberdayaan yang tersosialisasi ke daerah-daerah. Oleh sebab itu, GMKI dan gereja bersama-sama dengan stakeholdernya haruslah bersama-sama untuk menciptakan peluang; baik dalam memanfaatkan program-program yang telah disiapkan oleh pemerintah, maupun program bersama yang berdaya cipta kreatif sebagai solusi kesejahteraan atas kemiskinan yang masih membelenggu masyarakat kita.

5.4 Kemerdekaan secara bermartabat
Sudah enam puluh lima tahun Indonesia menyatakan merdeka atas penjajahan, dan sudah dua belas tahun bangsa ini juga merayakan proses demokrasi yang telah dipetik dari perjuangan bersama-sama. Namun, fakta membuktikan bahwa bangsa ini masih dililit oleh berbagai persoalan yang bertentangan dengan makna dari kemerdekaan itu sendiri. Kemiskinan, kebodohan, penindasan serta pengekangan terhadap hak asasi manusia masih saja terjadi. Bahkan yang menonjol akhir-akhir ini adalah kebebasan beribadah. Apakah yang telah dicapai di dalam kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya? Mungkinkah kemerdekaan yang bermartabat dapat terwujud?

Kemerdekaan tidak bertujuan dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu cita-cita luhur, sebagaimana dinyatakan dalam alinea ke-3 pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Cita-cita “supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” pada masa perjuangan kemerdekaan memang merupakan kritik pada kepada kenyataan hubungan kolonial dengan banyak pembatasan terhadap bangsa Indonesia sebagai rakyat jajahan pada waktu itu. Di era Indonesia merdeka “kehidupan kebangsaan yang bebas” mencakup pula kebebasan warga negara (hak-hak politik dan sipil).

Dalam UU HAM (No 39 TAHUN 1999) kata-kata bebas/kebebasan tercantum dalam enam pokok, yaitu hak hidup, hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa. Juga hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan berpindah, hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat serta hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

Hal penting dan mendasar dalam pelaksaan undang-undang pada negara yang telah menyatakan kemerdekaannya adalah dengan menjunjung HAM dan penegakan hukum yang adil dan benar. Hukum harus sama di bagi semua orang, apakah perlindungan atau hukuman. Semua warga negara, setara di mata hukum, harus sama berkesempatan untuk semua kedudukan yang tinggi, jabatan-jabatan dan pekerjaan publik, sesuai kemampuan mereka, dan tanpa pembedaan lainnya selain dari kebajikan dan bakatnya.

Dengan demikian, persaudaraan yang dimaknai kebersamaan: “setiap orang mencita-citakan kebebasan, kesetaraan, namun dia tak dapat dicapai tanpa bantuan orang lain, tanpa persaudaraan.” Prinsip ini justru penting dalam suatu negara bangsa yang berbasis kemajemukan seperti Indonesia, bahwa hanya dalam kebersamaan cita-cita kemerdekaan secara bermartabat dapat diwujudkan. Sebab, masa depan bangsa tidak dapat diperjuangkan sendiri-sendiri, atau diperjuangkan sendirian oleh suatu kelompok untuk semua, melainkan seluruh komponen bangsa harus bersama-sama memperjuangkan masa depan bersama. Untuk itu, GMKI dan gereja penting untuk mendorong dan memperkuat kembali komitmen bersama terhadap suatu dasar dan visi bersama sebagaimana digagas dan ditetapkan oleh pendiri negara, yang kini diwacanakan dalam keempat tonggak nasionalisme Indonesia: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.

Pemaknaan yang utuh terhadap kemerdekaan yang bermartabat bukanlah suatu proses yang instant untuk menyulap kompleksitas semua permasalahan bangsa menjadi kebaikan seperti yang kita harapkan. Pada satu sisi, kita tetap perlu mengingatkan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang berlandaskan hukum dan keadilan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun, di sisi lain GMKI dan gereja bersama-sama dengan stakeholdernya juga harus terus berjuang mengisi dan memberi makna atas kemerdekaan yang telah diperoleh saat ini.

Refleksi atas pemaknaan kemerdekaan yang sesungguhnya bukanlah sekedar perjuangan untuk menyelesaikan persoalan, krisis hukum, intoleransi, krisis ekonomi, dan persoalan lain sebagainya. Akan tetapi, perjuangan kemerdekaan itu adalah proses panjang yang berkelanjutan (sustainable), yang harus kita perankan dalam setiap tugas dan tanggungjawab panggilan kita. Itulah hikmat Tuhan yang harus kita syukurkan sebagai warga negara dan warga gereja untuk mampu berjalan di jalan kebenaran, ditengah-tengah jalan keadilan. Tinggilah iman kita, tinggilah ilmu kita, dan tinggilah pengabdian kita.
Ut omnes unum sint. Syalom

Thursday, November 4, 2010

Bencana: Pelajaran Yang Diremehkan

Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau  alam mulai enggan bersahat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yangt bergoyang.”

Penggalan kutipan lagu di atas adalah sebuah karya ampuh yang diciptakan oleh Ebiet G. Ade. Seorang musisi yang piawai dalam menangkap (mengimpresi) fenomena di alam hidup, dan merefleksikannya menjadi sebuah pesan pembelajaran. Belakangan ini lagu tersebut kembali berkumandang di setiap media elektonik, tampil mengisi media ruang publik dalam berbagai sisi pada setiap bencana yang terjadi. Bahkan, seolah-olah lagu tersebut dipakai menjadi icon pada setiap ibadah bencana kematian yang terjadi. Terkesan lagu tersebut berubah menjadi lagu yang enak dan mengibur – bukan  lagi sebagai seruan etis holistik untuk kondisi ekosistem yang harus diantisipasi.

Masyarakat Indonesia tersentak dan sesak menyaksikan rentetan bencana yang melanda. Mulai dari banjir bandang di Wasior, gempa-tsunami di Mentawai hingga meletusnya gunung Sinabung di Tanah Karo dan Merapi di Yogyakarta. Belum lagi bangsa ini selesai mengobati luka tsunami di Aceh dan Nias beberapa tahun yang lalu, serta berbagai dimensi problematiknya (korupsi, hukum dan peradilan yang timpang, kemiskinan ekonomi dan pendidikan, dsb.), bencana alam terus datang silih berganti. Masyarakat kita pasti terharu dan ingin menangis dalam berbela-rasa melihat saudaranya dirundung bencana, tetapi hal itu pasti sulit diungkapkan karena air mata mereka sudah kering dihisap oleh kekuasaan negara yang miskin kemuliaan hidup dan kasih sayang.

Implikasi hidup
Bagaimanakah sikap kita menghadapi kondisi yang terjadi pada belakangan ini? terlebih lagi, apa yang dapat kita lakukan kepada saudara-saudari kita yang langsung merasakan bencana? Ini adalah permenungan yang sangat membutuhkan kesungguhan hati dan sikap yang tegas untuk mau merasakan apa yang dialami oleh mereka yang menjadi korban bencana. Serta berupaya mencari solusi yang kreatif dalam berbagai perspektif. Sebab, hal ini semata-mata bukanlah sekedar menyangkut soal doa atas duka mereka, ataupun dompet peduli untuk sekedar dana relokasi dan rehabilitasi. Akan tetapi, lebih kepada proses pembelajaran yang harus disadari oleh bangsa ini.

Apakah kita masih dalam kondisi bersungut-sungut dan saling mempersalahkan siapa yang bertanggungjawab atas semuanya? Apakah kita harus menunggu pemerintah menyelesaikan undang-undang tanggap bencana? Apakah kita hanya berpasrah kepada relawan dan sumbangan yang datang dari berbagai mancanegara? Atau, kita hanya bisa diam dan berkata, memang sudah beginilah nasib bangsa kita. Mungkin itulah implikasi logis yang terjadi. Tetapi, kita tidak berhenti pada kondisi tersebut. Kita harus berdiri teguh dan terus berjalan, bergandengan tangan menantang kerasnya arus kehidupan. Sebab, bangsa ini sangat haus dan lapar akan teladan dan kasih sayang.

Perlu motivasi yang kuat
Pemerintah memang harus bertanggungjawab dan tanggap atas semua kondisi yang terjadi pada setiap bencana. Namun, pemerintah juga membutuhkan partisipasi yang mendidik dari masyarakat lewat berbagai upaya yang dapat dilakukan guna meminimalisir dampak bencana. Bahkan sampai kepada strategi yang sangat preventif. Jika pemerintah belum tanggap, maka ini adalah kesempatan dan pembelajaran bagi masyarakat yang sangat terdidik dalam memainkan perannya disegala bidang ilmu yang dimiliki. Tidak hanya masyarakat akademis, masyarakat awam pun tetap sangat dibutuhkan dalam berpartisipasi membangun kemuliaan hidup bangsa yang lebih beradab.   

Terlepas dalam sudut pandang yang berbeda, saya sangat bangga dengan motivasi yang diperlihatkan oleh Mbah Marijan sebagai tokoh yang fenomenal belakangan ini. Fenomena Mbah Marijan memberi inspirasi dan kesadaran baru, bahwa motivasi dan tanggungjawab adalah hal yang sangat mendasar dalam etika sosial. Motivasi yang lahir dari kesadaran baru akan melahirkan gerakan sosial, yang lebih mengutamakan tanggungjawab. Inilah yang disebut sebagai kearifan lokal. Suatu sikap hidup yang mampu menembus batas-batas kemanusiawian (baik suku, agama, partai politik, dsb.). Beradab dan penuh kemuliaan hidup.

Masyarakat kita sangat membutuhkan motivasi dan dorongan yang teguh untuk bangkit dari kondisi yang ada. Semangat Mbah Marijan sebaiknya membuat kita semakin arif. Terlebih lagi sebagai masyarakat yang terdidik dalam dunia akademis. Kita harus berlomba-lomba memompa semangat yang positif dan mendorong pemikiran-pemikiran yang produktif guna menanggulangi bencana yang terjadi dalam berbagai cara. Sebab bencana adalah pelajaran yang sangat berharga.

Bencana adalah proses pembelajaran hidup
Jika kita menyadari bahwa bencana adalah suatu proses pembelajaran hidup, maka sangat dibutuhkan partisipasi dan kerjasama dari berbagai pihak sebagai sistem pendukung pembelajaran. Dibutuhkan motivasi yang sama seperti ketika menjamurnya lembaga survey dan lembaga konsultan politik pada eforia pilkada belakangan ini. semangat seperti itu sangat dibutuhkan untuk melakukan kajian penelitian dan pengembangan daerah yang tanggap bencana. Motivasi yang sama juga dibutuhkan oleh lembaga pendidikan kita dalam mengajarkan apa, bagaimana, kapan dan dampak dari seluk-beluk bencana alam. Bahkan hingga strategi maupun desain baru yang dihasilkan dalam melihat bencana alam dalam cara pandang yang baru dan kreatif. Sekali lagi, bencana tidak hanya sebatas teori dan bagian dari kurikulum mata pelajaran yang hendak ditawarkan. Tetapi sungguh-sungguh sebagai suatu pembelajaran nilai dan kearifan lokal.     

Mendorong masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam pembelajaran yang holistik dan berkelanjutan mengatasi dan mengantipasi bencana alam tidaklah mudah. Sebab hal tersebut membutuhkan tanggubjawab yang berkonsekuensi logis pada wujud pengorbanan. Kita akan merasa berat dan tidak sanggup hidup dalam proses pembelajaran tersebut jika kita berjalan sendiri untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang holistik antara pemerintah dan masyarakat untuk bisa mengatasinya. Pemerintah harus membangun kerjasama lewat pemberdayaan dan pengembangan SDM masyarakatnya. Masyarakat terdidik, lewat para ilmuwan yang ahli juga harus mengembangkan penelitiannya dalam mengelola penanggulangan bencana yang tangguh dan berpengalaman. Sehingga semua peran tersebut menjadi proses pembelajaran yang sangat disadari dan dibutuhkan. Dan bencana tidak lagi dianggap sebagai pelajaran yang diremehkan.  

Dengan demikian, harapan kita kelak pemerintah dan masyarakat lebih proaktif dan preventif dalam menghadapi setiap bencana. Dan lagu Ebiet G. Ade di atas tidak lagi dianggap sebagai icon pada setiap bencana alam yang terjadi. Semoga ada lagu yang baru, penuh pesan pembelajaran dan menjadi motivasi bagi masyakat kita untuk tetap berpengharapan.

Saturday, October 30, 2010

Masyarakat yang “Ber-Tuhan” dalam Negara “Pancasila”


Pendahuluan
Siapakah warga Negara Indonesia yang sebenarnya diakui di bangsa ini? Siapakah sebenarnya yang berhak menentukan dan menyatakan seseorang itu adalah warga Negara Indonesia yang berhak dan pantas hidup atau tidak, dan menyatakan diri maupun komunitasnya di negara ini? Tentunya pertanyaan inilah yang muncul dan mungkin akan terus muncul di dalam setiap individu manusia Indonesia saat ini, yang berada dan mengakui kedaulatan NKRI sebagai Negara yang memiliki keberagaman suku, ras dan agama, yang sangat plural tetapi pada kenyataannya merasakan dan melihat kedaulatan Negara ini menjadi Negara yang paradoks.

Sesungguhnya pengakuan yang mulia itu sudahlah mendarah daging dalam segenap jiwa-raga bangsa Indonesia dan telah dituangkan dalam semboyan yang sangat luhur dalam patron bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika (beragam: suku, agama, dan ras tetapi adalah satu!). Tentunya Ika yang dipahami sebagai core belief disini adalah, adanya pengakuan yang rasional dan bahkan sampai ke dalam denyut jantung keyakinan ber-Tuhan akan kebersamaan dan berbagai keberagaman yang sangat kaya dimiliki oleh bangsa ini.  

Akan tetapi, pada kenyataannya belakangan ini, kita sudah sangat sulit sekali dan bahkan menjadi terancam jika kita berbicara tentang pancasila sebagai rumusan resmi konsensus dasar bangsa Indonesia dan juga dengan demikian menjadi kunci pemelihara persatuan dan kesatuan bangsa yang positif. Sungguh mengharukan sekali bukan? Berbicara tentang kekayaan dan harta karun bangsa di rumah sendiri juga sudah tidak lagi menjadi sebuah jaminan. Rasanya kita semakin terasing dan menjadi seperti warga yang hanya menumpang maupun pendatang yang bisa diperlakukan semena-mena oleh sekelompok orang atau sebuah komunitas yang menyatakan lebih berhak sebagai penentu masyarakat yang bertuhan di Negara pancasila ini.

Keadilan yang inklusif
Pada abad ke-20 yang lalu seorang filosof Amerika John Rawls (1992) mengemukakan sebuah antitese atas perubahan yang telah terjadi dari sebuah pergeseran tatanan masyarakat yang baru dalam sejarah. Di mana, pada masa itu munculnya gerakan-gerakan keras ideologis yang mau menghapus bersih tatanan tradisional masyarakat, untuk di atas reruntuhannya membangun suatu tatanan yang baru total, murni atas dasar ideologi mereka masing-masing. Apakah ideologi-ideologi itu bernada fasis, komunis atau keagamaan tidak mengubah prinsip yang mereka pakai: masyarakat harus ditata baru dari dasar-dasarnya karena kamilah yang memiliki ajaran benar tentang masyarakat. Tidak ada kompromi antara kebenaran dan kepalsuan, tatanan baru itu seperlunya harus dipaksakan atas mereka yang tidak mau.

Bahkan elite-elite keras ideologis yang ada dipelbagai pelosok dunia tanpa memperhitungkan korban membangun Negara dan masyarakat kembali menurut keyakinan-keyakinan mereka, bahwa mereka dipanggil untuk menciptakan sebuah tatanan “masyarakat sempurna”. Itulah yang merupakan salah satu pandangan yang paling mengerikan di abad ke-20. Antitese yang diungkapkan oleh Rawls atas fenomena tersebut adalah dalam pandangan yang ia kemukakan dalam political Liberalism, dimana Rawls tetap mempertahankan bahwa masyarakat pluralistik hanya dapat hidup bersama dengan baik apabila berdasarkan faham keadilan yang dapat diterima oleh semua pihak. Rawls juga membedakan antara dua pluralisme: antara “reasonable pluralism” dan “unreasonable pluralism”. Reasonable yang dimaksud bukanlah dalam arti “rasional”, melainkan dari kata “to reason about”, sebagai bersedia berargumentasi dan berkompromi saja. Tentu saja, tentang keyakinan moral inti dan keagamaan sebuah komunitas tidak bersedia untuk tawar-menawar. Akan tetapi, tentang kerangka hidup bersama dengan komunitas lain mereka bersedia “to reason”, untuk mempertimbangkan pelbagai sudut yang ada, sehingga tidak memutlakkan cita-cita mereka sendiri. Artinya mereka juga mampu bertoleransi dan berkompromi terhadap yang diluar mereka.

Lain halnya dengan kelompok-kelompok dengan keyakinan-keyakinan unreasonable, entah karena mereka berdasarkan sebuah ideologi atau paham keagamaan yang keras (tidak jauh beda dengan umat yang tegar-tengkuk). Yang menjadi masalah dari kelompok itu adalah bahwa sebenarnya mereka dapat saja hidup menurut keyakinan mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak puas dengan itu. Mereka mau agar semua hidup menurut tatanan yang mereka yakini sebagai satu-satunya yang benar. Mereka mempunyai pandangan yang comprehensive sekaligus eksklusif, dan karena itu mereka tidak dapat mengadakan kompromi dalam bertoleransi, dan tidak dapat menerima pluralitas. Dalam artian ini, jika pihak kelompok atau komunitas unreasonable semakin besar dalam masyarakat, maka semakin sulit jugalah membangun kehidupan bersama yang dapat diterima oleh semua sebagai sesuatu yang adil (Frans Magnis Suseno: 2006).


Pancasila sebagai payung masyarakat yang ber-Tuhan
Beranjak dari kondisi dan permasalahan yang telah terjadi dalam gerakan ber-tuhan dalam bingkai Negara pancasila belakangan ini, maka kita harus dapat sesegera mungkin untuk melakukan ansipasi dan pencegahan terhadap kelompok-kelompok unreasonable yang pada sekarang ini jelas-jelas meyakini dan menghidupi paham yang sangat eksklusif dan destruktif tersebut. Pemerintah dan segenap lapisan masyarakat harus benar-benar menyadari hal ini menjadi sebuah tanggung-jawab bersama, dan juga bersama-sama dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi.

Tentunya, jika kita hidup dalam bingkai kesatuan Negara Indonesia yang memang mengakui pancasila sebagai ideologi bangsa, maka tidak akan ada pemaksaan kehendak dan penganiayaan terhadap pengklaiman atas suatu ajaran maupun keyakinan yang diyakini oleh seorang individu atau kelompok. Hal ini harus dengan tegas dinyatakan dan ditegakkan oleh Negara ini. Jika tidak, maka fenomena ini akan menjadi sebuah gerakan naïf yang akan mencoreng dan bahkan meniadakan kedaulatan bangsa Indonesia. Artinya, keabsolutan dan wewenang pemerintah sebagai aparatur Negara dalam memimpin dan membawa bangsa ini kepada perwujudan cita-cita luhurnya tidak lah lagi ada.

Negara ini tidak perlu memelihara dan mengakui keberadaan orang-orang atau kelompok yang hanya selalu mencoba melakukan pemaksaan atas kehendak dan kepentingannya dalam mendirikan tatanan baru yang eksklusif. Tidak perlu lagi ada kesangsian dalam tindakan tegas terhadap perbuatan-perbuatan yang sudah jelas-jelas telah merongrong dan mencoba menghancurkan pancasila sebagai payung bangsa ini. Sebab, jika hal ini tidak segera disikapi oleh pemerintah dan juga bersama-sama dengan masyarakat, maka kita bisa membayangkan bagaimana wajah dan kedaulatan bangsa Indonesia ini ke depan. Perpecahan dalam konflik, perang saudara dan perang se-agama atas nama “Tuhan” pun akan terjadi. Yang ada hanyalah tangis dan jeritan-jeritan doa orang-orang yang tidak berdosa atas semua tindakan dan sikap-sikap anarkis yang lebih pantas disebut kaum barbar yang menyeramkan dari pada masyarakat yang “ber-Tuhan.”

Marilah kita hidup dalam pemahaman dan keyakinan yang arif dalam beragama kontekstual di Negara Indonesia yang kita hargai ini. Mari kita yakini pemahaman bahwa kita hidup dalam kesatuan yang beragam suku, ras, agama maupun golongan. Hal terkecil yang dapat kita lakukan adalah dengan menghargai dan mengakui pancasila sebagai gambaran pluralitas sosial masyarakat kita.

Manajemen Konflik Antar Pribadi

Pengantar
Di dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang tidaklah lepas dari konflik – sekecil apapun dan dalam bentuk apapun. Konflik seringkali membuat seseorang mengalami perubahan perilaku, dan bahkan membuat stress terutama ketika orang tersebut tidak dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat. Ketika konflik dibiarkan terus-menerus tanpa ada pemecahan dan penyelesaiannya maka hal itu akan membuat hidup kita menjadi tidak tenang dan tidak nyaman. Namun sebaliknya bila konflik yang terjadi dikelola dengan pikiran dan emosi yang tenang serta memanajemennya dengan baik, maka pastilah konflik tersebut dapat terselesaikan dengan baik.

Konflik dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Ketika kita tidak sepaham dengan orang lain, ketika kita sedang bersama dengan orang lain, ketika kita berhadapan dengan lawan bicara kita, konflik dimungkinkan dapat terjadi. Konflik yang muncul dapat digolongkan menjadi, konflik dalam diri individu (intraindividual conflict), konflik antar pribadi (interpersonal conflict), konflik organisasi (organizational conflict).

Seringkali ketika kita mengganggap segala sesuatu menjadi serius dan menegangkan, maka saat itulah konflik akan semakin memuncak. Sehingga, pentingnya tiap individu dapat memanajemen konflik dengan baik adalah supaya konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik tanpa ada kekerasan, menyakiti orang lain, menjadi musuh dengan orang lain, yang berdampak terhadap kerugian diri sendiri, orang lain, dan juga organisasi. Namun, di sisi lain konflik membuat orang menjadi tertantang untuk mengatasinya. Lalu apakah yang dimaksud dengan konflik itu?

Pengertian konflik
Menurut Killman & Thomas (dalam Utami, 2005), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan individu lain. Selanjutnya, Mullins (dalam Wijono, 2009) mendefenisikan konflik sebagai kondisi terjadinya ketidaksesuaian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan perilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok maupun organisasi. Namun, dalam membatasi pembahasan kali ini, kita akan mencoba memfokuskan pada konflik antar individu agar peserta dapat memahami lebih dalam mengenai konflik antar individu.

Bentuk-bentuk konflik
Pada dasarnya ada tiga bentuk konflik yang dapat kita ketahui, (1) konflik dalam diri individu, (2) konflik antar pribadi, dan (3) konflik organisasi. Selanjutnya kita akan membahas lebih lanjut mengenai konflik antar individu. Menurut Wijono (2009), konflik antar pribadi adalah suatu konflik yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitannya antara individu dengan individu yang ada dalam suatu organisasi. Beberapa faktor yang menjadi pemicu munculnya konflik antar pribadi adalah adanya kesalahan dalam persepsi (misperception), kesalahan berpendapat (misopinion), kesalahan dalam memahami (misunderstanding), perbedaan tujuan (goal different), perbedaan nilai-nilai (values different), latar belakang budaya (culture background), sosial-ekonomi (social-economic), dan sifat-sifat pribadi (personality traits) antara individu yang satu dengan yang lain.

Strategi manajemen konflik Antar Pribadi (interpersonal conflict)
Strategi pengelolaan konflik diarahkan pada tiga strategi yaitu: strategi kalah-kalah (lose-lose strategy), strategi menang-kalah (win-lose strategy), dan strategi menang-menang (win-win strategy). Penjelasan masing-masing strategi sebagai berikut:

1. Strategi kalah-kalah (lose-lose strategy)
Dalam strategi saya kalah-Anda kalah ini dapat diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Dengan kata lain, untuk mengatasi situasi itu pihak ketiga diundang agar dapat melakukan campur tangan atas konflik yang dialami oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu  Arbitrasi dan Mediasi.

a. Arbitrasi
Pihak ketiga disebut arbitrator yang bertindak menjadi hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. Dalam arbitrasi ini, penyelesaian konflik akan membawa ketidakpuasan pada kedua belah pihak, karena kedua belah pihak sama-sama merasa dikalahkan. Tetapi strategi masih efektif dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang mengarah pada tindakan agresif.

b. Mediasi
Pihak ketiga disebut mediator. Karena mediator mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, rekomendasi yang diberikan oleh mediator kepada kedua belah pihak tidak mengikat. Keberhasilan mediator tergantung pada bagaimana kemampuan persuasi, kredibilitas, prestise, dan pemahamannya terhadap kelompok-kelompok yang sedang berkonflik. Dalam penyelesaian konflik, mediator mempunyai sumbangan yang potensial untuk membangun kembali komunikasi yang telah hancur.

2. Strategi menang-kalah (win-lose strategy)
Beberapa strategi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik saya menang dan anda kalah dapat menggunakan strategi yaitu (1) penarikan diri, (2) taktik-taktik penghalusan dan perdamaian, (3) bujukan, (4) taktik paksaan dan penekanan, (5) taktik-taktik yang berorientasi pada tawar menawar dan pertukaran.

a. Penarikan diri (withdrawal)
Dalam penyelesaian konflik, ada kalanya penarikan diri oleh salah satu orang atau kelompok orang yang berselisih, akan dapat lebih efektif bila peran yang dimainkan tidak saling tergantung koordinasinya. Namun, bila peran yang dimainkan saling tergantung tugasnya satu sama lain, maka keduanya akan saling tarik menarik diri dan benar-benar merusak pelaksanaan tugas.

b. Taktik-taktik penghalusan dan perdamaian (smoothing and consiliation tactics)
Ada sejumlah taktik penghalusan dan perdamaian yang dapat dilakukan dalam penyelesaian konflik antar pribadi/kelompok yaitu:
·         Menyatakan hasrat untuk mau bekerja sama dan membina relasi secara harmonis dengan pihak yang terlibat konflik.
·         Menawarkan bantuan-bantuan melalui pernyataan ungkapan rasa penghargaan atas prestasi pihak lawannya.
·         Menetralisir untuk tidak membuat tuduhan, ancaman-ancaman atau kecaman-kecaman yang menyakitkan pihak-pihak lawan.
·         Memberikan penguatan atas tindakan-tindakan perdamaian dan saling memberi hadiah diantara yang terlibat dalam konflik.
·         Mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik dan kepentingan bersama kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik.
·         Memberikan tawaran-tawaran yang berisi tentang pemberian bantuan khusus kepada pihak yang terlibat konflik.
·         Mensepakati perjanjian yang telah dibuat agar tidak mencari perbedaan-perbedaan nilai dan kepercayaan diantara pihak-pihak yang terlibat. Tujuannya adalah untuk menghindarkan adanya kondisi-kondisi yang mengarah pada permusuhan terbuka, kehancuran-kehancuran hubungan kerja yang sudah berjalan lancar dan menghindarkan adanya keterkaitan secara langsung sumber-sumber konflik dengan tugas, pekerjaan, dan peran tertentu.

c. Bujukan (persuation)
Beberapa tipe umum mengenai taktik persuasi sebagai berikut:
·         Memberikan bukti-bukti nyata yang bisa mendukung posisinya.
·         Memperlemah informasi yang dapat mendukung posisi lawannya, serta menunjukkan segi-segi kelemahan dalam rangka meluruskan cara berpikirnya.
·         Menjelaskan pengorbanan-pengorbanan dan kerugian-kerugian yang dimungkinkan dari usulan-usulan pihak lawan konfliknya yang masih belum dapat dipahami oleh pihak lawan.
·         Memberikan penjelasan mengenai usulan-usulan pihaknya yang lebih memiliki keunggulan dibanding pihak lainnya.
·         Menunjukkan bahwa usulan-usulan dari diri atau kelompoknya cenderung lebih selaras dengan kebijakan-kebijakan organisasi, norma-norma yang lazim dipakai serta beberapa ukuran keadilan dan kesamaan yang dapat diterima oleh organisasi.

d. Taktik paksaan dan penekanan (forcing and pressure tactics)
Ada tiga cara dalam taktik ini yaitu:
·         Pemberian ancaman
Pemberian ancaman merupakan peringatan secara terang-terangan atau bahkan dapat terselubung, melalui tindakan yang dapat merugikan pihak lain yang terlibat konflik jika pihak lain tidak memenuhi tuntutan yang telah digariskan oleh organisasi.
·         Konsekuensi hukuman
tindakan ancaman akan diantisipasi dengan konsekuensi hukuman tetapi tidak memiliki kepastian dalam memberi dampak positif sesuai harapan bersama.
·         Pengikatan posisi
Pengikatan posisi adalah suatu pernyataan dari suatu pihak yang menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat bertindak secara fleksibel ketika bekerja dalam organisasi.

e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar menawar dan pertukaran (bargaining and exchange oriented tactics).
Tawar menawar dapat diartikan sebagai proses pertukaran persetujuan hingga mencapai suatu kompromi. Beberapa strategi berkaitan dengan tawar menawar sebahai berikut:
·         Membuat suatu persetujuan ulang jika pihak lain tidak memberikan persetujuan.
·         Mengusulkan suatu pertukaran persetujuan khusus yang mudah diterima oleh kedua belah pihak.
·         Memberikan isyarat secara informal tentang suatu hasrat atau keinginan untuk membuat suatu konsesi atau persetujuan lebih lanjut, jika pihak lawan membuat suatu persetujuan pada saat tawar menawar dilakukan.
·         Mengajukan usul bahwa seseorang perantara diperlukan untuk membantu menemukan kompromi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

3. Strategi menang-menang (win-win strategy)
Adapun strategi menang-menang (win-win strategy) menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: menyusun latar belakang masalah, mendiagnosis (membuat rumusan dan pembatasan konflik, sumber konflik, serta akibatnya baik positif maupun negatif), membuat prognosis (alternatif jalan keluar sementara), memberikan jalan keluar terhadap konflik yang muncul dan mengambil keputusan bersama yang dapat memuaskan kedua pribadi atau kelompok yang terlibat dalam konflik dan kemudian mengadakan evaluasi atas hasil pemecahan atau keputusan yang diambil. Ada dua cara yang digunakan dalam strategi menang-menang yaitu:

a. Pemecahan masalah terpadu (integrative problem solving)
Ada lima cara dalam pemecahan masalah terpadu yang dikemukakan oleh Blake & Mouton (dalam Wijono, 2009) yaitu:
·        Merumuskan masalah atas usaha kerjasama dalam menemukan fakta bersama dan menghindari terjadinya persepsi yang membias dari masing-masing pihak.
·        Memperjelas masalah dari kalimat-kalimat yang khusus, merealisir pokok-pokok, keyakinan- keyakina kedua belah pihak dalam mencapai tujuan bersama.
·         Masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha membicarakan usulan alternatif bersama.
·       Menemukan beberapa alternatif pemecahan masalah secara terpadu agar dapat menghindari munculnya pemecahan masalah yang mungkin menguntungkan pihak ke satu dan merugikan pihak yang lainnya.
·       Segera usulan pemecahan masalah terpadu hendaknya diujicobakan secara tentatif, karena menghindari terjadinya kesalahan dalam mengambil keputusan sepihak.

b. Konsultasi proses antar pihak (inter-party process consultation).
Dalam konsultasi proses biasanya ditangani oleh konselor atau konsultan proses, yang keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik. Konselor atau konsultan proses dalam menolong menyelesaikan konflik dengan cara mendorong untuk saling menemukan fakta dalam memecahkan konflik melalui dua pertanyaan yang perlu dipertimbangkan yaitu:
·         Bagaimana cara mereka memandang kelompok mereka sendiri?
·         Bagaimana cara mereka memandang kelompok lain?

Setelah itu, kedua kelompok yang terlibat konflik, diminta untuk memberikan pandangan mereka atas dua pertanyaan di atas. Kemudian mereka diminta untuk merumuskan permasalahannya. Selanjutnya, mereka diminta untuk mendiagnosis secara bersama dalam pertemuan kelompok. Kemudian, mereka diminta untuk mencari berbagai alternatif yang dapat digunakan sebagai alternatif terbaik agar dapat mengantisipasi adanya beberapa reaksi yang kurang produktif bagi kedua belah pihak yang terlibat.