Thursday, November 4, 2010

Bencana: Pelajaran Yang Diremehkan

Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau  alam mulai enggan bersahat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yangt bergoyang.”

Penggalan kutipan lagu di atas adalah sebuah karya ampuh yang diciptakan oleh Ebiet G. Ade. Seorang musisi yang piawai dalam menangkap (mengimpresi) fenomena di alam hidup, dan merefleksikannya menjadi sebuah pesan pembelajaran. Belakangan ini lagu tersebut kembali berkumandang di setiap media elektonik, tampil mengisi media ruang publik dalam berbagai sisi pada setiap bencana yang terjadi. Bahkan, seolah-olah lagu tersebut dipakai menjadi icon pada setiap ibadah bencana kematian yang terjadi. Terkesan lagu tersebut berubah menjadi lagu yang enak dan mengibur – bukan  lagi sebagai seruan etis holistik untuk kondisi ekosistem yang harus diantisipasi.

Masyarakat Indonesia tersentak dan sesak menyaksikan rentetan bencana yang melanda. Mulai dari banjir bandang di Wasior, gempa-tsunami di Mentawai hingga meletusnya gunung Sinabung di Tanah Karo dan Merapi di Yogyakarta. Belum lagi bangsa ini selesai mengobati luka tsunami di Aceh dan Nias beberapa tahun yang lalu, serta berbagai dimensi problematiknya (korupsi, hukum dan peradilan yang timpang, kemiskinan ekonomi dan pendidikan, dsb.), bencana alam terus datang silih berganti. Masyarakat kita pasti terharu dan ingin menangis dalam berbela-rasa melihat saudaranya dirundung bencana, tetapi hal itu pasti sulit diungkapkan karena air mata mereka sudah kering dihisap oleh kekuasaan negara yang miskin kemuliaan hidup dan kasih sayang.

Implikasi hidup
Bagaimanakah sikap kita menghadapi kondisi yang terjadi pada belakangan ini? terlebih lagi, apa yang dapat kita lakukan kepada saudara-saudari kita yang langsung merasakan bencana? Ini adalah permenungan yang sangat membutuhkan kesungguhan hati dan sikap yang tegas untuk mau merasakan apa yang dialami oleh mereka yang menjadi korban bencana. Serta berupaya mencari solusi yang kreatif dalam berbagai perspektif. Sebab, hal ini semata-mata bukanlah sekedar menyangkut soal doa atas duka mereka, ataupun dompet peduli untuk sekedar dana relokasi dan rehabilitasi. Akan tetapi, lebih kepada proses pembelajaran yang harus disadari oleh bangsa ini.

Apakah kita masih dalam kondisi bersungut-sungut dan saling mempersalahkan siapa yang bertanggungjawab atas semuanya? Apakah kita harus menunggu pemerintah menyelesaikan undang-undang tanggap bencana? Apakah kita hanya berpasrah kepada relawan dan sumbangan yang datang dari berbagai mancanegara? Atau, kita hanya bisa diam dan berkata, memang sudah beginilah nasib bangsa kita. Mungkin itulah implikasi logis yang terjadi. Tetapi, kita tidak berhenti pada kondisi tersebut. Kita harus berdiri teguh dan terus berjalan, bergandengan tangan menantang kerasnya arus kehidupan. Sebab, bangsa ini sangat haus dan lapar akan teladan dan kasih sayang.

Perlu motivasi yang kuat
Pemerintah memang harus bertanggungjawab dan tanggap atas semua kondisi yang terjadi pada setiap bencana. Namun, pemerintah juga membutuhkan partisipasi yang mendidik dari masyarakat lewat berbagai upaya yang dapat dilakukan guna meminimalisir dampak bencana. Bahkan sampai kepada strategi yang sangat preventif. Jika pemerintah belum tanggap, maka ini adalah kesempatan dan pembelajaran bagi masyarakat yang sangat terdidik dalam memainkan perannya disegala bidang ilmu yang dimiliki. Tidak hanya masyarakat akademis, masyarakat awam pun tetap sangat dibutuhkan dalam berpartisipasi membangun kemuliaan hidup bangsa yang lebih beradab.   

Terlepas dalam sudut pandang yang berbeda, saya sangat bangga dengan motivasi yang diperlihatkan oleh Mbah Marijan sebagai tokoh yang fenomenal belakangan ini. Fenomena Mbah Marijan memberi inspirasi dan kesadaran baru, bahwa motivasi dan tanggungjawab adalah hal yang sangat mendasar dalam etika sosial. Motivasi yang lahir dari kesadaran baru akan melahirkan gerakan sosial, yang lebih mengutamakan tanggungjawab. Inilah yang disebut sebagai kearifan lokal. Suatu sikap hidup yang mampu menembus batas-batas kemanusiawian (baik suku, agama, partai politik, dsb.). Beradab dan penuh kemuliaan hidup.

Masyarakat kita sangat membutuhkan motivasi dan dorongan yang teguh untuk bangkit dari kondisi yang ada. Semangat Mbah Marijan sebaiknya membuat kita semakin arif. Terlebih lagi sebagai masyarakat yang terdidik dalam dunia akademis. Kita harus berlomba-lomba memompa semangat yang positif dan mendorong pemikiran-pemikiran yang produktif guna menanggulangi bencana yang terjadi dalam berbagai cara. Sebab bencana adalah pelajaran yang sangat berharga.

Bencana adalah proses pembelajaran hidup
Jika kita menyadari bahwa bencana adalah suatu proses pembelajaran hidup, maka sangat dibutuhkan partisipasi dan kerjasama dari berbagai pihak sebagai sistem pendukung pembelajaran. Dibutuhkan motivasi yang sama seperti ketika menjamurnya lembaga survey dan lembaga konsultan politik pada eforia pilkada belakangan ini. semangat seperti itu sangat dibutuhkan untuk melakukan kajian penelitian dan pengembangan daerah yang tanggap bencana. Motivasi yang sama juga dibutuhkan oleh lembaga pendidikan kita dalam mengajarkan apa, bagaimana, kapan dan dampak dari seluk-beluk bencana alam. Bahkan hingga strategi maupun desain baru yang dihasilkan dalam melihat bencana alam dalam cara pandang yang baru dan kreatif. Sekali lagi, bencana tidak hanya sebatas teori dan bagian dari kurikulum mata pelajaran yang hendak ditawarkan. Tetapi sungguh-sungguh sebagai suatu pembelajaran nilai dan kearifan lokal.     

Mendorong masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam pembelajaran yang holistik dan berkelanjutan mengatasi dan mengantipasi bencana alam tidaklah mudah. Sebab hal tersebut membutuhkan tanggubjawab yang berkonsekuensi logis pada wujud pengorbanan. Kita akan merasa berat dan tidak sanggup hidup dalam proses pembelajaran tersebut jika kita berjalan sendiri untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama yang holistik antara pemerintah dan masyarakat untuk bisa mengatasinya. Pemerintah harus membangun kerjasama lewat pemberdayaan dan pengembangan SDM masyarakatnya. Masyarakat terdidik, lewat para ilmuwan yang ahli juga harus mengembangkan penelitiannya dalam mengelola penanggulangan bencana yang tangguh dan berpengalaman. Sehingga semua peran tersebut menjadi proses pembelajaran yang sangat disadari dan dibutuhkan. Dan bencana tidak lagi dianggap sebagai pelajaran yang diremehkan.  

Dengan demikian, harapan kita kelak pemerintah dan masyarakat lebih proaktif dan preventif dalam menghadapi setiap bencana. Dan lagu Ebiet G. Ade di atas tidak lagi dianggap sebagai icon pada setiap bencana alam yang terjadi. Semoga ada lagu yang baru, penuh pesan pembelajaran dan menjadi motivasi bagi masyakat kita untuk tetap berpengharapan.