(Permenungan memaknai paskah dalam pikiran dan perbuatan yang tersalib)
Pendahuluan
“Tidak ada gagang pada salib”, inilah bentuk ungkapan iman yang dituliskan oleh DR. Kosuke Koyama dalam bukunya, sebagai dasar permenungan mengenai pikiran yang disalibkan di Asia. Permenungan ini juga yang nantinya akan kita pakai sebagai cermin dalam melihat bagaimana memaknai paskah sebagai panggilan kesadaran ke-Kristenan kita menghadapi perubahan zaman di era milenium ke tiga ini.
Permenungan dalam menghayati perayaan paskah sebagai bentuk liturgi ke-Kristenan adalah waktu yang tepat dalam menjawab panggilan kesadaran kita sebagai umat-Nya. Sebab, paskah adalah proses permenungan iman setiap orang, untuk menyadari pengorbanan yang telah dilakukan Yesus Kristus di kayu salib dalam memberikan pertolongan keselamatan hidup kepada seluruh dunia.
Permenungan yang dilakukan dalam perayaan paskah adalah permenungan yang mengarah kepada dua aspek, yaitu vertikal dan horizontal. Permenungan vertical maksudnya adalah permenungan dalam sisi ke-iman-an kita. Bagaimana kita dapat melakukan penghayatan dalam memaknai pengorbanan Kristus di kayu salib. Sehingga dengan penghayatan tersebut kita benar-benar bisa memahami bagaimana sebenarnya kemanusiaan kita merasakan apa yang dirasakan-Nya. Artinya, ada konsekuensi iman yang harus berani kita ambil dan lakukan jika kita mengatakan bahwa kita adalah murid-Nya. Konsekuensi iman itu adalah totalitas sikap yang lahir dari penghayatan kita yang tulus dalam memikul salib-Nya.
Sedangkan permenungan horizontal adalah permenungan dalam sisi peran atau perbuatan kita terhadap semua mahluk ciptaan-Nya di seluruh dunia ini. Sisi peran ini adalah bagian yang tidak terlepas dari sisi ke-iman-an kita. Sebab, kedua hal ini dapat berjalan jikalau keduanya mendapat tempat yang sama; sejajar, di dalam hati dan pikiran kita. Tidak ada yang saling mendominasi, tetapi keduanya harus saling menyeimbangkan; saling melengkapi satu dengan yang lain.
Jika kedua hal itu telah menjadi sebuah permenungan yang mendasar dalam kehidupan ke-Kristenan kita, maka panggilan kesadaran kita sebagai bagian dari diri-Nya adalah sebuah tanggungjawab kehidupan. Artinya, ke-Kristenan kita tidaklah menjadi hal yang berarti jika hanya melakukan permenungan saja dalam ritus-ritus ke-iman-an kita, baik secara personal maupun komunal. Akan tetapi, permenungan itu akan menjadi berarti jika ada tindakan aktual (sikap nyata seperti kasih yang dilakukan Yesus sewaktu di dunia) dalam diri kemanusian kita (yang juga adalah sosial), untuk kita nyatakan kepada orang lain sebagai bentuk keselamatan yang telah kita terima.
Akan tetapi, hal penting yang sekarang harus kita sadari adalah, apa dasar permenungan kita dalam menguji panggilan ke-Kristenan kita? Benarkah kita telah melakukan permenungan paskah yang sebenarnya? Inilah panggilan yang akan kita jawab dalam memaknai perayaan paskah sebagai bagian dari ibadah panggilan ke-Kristenan kita. Dengan demikian, benarlah bahwa perayaan paskah yang kita lakukan dan maknai ini adalah sebuah perayaan kesadaran iman. Kesadaran iman itu adalah salib yang harus kita pikul setiap saat dan terus berjalan mengikut Dia.
Salib adalah kesadaran penyangkalan diri.
Lambang dari penyangkalan diri adalah salib. Penyangkalan diri harus diungkapkan dalam lambang yang dapat dikenal; dilihat umum. Memikul-mikul salib di depan umum adalah suatu tontonan yang ganjil. Alangkah berat, janggal dan memalukan memang memikul salib itu mengikut Dia. Akan tetapi itulah yang Dia minta kepada kita, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Permasalahannya sekarang adalah, mengapa harus salib, mengapa tidak rantang yang berisi makanan saja? Rantang adalah hal yang menarik dan istimewa, berisi makanan bergizi dan bentuknya ada yang berwarna-warni. Rantang adalah beban yang tidak berat, punya pegangan/ gagang istimewa dan mudah menentengnya. Dengan menenteng rantang yang penuh makanan bergizi kita dapat saja bersiul dan berjalan enjoy tanpa harus terbeban. Sungguh hal yang sangat berbeda sekali dengan salib bukan!
Salib tidak punya gagang, sedangkan rantang makanan punya gagang. Baiklah kita melakukan permenungan sejenak seperti meditasi pikiran dan perbuatan yang dilakukan Koyama. “Gagang” berarti alat yang efisien untuk menguasi sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Mobil yang punya mesin bertenaga kuda dapat kita kita kendalikan hanya dengan memegang sebuah gagang (setir). Pintu juga dapat kita kuasai secara mudah hanya dengan memegang gagangnya. Semua kecanggihan ini adalah perkembangan teknologi yang menghasilkan tenaga (kuat/kuasa) dan gagang kendali. Sehingga, teknologi adalah tenaga yang dikendalikan. Teknologi yang diartikan dalam arti ini tidaklah berbahaya tetapi yang berbahaya adalah jika pemahaman seperti ini dipakai dalam teologia. Bayangkan jika aspek ke-iman-an kita di berikan kemudahan “gagang” untuk dilakukan, tentunya manusia tidak lagi membutuhkan Allah. Karena, kecanggihan gagang yang ditonjolkan adalah kuasa (kendali) manusia itu sendiri dan bukan Allah.
Koyama menegaskan bahwa perbedaan pokok antara teknologi dan teologia adalah bahwa teknologi memberi kita “mesin” dan “gagang”, sedangkan teologia hanya punya “mesin” tanpa “gagang”. Teologia yang memasang gagang pada kuasa Allah adalah penghianatan dan bersifat demonis. Teologia harus menolak untuk mengendalikan kuasa Allah yang menyelamatkan. Dengan demikian, teologia juga tidak boleh mengendalikan manusia.
Dengan kata lain, pikiran yang terlatih memikul beban salib “tanpa gagang” dinamakan pikiran yang disalibkan. Pikiran yang bersemangat perang salib haruslah ditempatkan di bawah terang pikiran yang disalibkan, supaya pikiran itu “disalibkan dan bangkit.” Itulah sebabnya mengapa Yesus tidak mengatakan “.....biarlah dia yang menojolkan dirinya, menenteng rantang makanan dan mengikut Aku”. Sebab, daya pikir manusia hanya penuh inisiatip (rantang yang sangat modern itu) haruslah disalibkan. Apabila daya pikir seperti itu bangkit, maka ia menjadi daya pikir yang sudah dibaptis secara teologis.
Paskah adalah panggilan kesadaran.
Dengan demikian, gambaran yesus yang memikul salib berat tanpa gagang adalah gambaran misiologi yang matang dan tepat. Sehingga dibawah terang inilah kita cari arti teologis dari situasi dan kondisi yang terjadi pada hidup pribadi dan juga bangsa kita sehari-hari. Inilah panggilan kesadaran yang ingin disampaikan Yesus kepada semua orang, bahwa jalan salib sebagai pilihan bukanlah pikiran yang sakit-sakitan dan jalan kematian. Pikiran seperti itu bukanlah pikiran yang ingin mengadakan transaksi dagang dengan Allah. Akan tetapi, pikiran itu adalah pikiran yang muncul karena dorongan teologis yang lahir dari panggilan kesadaran iman kita. Pikiran itu jujur dan hati-hati. Itulah pikiran yang mau percaya dan mengikuti panggilan kesadaran untuk melakukan apa yang Dia mandatkan kepada kita di dunia ini.
Jika kita telah dapat menghayati permenungan perayaan paskah sebagai sebuah panggilan kesadaran baru seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, maka kita dapat memaknai paskah yang sesungguhnya. Sebab, perayaan paskah bukanlah seremoni atau ritus-ritus ibadah yang dijalankan, dan disusun indah dalam sebuah liturgi. Akan tetapi, paskah adalah permenungan dalam menghayati panggilan kesadaran pribadi kita untuk memikul salib sebagai bukti keselamatan hidup. Kemudian, permenungan peran (sikap dalam tanggungjawab sosial) dalam tindakan kita sehari-hari adalah perayaan paskah yang sesungguhnya. Pikiran yang tersalib dalam panggilan kesadaran kita akan mengalirkan energi yang positif dan akan membangun sikap/mental kita yang adaptif terhadap semua tantangan (baik bentuk kemudahan dalam budaya masyarakat kita yang sangat konsumptif, serta pikiran-pikiran pragmatis yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi sebagai solusi praktis) dalam setiap perubahan zaman.
Semoga perayaan paskah yang kita rayakan dengan permenungan dan ketulusan sikap akan menumbuhkan penghayatan dan kedewasaan sikap dalam menjawab setiap panggilan kesadaran ke-Kristenan kita, kapanpun dan dimanapun. Selamat Paskah.
Pendahuluan
“Tidak ada gagang pada salib”, inilah bentuk ungkapan iman yang dituliskan oleh DR. Kosuke Koyama dalam bukunya, sebagai dasar permenungan mengenai pikiran yang disalibkan di Asia. Permenungan ini juga yang nantinya akan kita pakai sebagai cermin dalam melihat bagaimana memaknai paskah sebagai panggilan kesadaran ke-Kristenan kita menghadapi perubahan zaman di era milenium ke tiga ini.
Permenungan dalam menghayati perayaan paskah sebagai bentuk liturgi ke-Kristenan adalah waktu yang tepat dalam menjawab panggilan kesadaran kita sebagai umat-Nya. Sebab, paskah adalah proses permenungan iman setiap orang, untuk menyadari pengorbanan yang telah dilakukan Yesus Kristus di kayu salib dalam memberikan pertolongan keselamatan hidup kepada seluruh dunia.
Permenungan yang dilakukan dalam perayaan paskah adalah permenungan yang mengarah kepada dua aspek, yaitu vertikal dan horizontal. Permenungan vertical maksudnya adalah permenungan dalam sisi ke-iman-an kita. Bagaimana kita dapat melakukan penghayatan dalam memaknai pengorbanan Kristus di kayu salib. Sehingga dengan penghayatan tersebut kita benar-benar bisa memahami bagaimana sebenarnya kemanusiaan kita merasakan apa yang dirasakan-Nya. Artinya, ada konsekuensi iman yang harus berani kita ambil dan lakukan jika kita mengatakan bahwa kita adalah murid-Nya. Konsekuensi iman itu adalah totalitas sikap yang lahir dari penghayatan kita yang tulus dalam memikul salib-Nya.
Sedangkan permenungan horizontal adalah permenungan dalam sisi peran atau perbuatan kita terhadap semua mahluk ciptaan-Nya di seluruh dunia ini. Sisi peran ini adalah bagian yang tidak terlepas dari sisi ke-iman-an kita. Sebab, kedua hal ini dapat berjalan jikalau keduanya mendapat tempat yang sama; sejajar, di dalam hati dan pikiran kita. Tidak ada yang saling mendominasi, tetapi keduanya harus saling menyeimbangkan; saling melengkapi satu dengan yang lain.
Jika kedua hal itu telah menjadi sebuah permenungan yang mendasar dalam kehidupan ke-Kristenan kita, maka panggilan kesadaran kita sebagai bagian dari diri-Nya adalah sebuah tanggungjawab kehidupan. Artinya, ke-Kristenan kita tidaklah menjadi hal yang berarti jika hanya melakukan permenungan saja dalam ritus-ritus ke-iman-an kita, baik secara personal maupun komunal. Akan tetapi, permenungan itu akan menjadi berarti jika ada tindakan aktual (sikap nyata seperti kasih yang dilakukan Yesus sewaktu di dunia) dalam diri kemanusian kita (yang juga adalah sosial), untuk kita nyatakan kepada orang lain sebagai bentuk keselamatan yang telah kita terima.
Akan tetapi, hal penting yang sekarang harus kita sadari adalah, apa dasar permenungan kita dalam menguji panggilan ke-Kristenan kita? Benarkah kita telah melakukan permenungan paskah yang sebenarnya? Inilah panggilan yang akan kita jawab dalam memaknai perayaan paskah sebagai bagian dari ibadah panggilan ke-Kristenan kita. Dengan demikian, benarlah bahwa perayaan paskah yang kita lakukan dan maknai ini adalah sebuah perayaan kesadaran iman. Kesadaran iman itu adalah salib yang harus kita pikul setiap saat dan terus berjalan mengikut Dia.
Salib adalah kesadaran penyangkalan diri.
Lambang dari penyangkalan diri adalah salib. Penyangkalan diri harus diungkapkan dalam lambang yang dapat dikenal; dilihat umum. Memikul-mikul salib di depan umum adalah suatu tontonan yang ganjil. Alangkah berat, janggal dan memalukan memang memikul salib itu mengikut Dia. Akan tetapi itulah yang Dia minta kepada kita, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Permasalahannya sekarang adalah, mengapa harus salib, mengapa tidak rantang yang berisi makanan saja? Rantang adalah hal yang menarik dan istimewa, berisi makanan bergizi dan bentuknya ada yang berwarna-warni. Rantang adalah beban yang tidak berat, punya pegangan/ gagang istimewa dan mudah menentengnya. Dengan menenteng rantang yang penuh makanan bergizi kita dapat saja bersiul dan berjalan enjoy tanpa harus terbeban. Sungguh hal yang sangat berbeda sekali dengan salib bukan!
Salib tidak punya gagang, sedangkan rantang makanan punya gagang. Baiklah kita melakukan permenungan sejenak seperti meditasi pikiran dan perbuatan yang dilakukan Koyama. “Gagang” berarti alat yang efisien untuk menguasi sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Mobil yang punya mesin bertenaga kuda dapat kita kita kendalikan hanya dengan memegang sebuah gagang (setir). Pintu juga dapat kita kuasai secara mudah hanya dengan memegang gagangnya. Semua kecanggihan ini adalah perkembangan teknologi yang menghasilkan tenaga (kuat/kuasa) dan gagang kendali. Sehingga, teknologi adalah tenaga yang dikendalikan. Teknologi yang diartikan dalam arti ini tidaklah berbahaya tetapi yang berbahaya adalah jika pemahaman seperti ini dipakai dalam teologia. Bayangkan jika aspek ke-iman-an kita di berikan kemudahan “gagang” untuk dilakukan, tentunya manusia tidak lagi membutuhkan Allah. Karena, kecanggihan gagang yang ditonjolkan adalah kuasa (kendali) manusia itu sendiri dan bukan Allah.
Koyama menegaskan bahwa perbedaan pokok antara teknologi dan teologia adalah bahwa teknologi memberi kita “mesin” dan “gagang”, sedangkan teologia hanya punya “mesin” tanpa “gagang”. Teologia yang memasang gagang pada kuasa Allah adalah penghianatan dan bersifat demonis. Teologia harus menolak untuk mengendalikan kuasa Allah yang menyelamatkan. Dengan demikian, teologia juga tidak boleh mengendalikan manusia.
Dengan kata lain, pikiran yang terlatih memikul beban salib “tanpa gagang” dinamakan pikiran yang disalibkan. Pikiran yang bersemangat perang salib haruslah ditempatkan di bawah terang pikiran yang disalibkan, supaya pikiran itu “disalibkan dan bangkit.” Itulah sebabnya mengapa Yesus tidak mengatakan “.....biarlah dia yang menojolkan dirinya, menenteng rantang makanan dan mengikut Aku”. Sebab, daya pikir manusia hanya penuh inisiatip (rantang yang sangat modern itu) haruslah disalibkan. Apabila daya pikir seperti itu bangkit, maka ia menjadi daya pikir yang sudah dibaptis secara teologis.
Paskah adalah panggilan kesadaran.
Dengan demikian, gambaran yesus yang memikul salib berat tanpa gagang adalah gambaran misiologi yang matang dan tepat. Sehingga dibawah terang inilah kita cari arti teologis dari situasi dan kondisi yang terjadi pada hidup pribadi dan juga bangsa kita sehari-hari. Inilah panggilan kesadaran yang ingin disampaikan Yesus kepada semua orang, bahwa jalan salib sebagai pilihan bukanlah pikiran yang sakit-sakitan dan jalan kematian. Pikiran seperti itu bukanlah pikiran yang ingin mengadakan transaksi dagang dengan Allah. Akan tetapi, pikiran itu adalah pikiran yang muncul karena dorongan teologis yang lahir dari panggilan kesadaran iman kita. Pikiran itu jujur dan hati-hati. Itulah pikiran yang mau percaya dan mengikuti panggilan kesadaran untuk melakukan apa yang Dia mandatkan kepada kita di dunia ini.
Jika kita telah dapat menghayati permenungan perayaan paskah sebagai sebuah panggilan kesadaran baru seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, maka kita dapat memaknai paskah yang sesungguhnya. Sebab, perayaan paskah bukanlah seremoni atau ritus-ritus ibadah yang dijalankan, dan disusun indah dalam sebuah liturgi. Akan tetapi, paskah adalah permenungan dalam menghayati panggilan kesadaran pribadi kita untuk memikul salib sebagai bukti keselamatan hidup. Kemudian, permenungan peran (sikap dalam tanggungjawab sosial) dalam tindakan kita sehari-hari adalah perayaan paskah yang sesungguhnya. Pikiran yang tersalib dalam panggilan kesadaran kita akan mengalirkan energi yang positif dan akan membangun sikap/mental kita yang adaptif terhadap semua tantangan (baik bentuk kemudahan dalam budaya masyarakat kita yang sangat konsumptif, serta pikiran-pikiran pragmatis yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi sebagai solusi praktis) dalam setiap perubahan zaman.
Semoga perayaan paskah yang kita rayakan dengan permenungan dan ketulusan sikap akan menumbuhkan penghayatan dan kedewasaan sikap dalam menjawab setiap panggilan kesadaran ke-Kristenan kita, kapanpun dan dimanapun. Selamat Paskah.