Tema: TUHAN SETIA DENGAN
JANJI-NYA
Ev. : Kejadian 15: 1-6
Kata kunci: perjanjian, berkat
dan berserah diri; penyembahan
Pengantar
Minggu
Reminiscere dalam pengertian gerejawi dipahami sebagai minggu dimana umat Tuhan
kembali dituntun dalam mensyukuri setiap penyertaan-Nya. Sehingga dalam ibadah
minggu ini umat Tuhan diajak untuk mempersaksikan janji penyertaan-Nya, “Ingatlah Allah akan Kasih setia-Mu”.
Berangkat dari pokok iman gerejawi ini, kita kembali bermenung dan belajar –
melalui pengajaran dan pendidikan – dari setiap Firman-Nya. Belajar dari
kesaksian kitab Kejadian ini, ditegaskan bahwa dalam hubungan yang erat ketika
memilih dan memanggil para bapa leluhur, Allah mengikat suatu perjanjian dengan
dengan mereka.
Dengan
Abraham diikrarkan-Nya suatu sumpah setia – yang diteguhkan dengan upacara
perjanjian – dan sumpah itu diperbaharuinya kepada Ishak dan yakub. Allah telah
memilih Abraham, Ishak dan Yakub dan telah menyatakan diri kepada mereka;
semuanya mengandung maksud tertentu. Tradisi yang terus-menerus dipelihara dan
diajarkan turun-temurun – dalam pengajaran dan pendidikan (band. Ulangan 6) –
tentunya menjadi bukti kerelaan Abraham serta keturunannya untuk memilihara
perjanjian itu. Sehingga, dalam hal ini jugalah ditegaskan bahwa di dalam diri
Abraham seluruh Israel diangkat menjadi umat-Nya, dan berkenan dengan diri
Abraham, sekali untuk selama-lamanya Tuhan menetapkan diri-Nya menjadi Allah
orang Israel.
Tafsiran
Mengapa
Allah harus “mengikat”, “membentuk”, “mendirikan” atau “menegakkan” suatu
perjanjian? Perjanjian yang diikat Allah dengan Abaraham merupakan suatu
“lembaga hukum” walaupun bukan suatu lembaga yang mengatur kehidupan antar
manusia secara praktis seperti PN (Pengadilan Negeri). Akan tetapi, dalam
konteks ini, umat Israellah yang pertama-tama berani berbicara dan bersaksi tentang
suatu perjanjian, di mana Allah sendiri turut serta menjadi partner atau mitra dan sekutu manusia. Jika
perjanjian (Ibr. : berit) yang secara
umum terjadi adalah adanya kesepakatan dalam kesejajaran antara kedua belah
pihak (baik di bidang hukum “pribadi” maupun di bidang “hukum antarbangsa”) dalam
mengadakan sebuah perjanjian untuk menjalankan suatu tuntutan yang disepakati.
Namun,
perjanjian yang diikat dan didirikan oleh Allah adalah perjanjian yang “luar
biasa”. Dimana dalam perjanjian tersebut Allah sendiri yang merendahkan diri
sehingga manusia menjadi setara bersama Allah. Itu berarti, bahwa Ia menciptakan
suatu nisbah dan persekutuan yang bersifat hukum, yakni suatu hubungan yang
tidak hanya berdasar atas pengasihan ataupun persahabatan yang sewaktu-waktu
dapat berubah atau berhenti. Allah menciptakan suatu hubungan yang tertib dan
sah, berdasarkan hukum keadilan, yakni keadilan di dalam kasih Allah sendiri
(pasal 15 dan 18).
Sehingga di dalam perjanjian
itu juga, Allah dengan tegas menyatakan janji-Nya; berkat, keturunan dan tanah
kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Janji tersebut merupakan janji yang disertai
sumpah, dihubungkan dengan perjanjian atau berdiri sendiri dengan Firman Allah,
bahwa berkat yang Allah berikan hendaklah memantul dari leluhur dan keturunannya
kepada sekalian bangsa di dunia. Janji berkat yang dinyatakan Allah kepada
Abraham ketika Allah memanggilnya: “Aku
akan membuat engkau menjadi menjadi bangsa besar dan memberkati engkau serta
membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati
orang-orang yang memberkati engkau dan mengutuk orang-orang yang mengutuk
engkau dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12: 2-3);
Ishak memperoleh janji: “Aku akan
menyertai engkau” (Kej. 26: 3);
demikian juga Yakub: “Sesungguhnya Aku
menyertai engkau dan Aku melindungi engkau, kemana pun engkau pergi” (Kej.
28: 15). Kehadiran Tuhan merupakan merupakan satu-satunya jaminan yang
diperoleh para leluhur. Ia nyata dalam berkat yang mereka alami.
Berkat itu merupakan daya hidup
yang sepenuhnya, berhasil di hari yang baik dan bertahan di hari yang susah.
Namun, berkat tidak hanya menjadi milik para leluhur; berkat hendak disampaikan
kepada segenap umat manusia, seperti dikatakan, “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena
engkau (Abraham) mendengarkan Firman-Ku” (Kej. 22:17-18). Abraham dan
keturunannnya akan memantulkan berkat yang menyinari mereka sehingga
bangsa-bangsa pun melihat terang kasih Allah. Terang itu kini telah menjadi
nyata bagi hidup kita; setiap orang yang percaya di dalam janji iman sebagai
anak-anak Abraham. Sehingga mereka yang hidup dari iman, merekalah yang
diberkati bersama-sama Abraham yang beriman itu (Gal. 3:7-9).
Renungan
Jika
Allah sudah menyatakan janji-Nya kepada Abraham, dan Abraham mampu merespon
janji Allah dibalik rasa khawatir dan ketidakmungkinan di dunia ini, apakah
kita juga mampu belajar seperti Abraham yang merespon janji Allah, ketika kita
juga melihat banyak ketidakmungkinan di dalam hidup kita?
Sesungguhnya
apakah rahasia dibalik peristiwa – pergumulan iman – yang dialami oleh Abraham?
Bagimana sikap dan respon Abraham dalam menanggapi apa yang Tuhan nyatakan
dalam dirinya? Apa yang membuat Abraham akhirnya mampu bertahan dan Allah
memperhitungkannya sebagai kebenaran? Pada ayat 6 dinyatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, maka
Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”. Abraham
percaya; meng-imani dan meng-amini apa yang di Firmankan-Nya. Hanya karena
Abraham percaya, Allah memperhitungkan hal tersebut. Abraham percaya dan
melakukan perjanjian yang telah diikat oleh Allah padanya; kepada seisi
rumahnya perjanjian tersebut diberlakukan. Inilah sikap penyembahan Abraham;
beriman dalam sikap yang penuh ketaatan.
Dalam
ketaatan – sejak dipanggil – Abraham juga sepenuhnya beriman; menyerahkan diri
kepada Allah. Meskipun proses beriman yang sesungguhnya tidaklah semudah
membayangkan janji-janji yang dinyatakan Tuhan kepadanya. Sebab, sesungguhnya
keraguan dan rasa khawatir adalah kondisi yang seakan menjadi lebih akrab dalam
hidup ini. Sangat sering logika dan proses menalar kita menjadi hal yang bertolakbelakang
dengan apa yang kita percayai. Sesungguhnya dalam proses itulah iman kita
dijungkirbalikkan ke dalam sebuah realitas yang kita hadapi sehari-hari. Pengharapan
Abraham untuk menantikan janji keturunan menjadi bangsa yang besar seakan
menjadi mimpi disiang bolong. Apakah mungkin memiliki keturunan dalam kondisi
yang sudah diprediksi sebagai hal yang mustahil oleh proses nalar duniawi?
Pergumulan
iman yang dialami oleh Abaraham adalah gambaran yang nyata terjadi dalam
keseharian hidup kita. Bukanlah kita sering mengalaminya; baik di dalam
keluarga, lingkungan kerja, bahkan di dalam hidup bergereja?. Rasa khawatir
sering membuat kita menjadi kecewa bahkan mengalami kepahitan. Penderitaan
seolah-olah tidak pernah berakhir dan senantiasa tersaji seperti “sarapan pagi”.
Banyak orangtua menyekolahkan anak sekuat dana dan tenaga, tetapi sang anak
gagal meraih gelar yang dicita-citakan, cuma menjadi pengangguran dan disisi
lain ada banyak pemuda yang sedang menunggu untuk mendapatkan pekerjaan.
Banyak
orangtua berharap menikahkan putrinya dengan pria baik-baik, terpandang dan
terhormat tetapi nyatanya sang putri memilih kawin lari dan mereka kecewa dan di
sisi lain, banyak pemuda/pemudi yang juga sedang menunggu pasangan hidupnya
yang tak kunjung tiba. Ada banyak pasangan keluarga muda yang sedang menunggu,
bahkan ada yang sudah menunggu lama untuk mendapatkan berkat keturunan tetapi
belum juga tiba waktunya, sementara ada keluarga yang sudah dianugerahkan anak
tetapi anak mereka terhempas dalam jerat narkotika dan pergaulan bebas.
Adakah
keluarga Kristen yang mampu bertahan menghadapi hempasan “gelombang badai”
dengan kekuatannya sendiri dalam kehidupan ini? Selain hanya menjadi kecewa dan
khawatir, maka hidup yang mengagungkan kuasa diri hanya berujung kepada
kehancuran. Namun sebaliknya, beriman berarti berserah diri dengan sungguh-sungguh
kepada Allah di dalam ketaatan dan penyembahan. Jika bukan kepada Allah, kita
akan berserah diri pada pendapat atau harapan orang lain, kepada uang, kepada
sakit hati, kepada ketakutan, atau kepada keangkuhan, hawa nafsu atau ego kita
sendiri. Kita dipanggil untuk masuk dalam persekutuan-Nya yang kudus; untuk
taat dan menyembah Dia. Sehingga jika kita gagal menyembah Dia, maka kita akan
membuat hal-hal lain (berhala-berhala) yang kepadanya kita akan memberikan
hidup kita.
Kadang-kadang
– sama seperti Abraham – butuh waktu bertahun-tahun, tetapi akhirnya kita
menyadari bahwa penghalang terbesar untuk menerima berkat Allah dalam kehidupan
kita bukanlah orang lain, tetapi diri kita sendiri, yaitu kehendak diri,
kesombongan yang sukar dihilangkan, dan ambisi pribadi kita. Jika Allah hendak
melakukan karya-Nya yang terbesar di dalam hidup kita, hal itu akan dimulai
dalam sebuah ujian. Jadi kuncinya adalah percaya dan berserah; menyerahkan
semuanya kepada Allah: penyesalan masa lalu, masalah yang kita hadapi sekarang,
ambisi masa depan, ketakutan, impian, kelemahan, kebiasaan, kepahitan, dan
kecemasan kita.
Mempercayai
Allah sepenuhnya berarti memiliki iman bahwa Dia memelihara janji-janji-Nya.
Hingga akhirnya Allah menyatakan semuanya; masalah yang kita hadapi berubah
menjadi berkat yang melimpah; pergumulan berubah menjadi pengharapan;
pengharapan melatih iman dalam ketaatan; ketaatan membuka pemahaman baru akan
hidup yang penuh tujuan seperti yang telah dijanjikan-Nya. Sehingga dalam hal
ini iman kita menjadi nyata seperti yang dinyatakan Paulus bahwa, “Yesus Kristus membuat ini, supaya di dalam
Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita
menerima Roh yang telah dijanjikan itu” (Gal. 3:14). Amen