Thursday, March 14, 2013

Reminiscere




Tema: TUHAN SETIA DENGAN JANJI-NYA
Ev. : Kejadian 15: 1-6

Kata kunci: perjanjian, berkat dan berserah diri; penyembahan

Pengantar
Minggu Reminiscere dalam pengertian gerejawi dipahami sebagai minggu dimana umat Tuhan kembali dituntun dalam mensyukuri setiap penyertaan-Nya. Sehingga dalam ibadah minggu ini umat Tuhan diajak untuk mempersaksikan janji penyertaan-Nya, “Ingatlah Allah akan Kasih setia-Mu”. Berangkat dari pokok iman gerejawi ini, kita kembali bermenung dan belajar – melalui pengajaran dan pendidikan – dari setiap Firman-Nya. Belajar dari kesaksian kitab Kejadian ini, ditegaskan bahwa dalam hubungan yang erat ketika memilih dan memanggil para bapa leluhur, Allah mengikat suatu perjanjian dengan dengan mereka.

Dengan Abraham diikrarkan-Nya suatu sumpah setia – yang diteguhkan dengan upacara perjanjian – dan sumpah itu diperbaharuinya kepada Ishak dan yakub. Allah telah memilih Abraham, Ishak dan Yakub dan telah menyatakan diri kepada mereka; semuanya mengandung maksud tertentu. Tradisi yang terus-menerus dipelihara dan diajarkan turun-temurun – dalam pengajaran dan pendidikan (band. Ulangan 6) – tentunya menjadi bukti kerelaan Abraham serta keturunannya untuk memilihara perjanjian itu. Sehingga, dalam hal ini jugalah ditegaskan bahwa di dalam diri Abraham seluruh Israel diangkat menjadi umat-Nya, dan berkenan dengan diri Abraham, sekali untuk selama-lamanya Tuhan menetapkan diri-Nya menjadi Allah orang Israel.

Tafsiran
Mengapa Allah harus “mengikat”, “membentuk”, “mendirikan” atau “menegakkan” suatu perjanjian? Perjanjian yang diikat Allah dengan Abaraham merupakan suatu “lembaga hukum” walaupun bukan suatu lembaga yang mengatur kehidupan antar manusia secara praktis seperti PN (Pengadilan Negeri). Akan tetapi, dalam konteks ini, umat Israellah yang pertama-tama berani berbicara dan bersaksi tentang suatu perjanjian, di mana Allah sendiri turut serta menjadi partner atau mitra dan sekutu manusia. Jika perjanjian (Ibr. : berit) yang secara umum terjadi adalah adanya kesepakatan dalam kesejajaran antara kedua belah pihak (baik di bidang hukum “pribadi” maupun di bidang “hukum antarbangsa”) dalam mengadakan sebuah perjanjian untuk menjalankan suatu tuntutan yang disepakati.

Namun, perjanjian yang diikat dan didirikan oleh Allah adalah perjanjian yang “luar biasa”. Dimana dalam perjanjian tersebut Allah sendiri yang merendahkan diri sehingga manusia menjadi setara bersama Allah. Itu berarti, bahwa Ia menciptakan suatu nisbah dan persekutuan yang bersifat hukum, yakni suatu hubungan yang tidak hanya berdasar atas pengasihan ataupun persahabatan yang sewaktu-waktu dapat berubah atau berhenti. Allah menciptakan suatu hubungan yang tertib dan sah, berdasarkan hukum keadilan, yakni keadilan di dalam kasih Allah sendiri (pasal 15 dan 18).
Sehingga di dalam perjanjian itu juga, Allah dengan tegas menyatakan janji-Nya; berkat, keturunan dan tanah kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Janji tersebut merupakan janji yang disertai sumpah, dihubungkan dengan perjanjian atau berdiri sendiri dengan Firman Allah, bahwa berkat yang Allah berikan hendaklah memantul dari leluhur dan keturunannya kepada sekalian bangsa di dunia. Janji berkat yang dinyatakan Allah kepada Abraham ketika Allah memanggilnya: “Aku akan membuat engkau menjadi menjadi bangsa besar dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur, dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12: 2-3); Ishak memperoleh janji: “Aku akan menyertai engkau” (Kej. 26: 3); demikian juga Yakub: “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku melindungi engkau, kemana pun engkau pergi” (Kej. 28: 15). Kehadiran Tuhan merupakan merupakan satu-satunya jaminan yang diperoleh para leluhur. Ia nyata dalam berkat yang mereka alami.
Berkat itu merupakan daya hidup yang sepenuhnya, berhasil di hari yang baik dan bertahan di hari yang susah. Namun, berkat tidak hanya menjadi milik para leluhur; berkat hendak disampaikan kepada segenap umat manusia, seperti dikatakan, “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau (Abraham) mendengarkan Firman-Ku” (Kej. 22:17-18). Abraham dan keturunannnya akan memantulkan berkat yang menyinari mereka sehingga bangsa-bangsa pun melihat terang kasih Allah. Terang itu kini telah menjadi nyata bagi hidup kita; setiap orang yang percaya di dalam janji iman sebagai anak-anak Abraham. Sehingga mereka yang hidup dari iman, merekalah yang diberkati bersama-sama Abraham yang beriman itu (Gal. 3:7-9).          

Renungan
Jika Allah sudah menyatakan janji-Nya kepada Abraham, dan Abraham mampu merespon janji Allah dibalik rasa khawatir dan ketidakmungkinan di dunia ini, apakah kita juga mampu belajar seperti Abraham yang merespon janji Allah, ketika kita juga melihat banyak ketidakmungkinan di dalam hidup kita?

Sesungguhnya apakah rahasia dibalik peristiwa – pergumulan iman – yang dialami oleh Abraham? Bagimana sikap dan respon Abraham dalam menanggapi apa yang Tuhan nyatakan dalam dirinya? Apa yang membuat Abraham akhirnya mampu bertahan dan Allah memperhitungkannya sebagai kebenaran? Pada ayat 6 dinyatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”. Abraham percaya; meng-imani dan meng-amini apa yang di Firmankan-Nya. Hanya karena Abraham percaya, Allah memperhitungkan hal tersebut. Abraham percaya dan melakukan perjanjian yang telah diikat oleh Allah padanya; kepada seisi rumahnya perjanjian tersebut diberlakukan. Inilah sikap penyembahan Abraham; beriman dalam sikap yang penuh ketaatan.   

Dalam ketaatan – sejak dipanggil – Abraham juga sepenuhnya beriman; menyerahkan diri kepada Allah. Meskipun proses beriman yang sesungguhnya tidaklah semudah membayangkan janji-janji yang dinyatakan Tuhan kepadanya. Sebab, sesungguhnya keraguan dan rasa khawatir adalah kondisi yang seakan menjadi lebih akrab dalam hidup ini. Sangat sering logika dan proses menalar kita menjadi hal yang bertolakbelakang dengan apa yang kita percayai. Sesungguhnya dalam proses itulah iman kita dijungkirbalikkan ke dalam sebuah realitas yang kita hadapi sehari-hari. Pengharapan Abraham untuk menantikan janji keturunan menjadi bangsa yang besar seakan menjadi mimpi disiang bolong. Apakah mungkin memiliki keturunan dalam kondisi yang sudah diprediksi sebagai hal yang mustahil oleh proses nalar duniawi?

Pergumulan iman yang dialami oleh Abaraham adalah gambaran yang nyata terjadi dalam keseharian hidup kita. Bukanlah kita sering mengalaminya; baik di dalam keluarga, lingkungan kerja, bahkan di dalam hidup bergereja?. Rasa khawatir sering membuat kita menjadi kecewa bahkan mengalami kepahitan. Penderitaan seolah-olah tidak pernah berakhir dan senantiasa tersaji seperti “sarapan pagi”. Banyak orangtua menyekolahkan anak sekuat dana dan tenaga, tetapi sang anak gagal meraih gelar yang dicita-citakan, cuma menjadi pengangguran dan disisi lain ada banyak pemuda yang sedang menunggu untuk mendapatkan pekerjaan.

Banyak orangtua berharap menikahkan putrinya dengan pria baik-baik, terpandang dan terhormat tetapi nyatanya sang putri memilih kawin lari dan mereka kecewa dan di sisi lain, banyak pemuda/pemudi yang juga sedang menunggu pasangan hidupnya yang tak kunjung tiba. Ada banyak pasangan keluarga muda yang sedang menunggu, bahkan ada yang sudah menunggu lama untuk mendapatkan berkat keturunan tetapi belum juga tiba waktunya, sementara ada keluarga yang sudah dianugerahkan anak tetapi anak mereka terhempas dalam jerat narkotika dan pergaulan bebas.  

Adakah keluarga Kristen yang mampu bertahan menghadapi hempasan “gelombang badai” dengan kekuatannya sendiri dalam kehidupan ini? Selain hanya menjadi kecewa dan khawatir, maka hidup yang mengagungkan kuasa diri hanya berujung kepada kehancuran. Namun sebaliknya, beriman berarti berserah diri dengan sungguh-sungguh kepada Allah di dalam ketaatan dan penyembahan. Jika bukan kepada Allah, kita akan berserah diri pada pendapat atau harapan orang lain, kepada uang, kepada sakit hati, kepada ketakutan, atau kepada keangkuhan, hawa nafsu atau ego kita sendiri. Kita dipanggil untuk masuk dalam persekutuan-Nya yang kudus; untuk taat dan menyembah Dia. Sehingga jika kita gagal menyembah Dia, maka kita akan membuat hal-hal lain (berhala-berhala) yang kepadanya kita akan memberikan hidup kita. 

Kadang-kadang – sama seperti Abraham – butuh waktu bertahun-tahun, tetapi akhirnya kita menyadari bahwa penghalang terbesar untuk menerima berkat Allah dalam kehidupan kita bukanlah orang lain, tetapi diri kita sendiri, yaitu kehendak diri, kesombongan yang sukar dihilangkan, dan ambisi pribadi kita. Jika Allah hendak melakukan karya-Nya yang terbesar di dalam hidup kita, hal itu akan dimulai dalam sebuah ujian. Jadi kuncinya adalah percaya dan berserah; menyerahkan semuanya kepada Allah: penyesalan masa lalu, masalah yang kita hadapi sekarang, ambisi masa depan, ketakutan, impian, kelemahan, kebiasaan, kepahitan, dan kecemasan kita.

Mempercayai Allah sepenuhnya berarti memiliki iman bahwa Dia memelihara janji-janji-Nya. Hingga akhirnya Allah menyatakan semuanya; masalah yang kita hadapi berubah menjadi berkat yang melimpah; pergumulan berubah menjadi pengharapan; pengharapan melatih iman dalam ketaatan; ketaatan membuka pemahaman baru akan hidup yang penuh tujuan seperti yang telah dijanjikan-Nya. Sehingga dalam hal ini iman kita menjadi nyata seperti yang dinyatakan Paulus bahwa, “Yesus Kristus membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu” (Gal. 3:14). Amen