Tuesday, June 11, 2013

Tuhan senantiasa memelihara umat-Nya



Kisah Elia dan Ibu Janda di Sarfat  (1 Raja-raja 17: 8-24)

Pernah satu kali, saya menonton acara reality show di salah satu program televisi yang menggambarkan tentang realitas kehidupan masyarakat di bumi pertiwi Indonesia. Mungkin semua orang juga pernah menontonnya, karena secara praktis acara tersebut sangat unik ketika pertama kali tayang dan menohok banyak orang. Bahkan sangat kontras memantulkan kondisi kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Acara tersebut bertajuk “Minta Tolong”. Sinopsis dari acara tersebut tentang seseorang yang membutuhkan pertolongan dengan menjual apa yang dimiliki (untuk membeli keperluannya yang sangat mendesak) kepada orang lain yang tergerak hatinya oleh belas kasihan. 
  
Dalam kisah tersebut, diceritakan seorang anak sedang berkeliling menjajakan makanan kepada setiap orang yang dijumpai, dengan maksud uang hasil penjualannya tersebut akan dipakai untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit. Hal yang unik dari acara ini adalah, seandainya biaya produksi jananan anak tersebut adalah Rp. 25.000 maka anak tersebut harus bertemu seseorang yang mau membeli jajanannya seharga Rp. 250.000, karena sebesar itu pula biaya yang dibutuhkan untuk membeli obat ibunya. Sangat tidak masuk akal kan??? Tapi itulah uniknya acara tersebut.

Selanjutnya, anak kecil tersebut berkeliling dan menjumpai semua orang yang dijumpainya. Anak tersebut berupaya menjual dan meyakinkan setiap orang bahwa ia sangat membutuhkan uang untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit. Namun, semua orang yang dijumpai seakan tidak mau peduli dengan apa yang dijualnya. Bahkan banyak yang menertawai permohonannya; menjual semua jajanannya seharga obat yang akan dibeli. Tentunya, ada banyak sikap yang muncul dari kisah yang ditayangkan dalam acara tersebut, namun disitulah semuanya menjadi semakin nyata. 

Begitu banyaknya orang yang (seharusnya) mampu untuk membeli dan membantu anak tersebut namun tidak peduli. Hingga akhirnya, acara tersebut mengungkapkan bahwa ternyata ada orang yang peduli meskipun sesungguhnya tidak mampu. Sang anak justru bertemu dengan seorang ibu penjual barang-barang keperluan rumah tangga yang bersedia membeli jajanannya dan memberikan uang Rp. 250.000 dengan sukacita untuk membeli obat ibunya. Sungguh ironis dan sangat menggetarkan hati. Ternyata hati yang tergerak oleh belas kasihan tidak diukur dari suatu nilai dan barang apapun.

Singkat cerita, si ibu penjual barang-barang yang membeli jajanan anak tersebut akhirnya ditemui oleh tim reality show tersebut dan diberikan uang berlipat ganda atas sikapnya yang bersedia menolong anak tersebut untuk membeli obat bagi ibunya. Si Ibu yang menolong anak kecil itu tidak pernah tahu bahwa sikapnya yang tergerak karena belas kasihan ternyata membuahkan sukacita yang sangat besar bagi hidupnya. Uang yang dia berikan kepada anak kecil tersebut karena belas kasihan akhirnya berganti menjadi berlipatkali ganda. 

Kisah Nabi Elia dalam perjumpaannya dengan keluarga seorang janda di Sarfat juga menceritakan kisah unik yang sama. Kebutuhan dan kesusahan seorang janda miskin itu tidak diremehkan oleh Allah; Ia mengutus Elia untuk memperkuat imannya dan memberikan berkat-berkat jasmani ketika janda itu sudah nyaris putus asa (ayat 1Raj. 17: 12). Iman janda itu kepada Allah dan firman-Nya melalui nabi Elia membuatnya menukarkan hal yang pasti untuk yang tidak pasti; yang tampak untuk yang tidak tampak (ayat 1 Raj. 17: 10-16; bd. Ibr. 11: 27). Janda yang percaya ini bukan hanya menerima berkat jasmani dari nabi Allah, ia juga menerima berkat rohani.

Elia mengajar janda ini bagaimana bersikap saat kekurangan. Dalam hal ini, tentunya cara paling cepat untuk mendidik orang yang berkekurangan adalah dengan mendorong dia memberi di dalam kekurangannya. Sama halnya seperti orang miskin ini, pasti berat sekali, sudah dikatakan mau mati karena persediaan makanan yang terakhir, masih diminta lagi. Tapi dia taat dan membuat dulu untuk Elia. Bahkan Ibu Janda tersebut tahu bagaimana menjadikan kekurangan dan kemiskinan mereka sebagai satu keadaan yang kondusif untuk receptive terhadap pekerjaan dan pemeliharaan Tuhan yang mau dinyatakan di dalam kehidupan mereka. Ini yang membuat mereka diperkenankan Tuhan, bukan karena mereka miskin/kaya. 

Kemudian hal yang sangat tragis pun bisa saja terjadi meski pemeliharaan-Nya sedang berlangsung di dalam hidup kita. Dalam ayat 17 pada perikop ini selanjutnya dikatakan bahwa, anak janda tersebut kemudian jatuh sakit meskipun mereka masih memiliki persediaan makanan yang cukup. Sungguh tragis bukan? Disaat iman janda tersebut baru saja menyaksikan bukti pemeliharaan Tuhan, disaat yang sama anaknya juga harus sakit dan meninggal. Tidak jelas diungkapkan mengapa anaknya jatuh sakit dan meninggal namun ini suatu ironi yang terjadi.    

Di sini kita akhirnya berhadapan dengan salah satu rahasia hidup yang sangat membingungkan. Pada saat Allah secara ajaib menyediakan tepung dan minyak, terjadilah kesulitan dan kesusahan. Kadang-kadang penyakit atau bahkan tragedi yang lebih besar dapat menimpa mereka yang melaksanakan kehendak Allah dan dengan aktif terlibat dalam pelayanan demi kerajaan-Nya. Bahkan dunia seakan tidak adil bagi setiap orang yang sedang menghadapi berbagai persoalan dan menjadi pergumulan hidupnya. Namun, hanya orang-orang yang mampu bertahan dan berpengharapanlah yang akan mampu melihat janji penyertaan dan pemeliharaan-Nya.  

Kesaksian ibu janda tersebut pada ayat 24 akhirnya membuktikan Allah menghidupkan kembali anak itu sebagai jawaban atas doa Elia. Peristiwa ini adalah kebangkitan pertama dari seorang mati yang dikisahkan Alkitab (bd. 2 Raj. 4: 34; Kis. 20: 10). Ketiga mukjizat yang terdaftar dalam pasal 1Raj. 17: 1-24 secara menyolok menyatakan kemuliaan dan kasih Allah; mukjizat itu menunjukkan kepada Elia dan janda itu bahwa di tengah-tengah situasi yang tragis, kuasa dan kasih Allah tetap aktif bagi mereka yang mengasihi Dia dan dipanggil sesuai dengan maksud-Nya.

Kiranya Tuhan menolong dan menuntun kita dalam mengenal dan menyadari kehadiran-Nya di setiap perjalanan dalam pergumulan hidup kita. Dengan demikianlah kita akan tetap belajar untuk senantiasa bersemangat mempermuliakan hidup dalam setiap tugas dan pekerjaan kita, dimanapun kita berada. Tuhan menyertai kita. Amen