Kisah Elia dan Ibu Janda di Sarfat (1 Raja-raja 17: 8-24)
Pernah satu
kali, saya menonton acara reality show di
salah satu program televisi yang menggambarkan tentang realitas kehidupan
masyarakat di bumi pertiwi Indonesia. Mungkin semua orang juga pernah
menontonnya, karena secara praktis acara tersebut sangat unik ketika pertama
kali tayang dan menohok banyak orang. Bahkan sangat kontras memantulkan kondisi
kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Acara tersebut bertajuk “Minta Tolong”.
Sinopsis dari acara tersebut tentang seseorang yang membutuhkan pertolongan dengan
menjual apa yang dimiliki (untuk membeli keperluannya yang sangat mendesak) kepada
orang lain yang tergerak hatinya oleh belas kasihan.
Dalam kisah
tersebut, diceritakan seorang anak sedang berkeliling menjajakan makanan kepada
setiap orang yang dijumpai, dengan maksud uang hasil penjualannya tersebut akan
dipakai untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit. Hal yang unik dari
acara ini adalah, seandainya biaya produksi jananan anak tersebut adalah Rp.
25.000 maka anak tersebut harus bertemu seseorang yang mau membeli jajanannya
seharga Rp. 250.000, karena sebesar itu pula biaya yang dibutuhkan untuk
membeli obat ibunya. Sangat tidak masuk akal kan??? Tapi itulah uniknya acara
tersebut.
Selanjutnya,
anak kecil tersebut berkeliling dan menjumpai semua orang yang dijumpainya. Anak
tersebut berupaya menjual dan meyakinkan setiap orang bahwa ia sangat
membutuhkan uang untuk membeli obat bagi ibunya yang sedang sakit. Namun, semua
orang yang dijumpai seakan tidak mau peduli dengan apa yang dijualnya. Bahkan banyak
yang menertawai permohonannya; menjual semua jajanannya seharga obat yang akan
dibeli. Tentunya, ada banyak sikap yang muncul dari kisah yang ditayangkan
dalam acara tersebut, namun disitulah semuanya menjadi semakin nyata.
Begitu banyaknya
orang yang (seharusnya) mampu untuk membeli dan membantu anak tersebut namun tidak
peduli. Hingga akhirnya, acara tersebut mengungkapkan bahwa ternyata ada orang
yang peduli meskipun sesungguhnya tidak mampu. Sang anak justru bertemu dengan
seorang ibu penjual barang-barang keperluan rumah tangga yang bersedia membeli
jajanannya dan memberikan uang Rp. 250.000 dengan sukacita untuk membeli obat
ibunya. Sungguh ironis dan sangat menggetarkan hati. Ternyata hati yang tergerak
oleh belas kasihan tidak diukur dari suatu nilai dan barang apapun.
Singkat cerita,
si ibu penjual barang-barang yang membeli jajanan anak tersebut akhirnya
ditemui oleh tim reality show tersebut dan diberikan uang
berlipat ganda atas sikapnya yang bersedia menolong anak tersebut untuk membeli
obat bagi ibunya. Si Ibu yang menolong anak kecil itu tidak pernah tahu bahwa
sikapnya yang tergerak karena belas kasihan ternyata membuahkan sukacita yang
sangat besar bagi hidupnya. Uang yang dia berikan kepada anak kecil tersebut karena
belas kasihan akhirnya berganti menjadi berlipatkali ganda.
Kisah Nabi Elia
dalam perjumpaannya dengan keluarga seorang janda di Sarfat juga menceritakan
kisah unik yang sama. Kebutuhan
dan kesusahan seorang janda miskin itu tidak diremehkan oleh Allah; Ia mengutus
Elia untuk memperkuat imannya dan memberikan berkat-berkat jasmani ketika janda
itu sudah nyaris putus asa (ayat 1Raj. 17: 12). Iman janda itu kepada Allah dan
firman-Nya melalui nabi Elia membuatnya menukarkan hal yang pasti untuk yang
tidak pasti; yang tampak untuk yang tidak tampak (ayat 1 Raj. 17: 10-16; bd.
Ibr. 11: 27). Janda yang percaya ini bukan hanya menerima berkat jasmani dari
nabi Allah, ia juga menerima berkat rohani.
Elia
mengajar janda ini bagaimana bersikap saat kekurangan. Dalam hal ini, tentunya
cara paling cepat untuk mendidik orang yang berkekurangan adalah dengan mendorong
dia memberi di dalam kekurangannya. Sama halnya seperti orang miskin ini, pasti
berat sekali, sudah dikatakan mau mati karena persediaan makanan yang terakhir,
masih diminta lagi. Tapi dia taat dan membuat dulu untuk Elia. Bahkan Ibu Janda
tersebut tahu bagaimana menjadikan kekurangan dan kemiskinan mereka sebagai
satu keadaan yang kondusif untuk receptive
terhadap pekerjaan dan pemeliharaan Tuhan yang mau dinyatakan di dalam
kehidupan mereka. Ini yang membuat mereka diperkenankan Tuhan, bukan karena
mereka miskin/kaya.
Kemudian hal
yang sangat tragis pun bisa saja terjadi meski pemeliharaan-Nya sedang
berlangsung di dalam hidup kita. Dalam ayat 17 pada perikop ini selanjutnya
dikatakan bahwa, anak janda tersebut kemudian jatuh sakit meskipun mereka masih
memiliki persediaan makanan yang cukup. Sungguh tragis bukan? Disaat iman janda
tersebut baru saja menyaksikan bukti pemeliharaan Tuhan, disaat yang sama
anaknya juga harus sakit dan meninggal. Tidak jelas diungkapkan mengapa anaknya
jatuh sakit dan meninggal namun ini suatu ironi yang terjadi.
Di sini
kita akhirnya berhadapan dengan salah satu rahasia hidup yang sangat membingungkan.
Pada saat Allah secara ajaib menyediakan tepung dan minyak, terjadilah
kesulitan dan kesusahan. Kadang-kadang penyakit atau bahkan tragedi yang lebih
besar dapat menimpa mereka yang melaksanakan kehendak Allah dan dengan aktif
terlibat dalam pelayanan demi kerajaan-Nya. Bahkan dunia seakan tidak adil bagi
setiap orang yang sedang menghadapi berbagai persoalan dan menjadi pergumulan
hidupnya. Namun, hanya orang-orang yang mampu bertahan dan berpengharapanlah
yang akan mampu melihat janji penyertaan dan pemeliharaan-Nya.
Kesaksian
ibu janda tersebut pada ayat 24 akhirnya membuktikan Allah menghidupkan kembali
anak itu sebagai jawaban atas doa Elia. Peristiwa ini adalah kebangkitan
pertama dari seorang mati yang dikisahkan Alkitab (bd. 2 Raj. 4: 34; Kis. 20:
10). Ketiga mukjizat yang terdaftar dalam pasal 1Raj. 17: 1-24 secara menyolok
menyatakan kemuliaan dan kasih Allah; mukjizat itu menunjukkan kepada Elia dan
janda itu bahwa di tengah-tengah situasi yang tragis, kuasa dan kasih Allah
tetap aktif bagi mereka yang mengasihi Dia dan dipanggil sesuai dengan
maksud-Nya.
Kiranya Tuhan menolong dan menuntun kita dalam mengenal dan menyadari kehadiran-Nya di setiap perjalanan dalam pergumulan hidup kita. Dengan demikianlah kita akan tetap belajar untuk senantiasa bersemangat mempermuliakan hidup dalam setiap tugas dan pekerjaan kita, dimanapun kita berada. Tuhan menyertai kita. Amen
Kiranya Tuhan menolong dan menuntun kita dalam mengenal dan menyadari kehadiran-Nya di setiap perjalanan dalam pergumulan hidup kita. Dengan demikianlah kita akan tetap belajar untuk senantiasa bersemangat mempermuliakan hidup dalam setiap tugas dan pekerjaan kita, dimanapun kita berada. Tuhan menyertai kita. Amen