Tuesday, May 14, 2013

Berjumpa dengan Tuhan yang dinanti-nantikan

Nas bacaan, Wahyu 22 : 12 – 17

"Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya (ayat 12)

Pengantar
Alkisah, Mora seorang buruh di kota metropolitan bermimpi bahwa Tuhan akan datang berkunjung ke rumahnya. Dengan penuh penasaran dan harap-harap cemas, Mora pun mempersiapkan diri untuk kunjungan tersebut. Mora menjadi lebih bersemangat menantikan kedatangan tamu sepesialnya; tamu Agung, yaitu Tuhan. Mora pun mempersiapkan semua hal yang dia perlukan untuk menanti sosok yang sangat ia nantikan tersebut. Makanan, minuman dan perlengkapan lainnya sudah dipersiapkan dengan baik. Bahkan Mora sudah menyiapkan cadangan atau persediaan yang dibutuhkan selama menunggu tamu Agung tersebut akan datang.

Sore itu, segelas teh hangat dan roti bakar sudah tersedia dimejanya, sambil menghangatkan diri dari cuaca hujan yang sangat deras di luar rumah. Itulah cuaca yang sangat lazim pada musim penghujan yang sedang hadir di kota itu. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan suara yang sangat keras memanggil dari luar. Mora kemudian melihat siapa yang datang. Hatinya berkata: “Apakah itu Tuhan?” Setelah membuka pintu pintu, ternyata tukang pos yang datang mengirimkan surat. Mora melihat tukang pos tersebut telah basah kuyup demi mengantar surat. Kemudian hati Mora tergerak dan mengajak tukang pos tersebut masuk untuk menikmati teh hangat dan roti bakar bersamanya.

Setelah selesai makan dan minum mereka keluar dan Mora mengantar tukang pos tersebut hingga ke pagar depan rumahnya. Namun, sebelum sampai di pagar rumah, Mora mendengar suara isak tangis anak perempuan di sudut pagar rumahnya. Ia menghampiri anak tersebut dan menanyakan, mengapa ia menangis. Kemudian anak tersebut menceritakan, bahwa ia tersesat ketika mengikuti tukang balon yang berjualan keliling. Mungkin ketika hujan deras tadi, tukang balon tersebut lari tunggang langgang dan menghilang entah kemana. Akhirnya anak kecil tersebut ikut tersesat.

Mora memutuskan untuk mengantar anak kecil tersebut kembali pulang kepada orang tuanya. Namun sebelum pergi Mora menuliskan pesan di pintu rumahnya: “Tuhan tunggu saya ya, ada urusan mendadak. Salam hangat, Mora.” Kemudian Mora menempelkannya di pintu. Sambil berjalan Mora menghibur anak tersebut dan bertanya dimana orang tuanya tinggal. Akhirnya mereka tiba dan Mora mengembalikan anak tersebut kepada orangtuanya.

Mora kemudian pulang bergegas sebab ia berpikir bahwa Tuhan mungkin sudah datang dan menunggunya di rumah. Dengan bersemangat ia berjalan pulang. Setelah sampai di rumah, Mora sangat kaget dan tersentak karena pintu rumahnya sudah terbuka. Mora kemudian tersenyum dan berucap dalam hatinya, “apakah Tuhan yang datang?” Kemudian mora masuk dan menemukan seorang pemuda yang sudah berlumuran darah terbaring di sofanya. Wajahnya lebam dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tersebut baru saja dianaiaya oleh sekelompok pemuda yang menyatakan dirinya geng motor.

Mora kemudian mengambil handuk hangat dan membersihkan luka pemuda tersebut. Memberinya minum dan makan agar pemuda tersebut tidak sekarat. Karena kondisinya parah, Mora memutuskan untuk menjaga pemuda tersebut pada malam itu. Karena kelelahan berjaga-jaga, akhirnya Mora tertidur pulas disamping pemuda yang menumpang di rumahnya. Keesokan harinya, Mora sontak terkaget karena sewaktu bangun ia tidak menemukan pemuda tersebut.

Mora mencari ke sekeliling rumahnya, namun tidak menemukan pemuda tersebut. Akhirnya Mora melihat secarik kertas yang kemarin ia tulis dan tempelkan di depan pintu, “Tuhan tunggu saya ya, ada urusan mendadak. Salam hangat, Mora.” Kemudian Mora tersadar dan merasa sedih. “Ahhh, pasti Tuhan tadi malam sudah datang sewaktu aku tertidur menjaga pemuda itu”, ucap Mora dengan wajah yang muram. Sambil memegang kertas tersebut, Mora kemudian beranjak dan membereskan isi rumahnya.

Tiba-tiba suara telepon rumahnya kemudian berdering, dan dengan tenang Mora menjawab: “syalom, selamat pagi?” Kemudian suara yang lantang pun berkata: “Terima kasih ya Mora, sejak semalam engkau melayaniku dengan baik. Disaat aku haus dan lapar, engkau memberiku makan; disaat aku tersesat, engkau menuntunku; disaat aku terluka, engkau menolong dan merawatku. Aku sangat berterima kasih dan memuji perbuatan baikmu. Spontan Mora bertanya: “siapakah ini?” Kemudian suara itu menjawab, “Ya, Aku-lah Tuhan yang kau nanti-nantikan itu; Akulah yang kau layani itu dengan baik”. Sungguh aku telah menjadi tamu istimewa di rumahmu.

Mora kemudian tersungkur dan sujud dalam doa dan ungkapan syukur. Mora menangis dan terharu karena tidak menduga kalau Tuhan sungguh hadir di rumahnya. Tuhan yang ia nanti-nantikan telah menyapanya dengan cara-cara yang tidak terduga. Sungguhkah Mora telah melayani Tuhan dengan baik ketika Tuhan hadir dalam berbagai wujud-Nya? Sungguhkah Mora menanti-nantikan Tuhan dengan hati yang berjaga-jaga? Hanya Tuhan yang tahu dan dapat menjawab semua pertanyaan hati Mora. Namun yang pasti, sejak hari itu Mora menjadi baru, hidup dalam kemurahan hati; mau berbagi dan menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Tidak lagi menggerutu, bersungut-sungut bahkan mengeluh. Mora menjadi lebih bersukacita, ia bernazar dan mempermuliakan hidupnya menjadi hamba kebaikan dengan semangat menanti-nantikan Tuhan senantiasa.    

Renungan
Kisah diatas adalah renungan yang telah berkembang dengan luas dan memberi makna dalam berbagai cara. Seperti halnya dengan apa yang telah difirmankan Tuhan pada nas di atas, “Aku akan datang segera…” Kalimat ini menjelaskan bahwa Dia, yaitu Tuhan akan segera datang, sekalipun kedatangan Tuhan adalah kondisi yang tidak mudah untuk dipahami; sulit ditebak. Bahkan, mungkin sampai menantang sikap kita disaat-saat krisis menghampiri. Disaat-saat yang tidak terduga itulah kita diajak untuk senantiasa berjaga-jaga.

Hal yang utama dan mendasar ingin diperlihatkan disini adalah bahwa Tuhan akan  datang segera dan memberikan upah untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya. Dalam hal ini Tuhan akan memberikan upah kepada setiap orang sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Namun, bukan dalam artian bahwa upah tersebut menjadi tujuan bagi orang yang menantikan kedatangan-Nya. Namun, motivasi dan keyakinan untuk berjumpa dengan Tuhan dalam berbagai wujud-Nya adalah tujuan sekaligus menjadi kunci untuk masuk dalam kerajaan-Nya.

Motivasi dan keyakinan itulah yang akan menuntun orang-orang percaya untuk senantiasa bersabar (bertahan) dan sekaligus berbuat (sekalipun hal kecil) dalam setiap pekerjaan dan pelayanannya sehari-hari. Bukan sebaliknya, ada orang yang hendak mendekatkan diri kepada Tuhan dengan mengasingkan diri dan memuja Tuhan dengan kepuasannya sendiri. Akhirnya tuhan yang dinanti-nantikan hanya ada dalam imajinasi dan mimpi belaka. Namun, menanti-nantikan Tuhan sesungguhnya adalah menjadi peka dalam hidup sehari-hari dengan membuka hati dalam kerendahan dan ucapan syukur sembari melakukan kebaikan bagi sesama; yang terluka, yang sakit, yang teraniaya, yang membutuhkan uluran tangan, dan lain sebagainya (band. Matius 25:40).

Wednesday, May 1, 2013

Bersyukur melampaui 904 Km



Melangkahkan kaki dengan penuh kepastian itu mengawali sebuah keberhasilan. Begitulah yang dirasakan Nee pagi ini. Dengan penuh semangat ia tersenyum sesaat setelah mendengar alarm dari BB nya berbunyi tepat jam 1.30 dini hari. Tidak seperti biasanya Nee mengabaikan bunyi alarm dan menarik selimut utk menghangatkan tubuhnya, kali ini dia menyibakkan selimut itu dan segera menyalakan kompor untuk menyiapkan air hangat untuk mandi.

Tidak terlihat ngantuk di wajahnya, Nee mondar mandir menyiapkan keperluan untuk pergi dini hari ini, sambil menunggu air panas. Dan siap, tas ransel hitam coklat yang hanya berisi satu kemeja putih, peralatan makeup, tiket pesawat, dompet, handycam, BB lengkap dengan charger, dan hp nokia siap dibawanya. Sebelum mandi Nee menyeduh teh melati dalam cangkir putih dengan gula agak banyak dari biasanya. Aaahhh, segarnya teh melati menghangatkan perutnya sesaat setelah mandi.

Breeeep, breeeeep, segera Nee menjawab telepon dari nokianya. Rupanya sopir travel yang akan membawanya ke bandara sudah siap. Segera Nee memasang syal lembut kesayangannya. Menghabiskan teh melati meletakkan tali ransel di bahunya, dan melipat tangannya untuk berdoa. Ia memakai sepatunya dan antusias menjadi penumpang travel sampai bandara.

Di dalam travel, Nee merencanakan untuk tidur, lumayan 2 jam perjalanan. Tapi antusiasnya untuk segera sampai bandara berhasil mengalahkan rasa ngantuknya. Nee menikmati sepanjang jalan yang dilewatinya. Matanya mengukur sepanjang jalan di keremangan sinar rembulan dan lampu jalanan. Sesekali dia tersenyum melihat jalan yang pernah dilaluinya bersama Dee. Berulang kali Nee melihat jam, namun tidak bisa mengubah kecepatan gerakan detik. 2 jam terasa sangat lama, tapi otaknya yang tidak pernah berhenti melompat-lompat akhirnya membawa Nee sampai juga di bandara.

Burung raksasa yang terbuat dari baja itu, siap membawanya ke kota lain. Kota yang selalu menjadi tumpuan harapannya untuk masa depan. Kota yang setiap malam ia kunjungi lewat jaringan signal. Kota yang selalu membuatnya sejuk di tengah hiruk pikuk kesibukan dan teriknya matahari yang seperti tidak pernah terbenam di kota itu. Kota yang mampu membuatnya tersenyum. Kota yang membuatnya mampu berbesar hati meski kadang menangis. Ya, karena di kota itu Dee tinggal. Dialah yang menjadi harapan terbesar di antara kecil kemungkinan yang menghimpitnya.

Sepanjang usaha kecanggihan transportasi yang menerobos awan, melintasi cakrawala dan menembus gerombolan embun, Nee berulang kali menghitung estimasi waktu. Apakah mungkin ia bisa sampai di ruang teduh itu sebelum 9.30? Lagi, mata Nee tidak bisa terpejam. Kepalanya terus sibuk mengulang estimasi waktu yang sudah pasti bahwa ia tidak akan terlambat. Akhirnya, goncangan itu menandai pendaratan yang baik dan cantik. Puji Tuhan!! teriak Nee dalam hati sambil menghela nafas panjang. Seperti ingin menerobos kerumunan orang dengan barang bawaan yang tidak beraturan. Entahlah, apa gunanya bagasi luas di perut pesawat kalau semua barang diajak naik dekat tempat duduk mereka.

Haaaah lamaaaa!!!, lagi Nee berteriak dalam hati karena tidak sabar. Tapi meski begitu, tetap saja dengan manis ia mempersilahkan pasangan oma dan opa untuk mendahuluinya. Lagi, Nee tidak tega melihat seorang ibu yang menggendong bayinya, dan mempersilahkan untuk mendahuluinya. Lagi, ia membantu seorang pemuda lemot untuk menarik tas yang ada di dekat kepalanya. OMG, kapan turunnya???

Ya, kesabaran itu tidak pernah berujung penyesalan. Akhirnya Nee menapakkan kaki di depan pintu Toilet. Dengan cekatan ia mengganti sweeter putihnya dengan kemeja putih. Ia menyisir rambutnya, membubuhkan sedikit makeup supaya tidak tampak kucel, menata ulang ransel mungilnya, dan ia melihat dirinya di cermin sudah tampak lebih rapi dan anggun. Slayer lembut kesayangan dipasang ulang di lehernya, seperti tidak mau terpisah sejenakpun. Wow, sangat sibuk tapi masih sempat bercengkrama dengan mbak manis petugas kebersihan toilet itu.

Meski tampak asik sendiri, tapi Nee tetap fokus dan paham apa yang dikatakan si Mbak manis itu sambil membersihkan cermin di sebelah Nee. Perjuangan si Mbak, tampak dari semangatnya bekerja mulai jam 11 tadi malam. Anaknya yang berusia 5 tahun membuatnya makin giat bekerja di Toilet bandara itu selama 7 tahun. Sambil bergegas pergi, karena takut ketinggalan bus, Nee memegang pundak Mbak manis itu, sambil memberikan kata2 penyemangat lewat senyumannya. Masih sempat juga ia meninggalkan selembar uang kertas dari kantong ranselnya untuk si Mbak manis itu.

Nee tidak melihat orang sama sekali, tidak mendengar suara apapun, dia hanya melihat pintu yang ingin segera terbuka karena pijakannya. Yes...itu dia halte bus yang dituju, ucap Nee dalam hati. Segera membeli tiket dan penuh semangat menunggu bus yang akan membawanya ke ruangan teduh itu. Teduhnya sengat matahari pagi, sejuknya hembusan asap knalpot, sukacitanya teriakan para calo kendaraan dan pengangkut barang, menambah semangat Nee untuk menunggu wiper bus itu tampak.

Tapi kali ini, Nee tidak bisa lagi mendengar apa yang dikatakan para bapak yang juga sedang menunggu bus. Nee hanya sibuk membaca rute yang tertempel besar di balik kaca bus yang melintas belasan kali di hadapannya. Akhirnyaaaaa, Puji Tuhaaan!” Nee berteriak keras dalam hatinya, kali ini diiringi dengan senyuman lebarnya menyambut besi beroda delapan berhenti di depannya. Upss, ia naik dengan langkah yang sangat mantap. Sambil matanya sibuk mencari bangku kosong, bibirnya seperti tidak mau berhenti tersenyum.

Nee menghempaskan punggungnya di kursi empuk dalam bus itu. Seorang laki-laki autis yang ada disampingnya, menginspirasi Nee untuk segera membuka BB. Ia merangkai kata-kata penyemangat untuk Dee. Namun beberapa saat kemudian Dee tidak lagi membalas BBM-nya, dan tidak ada tanda-tanda bahwa pesannya sudah diterima Dee. Nee tetap enjoy melihat setiap sudut jalan. Membayangkan bahwa Dee juga pernah ada di situ. Berusaha mengingat-ingat nama-nama tempat yang pernah dikatakan Dee lewat perantaraan signyal.

Hmm... inilah saat yang ditunggu untuk menepuk ragu-ragu lengan pemuda autis itu, ucap Nee dalam hati. Pemuda tersebut menoleh dan Nee bertanya apakah bus ini masih lama sampai di tempat yang ia tuju? Puji Tuhan, helaan nafas Nee kali ini terasa lebih lega dari sebelumnya. Bus itu berhenti di tengah pemandangan yang sangat indah. Mobil-mobil kecil berwarna biru  terlihat berserakan, sekaligus menjadi pemandangan pagi itu. Taxi juga diparkir di mana saja, aroma got dan bekas sayur mayur pasar seberang tampak indah saja di mata Nee. Karena hari ini adalah hari yang paling indah dalam hari-hari terakhir di hidupnya.

Tidak yakin harus berjalan ke arah mana, Nee memutuskan masuk ke dalam Taxi yang akan semakin meyakinkannya bahwa penyertaan Tuhan ada dalam hidupnya. Hanya 3 menit, sampailah Nee di tempat teduh itu. Ya ia sangat yakin inilah tempatnya. Tempat di mana Dee memijakkan kaki beberapa jam sebelum dia. Tempat di mana Dee sering menghabiskan waktu dengan kesungguhan hatinya. Tempat di mana Dee juga menggantungkan harapannya. Tempat di mana Dee mewujudkan janji tulusnya kepada Tuhan untuk ibunya di waktu lampau. Janji itu mulai diperjuangkan Dee untuk ditepati, dan berawal dari sini tempatnya.

Nee menerima senyuman ramah dari beberapa penerima tamu yang berdiri rapi di depan ruangan teduh itu. Beberapa lembar kertas diterimanya yang disambut Nee dengan jabatan tangan. Nee melangkahkan kakinya lebih mantap dengan penuh syukur di dalam hatinya, akhirnya ia ada di tempat ini. Tepat 30 menit sebelum jatuh tempo estimasi waktu yang dipikirkan Nee tadi pagi, ia sudah bisa duduk tenang di bangku paling belakang. Sesaat Nee berdoa penuh sukacita, kagum akan penyertaan dan pertolongan Tuhan baginya.

Doa Nee selesai dan disambut alunan musik dari keyboard di sudut ruang itu. Tampak satu ibu berdiri dan mulai menaikkan pujian yang akan dipakai dalam ibadah pagi ini. Beberapa jemaat yang hadir mulai menyatukan hati dan turut menyanyikan pujian itu. Lonceng berdentang satu kali. Alunan musik dan pujian sesaat berhenti. Lonceng berdentang dua kali, dan dari arah pintu masuk, berjalanlah dua orang yang menyebut dirinya pelayan Tuhan. Mereka berjalan dengan penuh hikmat, wibawa, dan keagungan dalam kerendahan hati mereka. Ibadah pun dimulai, Nee tidak berhenti mengatakan Puji Tuhan dalam hatinya. Sampai saat penyampaian renungan firman Tuhan, Dee berjalan dengan yakin menuju mimbar.

Nee menatap wajah Dee yang tampak agak jauh dari pandangannya. Tetapi Nee merasa begitu dekatnya kasih Tuhan di antara mereka, Nee dan Dee. Penuh syukur dalam jiwa Nee, meski ia tahu pasti bahwa Dee menganggapnya sebagai halusinasi dalam pandangan Dee selama di dalam ruang teduh yang disebut Gereja. Nee mendengar, merasakan, dan semakin dekat dengan Tuhan saat Dee menyampaikan kotbahnya. Penuh syukur Nee dalam hati berkata: "Dear, maaf ya mungkin aku mengejutkanmu. Aku datang untuk ikut bersukacita atas langkah awal perwujudan janjimu pada Tuhan untuk ibu. Aku bangga Dee, Tuhan Yesus mengasihimu. Pasti"

Setelah turun dari mimbar, tampak Dee memiringkan kepalanya, tepat dengan gerakan kepala Nee yang juga memandang ke arah Dee. Mata Dee tampak ingin memastikan apakah Nee hanyalah halusinasinya. Alam yang kesekian kalinya membuat mereka bertatapan mata dari kejauhan, lengkap dengan senyuman dan anggukan Nee ke arah Dee, disambut Dee dengan senyum kelegaan sekaligus terhentak. Sepanjang ibadah hingga hampir berakhir, pikiran Dee pun berlari ke sana ke mari tidak habis pikir mengapa Nee yang tadi malam masih dihubunginya lewat perantaraan signal tiba-tiba ada dalam ibadah bersamanya. Dee tampak sangat tenang dalam kepanikannya membayangkan bagaimana Nee menempuh 904 Km jarak yang selama ini menyatukan hati mereka.

Ibadah usai, tiba saatnya jemaat menyampaikan terimakasih kepada para pelayan ibadah.  Nee pun segera turut berbaris di antara jemaat yang lain. Sampai gilirannya, Nee mengulurkan tangan pada Dee dan mereka bersamaan mengucapkan: "Terimakasih Dear, selamat hari Minggu Dear". Jabatan tangan dan tatapan mata yang paling berharga sepanjang perjumpaan mereka. Tidak ada kata yang bisa mereka ungkapkan. Waktu membatasi mereka untuk segera melepaskan jabatan tangan dan pandangan mata dengan rasa penuh sukacita yang tidak bisa lagi tergambarkan.

Nee tidak ingin pelayanan Dee terhambat karena kehadirannya. Dee cemas karena ingin bersama Nee meski sejenak, tetapi pelayanan lain sudah menanti ketulusan hatinya. Selalu penuh sukacita di hari itu, Nee berjalan ke arah tempat indah yang tadi dilihatnya. Nee naik bus yang sama, yang tadi pagi mengantarnya dari bandara ke terminal. Sesaat sebelum bus itu mengembalikan Nee ke bandara, Nee mengirim pesan untuk Dee: "Dear, aku bersyukur bisa memijakkan kaki di mana sayang pernah berpijak, menghirup udara yang sama, melihat langit yang sama, mendengar dan melihat hal yang sama, terlebih lagi ada dalam ibadah yang sama. Aku mensyukurinya lebih dari apapun dear"

Kalimat itulah yang menjadi energi besar untuk Dee melanjutkan pelayanannya siang itu. Dengan berat hati yang terbungkus ketulusan jiwa untuk melayani, Dee menjaga Nee dengan kesendiriannya melewati perjalanan yang akan mengantarnya kembali ke titik 904Km. Hampir 3 jam Nee merasakan kehangatan hadirnya Dee di bandara yang sepi itu. Melangkahkan kaki dengan penuh kepastian yang mengawali sebuah keberhasilan juga dirasakan oleh Dee. Sisa waktu yang terbatas dilalui Dee bersama kebaikan sopir taxi dengan kecepatan 120km/jam dan mengantar Dee berdiri tepat 9Cm saja di hadapan Nee. Mereka berpelukan dalam penuh syukur. Saling mengungkapkan perasaan mereka sepanjang waktu yang menegangkan. Lagi, mereka berpisah karena pesawat yang sama akan mengantar Nee pulang.

Dengan menyerahkan pada kehendak Tuhan, mereka berdoa untuk bisa bertemu kembali. Melangkahkan kaki dengan penuh kepastian itu mengawali sebuah keberhasilan. Nee dan Dee meyakini bahwa tidak ada segala sesuatu yang kebetulan. Yang ada adalah kehendak Allah dalam kehidupan manusia yang selalu saja dahsyat di luar pengertian manusia. Kalau hari ini mereka dapat bertemu dengan penuh sukacita, mereka pun yakin bahwa Tuhan akan memberi waktu yang baik bagi mereka di kemudian hari. Biarlah jarak, biarlah waktu, biarlah kesempatan berjalan seperti kehendak Tuhan. Karena Tuhan, mereka dapat berjumpa, tetapi dengan bersyukur dan bersukacita yang akan membawa mereka semakin dekat dalam rencana-Nya. 

(Sebuah cerpen dari Nee kepada Dee)