Saturday, October 30, 2010

Fenomena ‘Ruang Publik’ Politis dalam Masyarakat Indonesia

Beranjak dari semua fenomena dan kasus sosial bangsa yang terjadi semakin jelas kita melihat bahwa letupan kerusuhan (dalam bentuk apapun) terus beruntun yang melanda beberapa kota dan daerah belakangan ini mencuatkan dua sisi keprihatinan bangsa yang paradoksal. Di satu sisi, kerusuhan bisa dimengerti sebagai reaksi spontan sikap manusiawi masyarakat atas himpitan beban yang sangat berat yang menerpa akibat harga-harga ekonomi yang melambung tinggi. Pada titik pandang yang jauh, krisis ekonomi tersebut tampak sebagai bercak-bercak dan akhirnya menjadi borok persoalan yang tertebar karena pengelolaan administrasi dan birokrasi publik yang tidak demokratis, yang akhirnya menumbuhsuburkan korupsi dan kolusi dengan segala variannya.

Ujung persoalan administrasi dan birokrasi publik yang tidak demokratis telah menjadi penyakit sosial inefisiensi dan ketidakadilan kronis, yang akhirnya telah merusakkan aneka sistem di bidang ekonomi dan moneter, antara lain berupa kenaikan harga-harga yang signifikan dan kelangkaan barang. Namun, di sisi lain, ledakan kerusuhan massa brutal merupakan pertanda belum siapnya masyarakat menerima dan menumbuhkan-kembangkan demokrasi yang bisa diharap berbuahkan keadilan untuk masyarakat itu sendiri. Pada perspektif keprihatinan yang berisi ganda ini, Limas Sutanto (1999;18-22) telah menegaskan bahwa, dapat dirasakan betapa krisis yang terjadi tidak semata hanya berada pada lingkup ekonomi dan moneter belaka. Akan tetapi, krisis ini telah menjadi problematik yang sangat mendasar, yaitu pada tataran budaya dan moral.

Dalam situasi ke-Indonesiaan kita sekarang ini, bahwa gambaran masyarakat Indonesia pasca-reformasi ini adalah bagai anak-anak yang akil balik, yang tiba-tiba terbebas untuk menentukan sendiri kehidupan dan nasibnya. Ada kebingungan atas masa depan, keterpesonaan pada kuasa dan kekayaan, kelelahan terhadap kemiskinan, kegembiraan kreatif ke arah pembaharuan, tetapi juga kecemasan atas berbagai ketidakmampuan, ancaman dan persaingan.

Di balik segala kekisruhan politik dan ekonomi, ada situasi mental yang mengandung banyak tegangan, ada spiritualitas yang diharubiru oleh berbagai kecenderungan yang bertentangan. Yang dimaksud dengan ‘spiritualitas’ di sini adalah perpaduan antara aspirasi nilai batin vertical dan kecenderungan sikap dalam hubungan-hubungan horizontal. Berikut ini adalah beberapa gelagat yang sempat tertangkap di wilayah itu, yang dalam banyak hal memang bersifat paradoksal. Sebagian merupakan kemungkinan ancaman, sebagian lagi peluang baru bagi masa depan, meskipun sebenarnya bisa juga dilihat sebagai dua sisi dari satu mata uang.

Bahkan, Hardiman (2009; 6) juga menegaskan bahwa saat ini persoalan kebijakan di negara kita masih mengabaikan aspirasi publik. Masih terjadinya kebijakan-kebijakan pemerintah di era reformasi yang mengintervensi wilayah privat masyarakat kita, seperti yang tampak dalam kasus Perda-Perda Syariah di beberapa daerah, RUU APP, larangan terhadap Ahmadiyah, dll., menunjukkan betapa mendesaknya studi mengenai pengambilan kebijakan publik secara deliberatif (dalam arti demokratisasi) agar negara tidak terjebak di dalam godaan politik identitas yang menindas monoritas dan pluralitas. Sehingga, eskalasi kompleksitas akibat modernisasi membawa permasalahan universal yang dialami oleh berbagai masyarakat dewasa ini, yaitu: persoalan integritas sosial dan solidaritas sosial di tengah-tengah fakta pluralisme dan reletivisme nilai-nilai.

Problematika ideologi
Reformasi telah bergulir dalam batang tubuh bangsa Indonesia namun tindakan destruktif kian menghantui dimensi kehidupan bermasyarakat, tindakan tersebut seolah-olah mendapat legitimitasi dari aparatur negara sehingga proses rule of law menjadi tebang pilih. Kecenderungan negara untuk mendominasi atau menghegemoni masyarakat dilakukan melalui mobilisasi ideologi. Ada dua institusi yang bisa digunakan negara untuk melakukan mobilisasi ideologi tersebut, yaitu:
1. Aparatur Negara Represif (Represif State Apparatus/RSA). Institusi tersebut berperan menjaga dominasi negara melalui kekuatan fisik misalnya militer dan polisi.
2. Aparatur Negara Ideologis (Ideological State Apparatus/ISA). Institusi ini berperan membenarkan keabsahan rezim melalui penyebaran ideologi negara. Yang termasuk dalam institusi tersebut adalah agama, pendidikan, dan media massa.

Aparatur negara yang tugasnya adalah melindungi masyarakat (pamong praja) kini menjadi pemangsa rakyat (pangreh praja) dalam berbagai hal baik itu pada tingkatan distorsi job description maupun dalam tindakan penegakkan etika penyelenggeraan negara yang bebas dan bersih dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sesuai dengan TAP MPR No VI Thn 2001 dan UU No 20 Thn 2001. Semua kemungkinan-kemungkinan tersebut, telah menjadi pengamatan yang holistik dan mengacu kepada semua aspek. Hal ini juga yang dikemukan oleh Bambang Sugiharto (2008) sebagai pandangan-pandangan yang jika tidak diantisipasi dengan baik maka kemungkinan akan menjadi ancaman bagi keIndonesiaan kita.

Pertama, hilangnya otoritas normatif internal. Sistem-sistem norma konvensional tak lagi memadai untuk memahami gejala-gejala konkrit hari ini. Baik sistem tradisi, sistem politik, sistem ekonomi atau pun sistem religi (keagamaan), tak lagi cukup memahami diri, masyarakat dan situasi. Ini antara lain akibat pola hubungan dan aneka perubahan di dunia urban-global kini memang makin kompleks, dan kesadaran kemandirian pun semakin tinggi. Bersama dengan ketidakjelasan eksternal itu sepertinya hilang pula otoritas normatif internal dalam diri individu. Alhasil, individu mengalami dilema: di satu pihak ia harus mengandalkan dirinya sendiri dalam menilai dan memproduksi makna, di pihak lain ia tak memiliki kepastian otoritas atas sistem normatifnya pribadi, yang dalam kenyataannya memang masih mencari-cari.

Dahulu sistem-sistem eksternal baku (tradisi, agama, dsb) membantu menjembatani antara ‘dunia-dalam’ individu dan ‘dunia-luar’nya, memberi gambaran jelas kapan ia dapat disebut sukses, berdosa, gagal, setia, berkhianat, dsb. Kini hal itu semua telah menjadi kabur pengertiannya. Situasi ini pada gilirannya melahirkan berbagai konsekuensi sikap, yang mencakup: indifferentisme, skeptisisme, opportunisme, permissivisme, hingga bermacam bentuk fundamentalisme dan terorisme. Situasi ‘anomie’ ini pada akhirnya bahkan cenderung menjadi semacam pesta ‘orgy’, dimana setiap orang mencari kenikmatan sendiri.

Kedua, ortodoksi ke arah heterodoksi. Kalau pun berbagai sistem normatif masih bertahan, itu pun kian tercabik-cabik kritik intern dan keragaman penafsiran. Apa artinya bertahan menjadi orang beragama tertentu, misalnya, dikalangan orang satu agama sendiri pun pendapatnya bisa berbeda-beda. Sama artinya menjadi orang jawa, menjadi bisnismen, menjadi anggota partai, menjadi ilmuwan, dst.

Jadi. Bila dahulu prinsip-prinsip pokok, doktrin atau ajaran alias artodoksi itu terasa jelas dan pasti, kini itu terbuka bagi segala jenis penafsiran, menjadi heteredoks. Ini adalah konsekuensi lain dari kemandirian dan kecanggihan dan refleksivitas individu yang tak terelakkan serta menjadi tendensi sikap sosial sekarang ini. Banyak kontroversi (agama, politik, budaya) akhir-akhir ini muncul karena hal itu.

Ketiga, tendensi pengerasan identitas. Mengaburnya pagar-pagar identitas akibat interaksi yang kian ketat dan ketidakpastian sistem-sistem sebagai pegangan kategoris, akhirnya mengakibatkan kebingungan identitas. Ini masih diperburuk oleh fakta bahwa interaksi global yang terjadi kerap kali dialami sebagai tidak adil, bahkan menindas. Maka situasi ini mudah melahirkan tendensi kabalikannya: pengerasan identitas secara membabibuta, naïf dan penuh amarah. Identitas dipeluk erat-erat dan tertutup dengan cara menyingkirkan atau membunuh segala yang lain dan yang berbeda. Maka meriaplah hari-hari ini berbagai bentuk perjuangan identitas, atas nama kelompok etnis, agama, politik, ekonomi ataupun budaya.

Keempat, indivualisme tanpa individualitas. Situasi pasca-reformasi dan suasana pergaulan global telah mengakibatkan bangunnya individu. Kini individu sedang menyadari hak-haknya, sedang membangun dan menikmati kehidupan moderennya masing-masing. Ada suasana umum egosentrisme yang kuat, kerakusan yang nekad, dan kecenderungan anti sosial yang ngawur. Kekuasaan, popularitas dan kekayaan seakan-akan adalah hal yang paling berharga dan penting yang diburu semua orang. Dalam konteks ini seringkali kepentingan agama, etnisitas, ekonomi, dan lainnya hanyalah sisasat atau lips-service belaka. Di sana tampak jelas bahwa individu Indonesia itu mentah, kekanak-kanakan dan dangkal: etos kerjanya amat rendah dan maunya serba instant, tanggungjawab hanyalah soal rekayasa pencitraan di media, moralitas hanyalah menjadi sekedar urusan ritual, penalaran mendalam diganti menjadi kesetiaan yang garang, bahkan komitmen nilai dan konsistensi pun diganti menjadi negosiasi di bawah laci.

Mengungkap bayang-bayang ‘Ruang Publik’
Melihat semua fenomena yang terjadi, perlulah upaya yang serius dalam membangun kembali kesadaran moral menjadi peluang baru yang menjanjikan sebagai penanaman sikap yang positif dan membangun (konstruktif). Semua sikap dan tindakan tersebut akan tercermin dalam aspek-aspek kehidupan guna mengungkap bayang-bayang ‘ruang publik’ yang terdapat dalam masyarakat kita dewasa ini.

Pertama, meningkatnya kesadaran kritis mandiri. Berbagai demo yang terjadi setiap hari maupun fenomena pilkada yang telah berlangsung dan akan berlanjut terus di beberapa daerah memperlihatkan gelagat bahwa bagaimana pun masyarakat hari ini tak mudah tunduk pada besaran kekuasaan atau pun image. Masyarakat sepertinya telah sadar dan mampu melihat substansi. Dari berbagai pro-kontra sejak kasus RUU APP, kasus Munir, berbagai berbagai pengungkapan kasus korupsi oleh KPK, Coin Peduli untuk Prita (lewat jejaring Face Book) di satu sisi memperlihatkan meningkatnya keberaniaan kritis masyarakat.

Kedua, meningkatnya keterbukaan. Kendati ada tendensi eksklusivitas yang kalap dan sektarianisme yang marah, sebetulnya makin banyak pula upaya untuk solider, saling terbuka dan kerjasama demi martabat kemanusiaan umum tanpa peduli pada unsur agama, suku, ras atau pun ideology. Mulai berkembang kesadaran bahwa keterbukaan terhadap kritik, terhadap kerjasama plural, juga terhadap pemikiran-pemikiran baru adalah syarat survival bagi setiap sistem itu sendiri. Orang seperti itu lebih menyadari bahwa semakin tertutup sebuah sistem rentan ia terhadap kehancuran dari dalam.

Ketiga, meriapnya gerakan-gerakan mikro. Bersama dengan menurunnya kepercayaan terhadap sistem-sistem besar, banyak individu kini merintis gerakan dalam rupa kelompok-kelompok kecil, yang saling terhubung namun mandiri, dan dengan caranya masing-masing menggulirkan berbagai kegiatan produktif, kreatif, dan berkualitas, baik di wilayah sains, seni, ekonomi pinggiran, pendidikan, penerbitan, ekologi, politik, industri-kreatif maupun agama. Dan jaringan mereka diam-diam banyak yang menjangkau skala internasional-global, pola geraknya tidak lagi bisa dibatasi oleh aturan maupun kebijakan nasional-lokal. Kinerja mereka boleh jadi tidak tampak spektakuler, namun hidup dan berdampak, dalam spektrum kisaran-kisarannya masing-masing.

Keempat, berkembangnya tendensi-tendensi rekonsiliasi. Bersama dengan makin tak terbatasnya jaringan hubungan dalam interaksi global, maka makin pudar pula prasangka-prasangka traumatik terhadap bangsa-bangsa kolonial. Dari berbagai bentuk kerjasama substantif di berbagai bidang hingga berbagai acara hiburan di media (dalam acara-acara TV misalnya) kita dapat menyaksikan sikap bangsa ini yang kian rileks dan percaya diri berhadapan dengan orang-orang asing (kulit putih khususnya). Pada tingkat lokal pun suasana rekonsiliasi terasa, misalnya antara para korban politik masa lalu dengan tokoh-tokoh pelakunya; antara berbagai partai yang tadinya berseberangan; antara berbagai suku yang secara historis berseteru, dan sebagainya, meskipun kadang itu hanyalah siasat politis belaka. Maka di balik kecenderungan untuk ‘melawan lupa’, yaitu upaya mengungkit luka lama, atau membaranya semangat apologetis hari-hari ini, suasana rekonsiliasi ini toh dapat dianggap sebagai titik terang tertentu dalam kekisruhan anarkistik yang sering tampak gelap kini.

Ruang publik politis dalam cermin Habermas
Mengawali diskusi ini, penulis mencoba mengajak saudara-saudara sekalian untuk bercermin dalam diskursus yang telah dikemukakan oleh Habermas dalam menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam ruang publik masyarakat kompleks yang terglobalisasi dewasa ini, termasuk masyarakat Indonesia. Di mana, dalam menjawab semua problematika ideologi dan bayang-bayang ruang publik yang sebagaimana telah diungkapkan di atas ditawarkan model praktik demokrasi yang dikenal dengan istilah demokrasi deliberatif – merupakan sebuah desakan untuk membuka ruang-ruang dan kanal-kanal komunikasi politis di dalam masyarakat kita yang sedang melakukan reformasi politik dan hukum dengan memperhitungkan pluralitas orientasi etnis, religius, dan politis.

Dalam konteks ini, tentu semakin dibutuhkan studi dalam mengeksplorasi kondisi yang menyeluruh mengenai demokrasi dan peran ruang publik masyarakat kita berdasarkan diskursus yang telah dikemukakan oleh Habermas sebagai model pelaksanaan prosedur yang demokratis. Sehingga, dalam diskusi ini jugalah kita dapat melihat bahwa ruang publik yang dikemukakan oleh Habermas adalah sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai suatu keseimbangan.

Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Hardiman dalam teori ruang publik politis Habermas, bahwa ruang publik akhirnya dapat dimengerti sebagai ruang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ia berciri otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalistis, melainkan dari sumber-sumbernya sendiri. Ruang publik politis itu sebagai prosedur komunikasi – ruang itu memungkinkan warga negara untuk bebas menyatakan sikap mereka dan dapat diakses oleh semua orang. Selanjutnya, dalam diskusi tersebut kita akan menjawab pertanyaan yang muncul dalam konteks  kita saat ini: Apa yang menarik dalam konsep Habermas tentang ruang publik dapat berfungsi secara politis di Indonesia? Kemudian, Peran mana yang  lalu dimainkan oleh ruang publik dalam kerangkka negara hukum dan demokratis di Indonesia?

Mari kita diskusikan ruang publik kita saat saat ini. salam

   

No comments:

Post a Comment