“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40)
Bahan bacaan: Matius 25:31-40
Suatu ketika, penulis mengunjungi seorang pasien di sebuah rumah sakit swasta yang ada di Jakarta, dimana pasien tersebut adalah suami dari rekan kerja penulis sendiri. Dalam kunjungan tersebut, penulis bersama teman-teman yang hadir juga menyempatkan waktu untuk berbagi cerita mengenai kondisi dan perkembangan yang dialami pasien. Penulis bisa merasakan luapan emosi yang disampaikan oleh keluarga pasien tersebut. Semua berawal ketika pasien memeriksakan diri ke rumah sakit. Dalam diagnosa tersebut dokter dan perawat yang betugas lalai ketika memeriksa kondisi tubuh pasien. Diagnosa yang disampaikan adalah deman biasa dan batuk. Setelah pasien pulang, demannya tidak kunjung turun. Lantas, hal tersebut menimbulkan kecurigaan bagi rekan penulis. Setelah kembali memeriksakan pasien secara menyeluruh, maka kelihatan terdapat bintik-bintik merah pada seluruh kaki pasien. Dengan yakin rekan penulis tersebut menyampaikan bahwa tanda itu adalah gejala deman berdarah. Setelah dibuktikan dengan hasil tes laboratorium, maka pasien pun dinyatakan positif deman berdarah dan pasien baru kemudian dirawat secara intensif.
Kita sering mendengar terjadinya kelalaian dalam diagnosa pada pasien ketika hendak mendapatkan haknya, bahkan dalam hal ini penulis sendiri juga pernah mengalaminya. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kelalaian tersebut. Mungkin karena dokter dan perawat yang sedang bertugas telah lelah bekerja, sehingga mereka kurang awas dan peka. Atau, bisa juga karena mereka masih dalam proses belajar dan praktek. Tentunya kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja kesehatan (dokter, perawat dan berbagai profesi kesehatan lainnya) yang terkadang harus senantiasa siaga dalam menyediakan waktu, tenaga dan perhatian yang cukup untuk mereka yang harus dilayani.
Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan perawat adalah sebuah kewajiban dalam profesi yang diemban. Dan jika hal tersebut tidak diperhatikan sungguh-sungguh, maka akan terjadi kelalaian, kesalahan medis, dan akan menimbulkan kerugian pasien. Bercermin dari pengalaman penulis di atas, Sang Tabib Agung telah menyatakan, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Tentunya hal ini merupakan cermin bagi setiap orang yang bekerja dalam dunia sosial, khususnya bagi kita yang bekerja di bidang kesehatan. Sang Tabib senantiasa mengingatkan bahwa, dibutuhkan kerendahan hati dan sikap yang penuh kewaspadaan pada setiap tugas yang kita emban.
Dasar dan tujuan dari setiap tugas yang kita lakukan semata-mata bukanlah karena tuntutan profesi yang kita miliki sebagai pekerja kesehatan (dokter, perawat dan berbagai profesi kesehatan lainnya). Namun, dibalik semua itu kita percaya dan mengimani, bahwa semua pelayanan kesehatan yang kita berikan kepada sesama kita adalah ibadah sesungguhnya yang kita lakukan kepada-Nya. Dalam artian, jika kita menyadari bahwa siapapun yang kita layani – baik dalam kondisi dan status apapun – adalah bagian dari ibadah kita kepada-Nya, maka kita akan senantiasa berserah serta berjaga-jaga untuk tetap peka dalam melayani sesama. Terlebih lagi kepada mereka yang sangat membutuhkan jamahan kita.Tetap semangat mempermuliakan hidup.
Topik doa:
Roh Kudus, mampukan saya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan pelayanan saya setiap hari. Dengan menjamah sesama kami di dalam kasih, sesungguhnya Engkau-lah yang kami jamah. Tuntun kami di dalam Khidmat-Mu agar kami senantiasa terjaga dan melakukan yang terbaik di dalam kasih. Amin.
Tuesday, August 23, 2011
Wednesday, August 3, 2011
Mata sehat untuk hidup berwarna dan penuh makna
Berita di salah satu media surat kabar menyebutkan bahwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan resiko kebutaan tinggi di dunia. Namun, sampai saat ini penanggulangan masalah kebutaan belum menjadi prioritas pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah (Kompas, kamis 23 Juni 2011). Tentu ini bukanlah kabar yang baik bagi masyarakat Indonesia, namun disisi lain informasi ini menjadi tantangan bagi pemerintah, khususnya masyarakat Indonesia agar senantiasa menjada pola hidup sehat, terlebih dalam menjaga kesehatan mata.
Tentunya hal ini menjadi keseriusan yang segera harus disikapi dalam tindakan pencegahan (preventif) dan juga disosialisaikan kepada masyarakat (promotif) seperti yang ditegaskan oleh Tjahjono Darminto Gondhowiarjo sebagai dokter spesialis mata yang menyatakan bahwa penyebab besar kebutaan di Indonesia adalah kebutaan katarak (52 persen). Paparan cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet serta kurangnya nutrisi menjadi pemicu. Kebutaan jenis ini bisa direhabilitasi lewat operasi. Artinya, angka kebutaan di Indonesia bisa ditekan jika para penderita katarak bisa dioperasi.
Namun, besarnya biaya operasi adalah masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu kerjasama pemerintah dan swasta untuk bersama-sama menurunkan angka kebutaan tersebut. Hal yang paling sederhana tentunya adalah dengan mengkampanyekan kesehatan mata kepada generasi muda bangsa Indonesia sejak dini secara terus-menerus dan berkelanjutan (sustainable).
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Sang Pemazmur, “Peliharalah aku seperti biji mata-Mu, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu (Mazmur 17:8).” Pemazmur menggunakan biji mata sebagai lambang yang mengingat kembali kasih dan perhatian Allah terhadap umat-Nya yang setia. “Biji mata" adalah metafora Ibrani yang menyatakan sesuatu yang sangat bernilai dan disayangi. Tentunya, mata sebagai bagian dari tubuh adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita, terlebih bagi Dia Sang Empunya hidup.
Tiada hal lebih yang dapat kita lakukan untuk mata kita selain memelihara dan merawatnya. Mari menjaga kesehatan mata kita, untuk hidup yang lebih berwarna dan penuh makna. Sebab, dari mata yang sehat kita juga bisa memberi arti, paling tidak melalui promosi kesehatan yang dapat kita berikan bagi sesama. Namun, kepedulian untuk berbagi bagi setiap orang yang mengalami kebutaan juga merupakan hal yang sangat mulia dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Semoga motivasi yang kuat dan pelayanan kesehatan yang penuh kasih dan pengorbanan tetap menjadi dasar bagi seluruh lembaga pelayanan kesehatan, untuk mengatasi kebutaan di Indonesia. Selamat mempermuliakan hidup. Salam holistik
Tentunya hal ini menjadi keseriusan yang segera harus disikapi dalam tindakan pencegahan (preventif) dan juga disosialisaikan kepada masyarakat (promotif) seperti yang ditegaskan oleh Tjahjono Darminto Gondhowiarjo sebagai dokter spesialis mata yang menyatakan bahwa penyebab besar kebutaan di Indonesia adalah kebutaan katarak (52 persen). Paparan cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet serta kurangnya nutrisi menjadi pemicu. Kebutaan jenis ini bisa direhabilitasi lewat operasi. Artinya, angka kebutaan di Indonesia bisa ditekan jika para penderita katarak bisa dioperasi.
Namun, besarnya biaya operasi adalah masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu kerjasama pemerintah dan swasta untuk bersama-sama menurunkan angka kebutaan tersebut. Hal yang paling sederhana tentunya adalah dengan mengkampanyekan kesehatan mata kepada generasi muda bangsa Indonesia sejak dini secara terus-menerus dan berkelanjutan (sustainable).
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Sang Pemazmur, “Peliharalah aku seperti biji mata-Mu, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu (Mazmur 17:8).” Pemazmur menggunakan biji mata sebagai lambang yang mengingat kembali kasih dan perhatian Allah terhadap umat-Nya yang setia. “Biji mata" adalah metafora Ibrani yang menyatakan sesuatu yang sangat bernilai dan disayangi. Tentunya, mata sebagai bagian dari tubuh adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita, terlebih bagi Dia Sang Empunya hidup.
Tiada hal lebih yang dapat kita lakukan untuk mata kita selain memelihara dan merawatnya. Mari menjaga kesehatan mata kita, untuk hidup yang lebih berwarna dan penuh makna. Sebab, dari mata yang sehat kita juga bisa memberi arti, paling tidak melalui promosi kesehatan yang dapat kita berikan bagi sesama. Namun, kepedulian untuk berbagi bagi setiap orang yang mengalami kebutaan juga merupakan hal yang sangat mulia dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Keluarga Bertanggungjawab
Dalam kitab Ulangan 11:19 jelas dikatakan, “Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
Sejarah bangsa Ibrani memperlihatkan bahwa orangtua harus rajin mengajar anak-anaknya menuruti jalan dan firman Tuhan demi untuk pertumbuhan rohani dan kesejahteraan mereka. Ayah yang taat kepada perintah-perintah dalam Firman Tuhan akan melakukan hal ini. Kepentingan utama dari ayat ini adalah anak-anak didewasakan dalam “ajaran dan nasehat Tuhan” yang adalah merupakan tanggung jawab orangtua dalam rumah tangga.
Salah satu bentuk pendidikan awal yang diajarkan oleh orangtua kepada anak adalah mengenai pentingnya pola hidup sehat di dalam keluarga; yaitu kesehatan mental dan spiritual pada anak. Sebab, banyak orangtua yang menganggap bahwa kesehatan mental dan emosi adalah hal yang sepele dan tidak terlalu penting diajarkan bagi anak-anak. Implikasinya adalah, anak menjadi rentan dan mudah mengalami gangguan dan ketidakstabilan emosi, khususnya ketika anak akan bertumbuh ke tahap remaja dan dewasa.
Banyaknya kasus pencucian otak oleh kelompok tertentu yang dilakukan kepada anak (orang muda) beberapa waktu yang lalu adalah salah satu bentuk lengahnya perhatian orang tua dalam memonitoring pertumbuhan mental anak. Seperti yang dituturkan oleh dr Surjo Dharmono, SpKJ (K), bahwa pencucian otak adalah proses pembelajaran yang dilakukan dalam tekanan dan dilakukan secara terus-menerus sehingga tercipta pandangan hidup yang salah. "Karena proses pembelajarannya salah, akan tercipta pola yang salah, dan ini akan menimbulkan perasaan kacau dan labil bagi orang yang menerima pembelajaran itu.” (http://health.kompas.com/kamis/5/5/2011)
Dengan kata lain, dr Surjo menekankan pentingnya perhatian orangtua di dalam keluarga untuk turut serta mendidik dan juga memonitoring kesehatan mental anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga, khususnya orang tua punya peran yang sangat besar dalam pertumbuhan mental anak tersebut. Seperti halnya yang telah dinyatakan dalam kitab Ulangan 11 di atas, bahwa mendidik anak adalah proses yang dilakukan senantiasa di dalam keluarga; baik ketika sedang duduk bersama di rumah; sedang dalam perjalanan; sedang berbaring dan juga setelah bangun. Kedekatan dan kehangatan yang dibangun di dalam keluarga adalah tanggung jawab yang sangat mahal harganya.
Oleh karena itu, mari membangun keluarga yang holistik untuk bertumbuh dan berkembang dalam kedewasaan penuh di dalam kasih Kristus; mari mendidik dan memonitoring kesehatan mental dan spiritual anak di rumah dan keluarga kita. Selamat mempermuliakan hidup. Salam holistik.
Sejarah bangsa Ibrani memperlihatkan bahwa orangtua harus rajin mengajar anak-anaknya menuruti jalan dan firman Tuhan demi untuk pertumbuhan rohani dan kesejahteraan mereka. Ayah yang taat kepada perintah-perintah dalam Firman Tuhan akan melakukan hal ini. Kepentingan utama dari ayat ini adalah anak-anak didewasakan dalam “ajaran dan nasehat Tuhan” yang adalah merupakan tanggung jawab orangtua dalam rumah tangga.
Salah satu bentuk pendidikan awal yang diajarkan oleh orangtua kepada anak adalah mengenai pentingnya pola hidup sehat di dalam keluarga; yaitu kesehatan mental dan spiritual pada anak. Sebab, banyak orangtua yang menganggap bahwa kesehatan mental dan emosi adalah hal yang sepele dan tidak terlalu penting diajarkan bagi anak-anak. Implikasinya adalah, anak menjadi rentan dan mudah mengalami gangguan dan ketidakstabilan emosi, khususnya ketika anak akan bertumbuh ke tahap remaja dan dewasa.
Banyaknya kasus pencucian otak oleh kelompok tertentu yang dilakukan kepada anak (orang muda) beberapa waktu yang lalu adalah salah satu bentuk lengahnya perhatian orang tua dalam memonitoring pertumbuhan mental anak. Seperti yang dituturkan oleh dr Surjo Dharmono, SpKJ (K), bahwa pencucian otak adalah proses pembelajaran yang dilakukan dalam tekanan dan dilakukan secara terus-menerus sehingga tercipta pandangan hidup yang salah. "Karena proses pembelajarannya salah, akan tercipta pola yang salah, dan ini akan menimbulkan perasaan kacau dan labil bagi orang yang menerima pembelajaran itu.” (http://health.kompas.com/kamis/5/5/2011)
Dengan kata lain, dr Surjo menekankan pentingnya perhatian orangtua di dalam keluarga untuk turut serta mendidik dan juga memonitoring kesehatan mental anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga, khususnya orang tua punya peran yang sangat besar dalam pertumbuhan mental anak tersebut. Seperti halnya yang telah dinyatakan dalam kitab Ulangan 11 di atas, bahwa mendidik anak adalah proses yang dilakukan senantiasa di dalam keluarga; baik ketika sedang duduk bersama di rumah; sedang dalam perjalanan; sedang berbaring dan juga setelah bangun. Kedekatan dan kehangatan yang dibangun di dalam keluarga adalah tanggung jawab yang sangat mahal harganya.
Oleh karena itu, mari membangun keluarga yang holistik untuk bertumbuh dan berkembang dalam kedewasaan penuh di dalam kasih Kristus; mari mendidik dan memonitoring kesehatan mental dan spiritual anak di rumah dan keluarga kita. Selamat mempermuliakan hidup. Salam holistik.
Sunday, March 27, 2011
Paskah: Sebuah Panggilan Kesadaran
(Permenungan memaknai paskah dalam pikiran dan perbuatan yang tersalib)
Pendahuluan
“Tidak ada gagang pada salib”, inilah bentuk ungkapan iman yang dituliskan oleh DR. Kosuke Koyama dalam bukunya, sebagai dasar permenungan mengenai pikiran yang disalibkan di Asia. Permenungan ini juga yang nantinya akan kita pakai sebagai cermin dalam melihat bagaimana memaknai paskah sebagai panggilan kesadaran ke-Kristenan kita menghadapi perubahan zaman di era milenium ke tiga ini.
Permenungan dalam menghayati perayaan paskah sebagai bentuk liturgi ke-Kristenan adalah waktu yang tepat dalam menjawab panggilan kesadaran kita sebagai umat-Nya. Sebab, paskah adalah proses permenungan iman setiap orang, untuk menyadari pengorbanan yang telah dilakukan Yesus Kristus di kayu salib dalam memberikan pertolongan keselamatan hidup kepada seluruh dunia.
Permenungan yang dilakukan dalam perayaan paskah adalah permenungan yang mengarah kepada dua aspek, yaitu vertikal dan horizontal. Permenungan vertical maksudnya adalah permenungan dalam sisi ke-iman-an kita. Bagaimana kita dapat melakukan penghayatan dalam memaknai pengorbanan Kristus di kayu salib. Sehingga dengan penghayatan tersebut kita benar-benar bisa memahami bagaimana sebenarnya kemanusiaan kita merasakan apa yang dirasakan-Nya. Artinya, ada konsekuensi iman yang harus berani kita ambil dan lakukan jika kita mengatakan bahwa kita adalah murid-Nya. Konsekuensi iman itu adalah totalitas sikap yang lahir dari penghayatan kita yang tulus dalam memikul salib-Nya.
Sedangkan permenungan horizontal adalah permenungan dalam sisi peran atau perbuatan kita terhadap semua mahluk ciptaan-Nya di seluruh dunia ini. Sisi peran ini adalah bagian yang tidak terlepas dari sisi ke-iman-an kita. Sebab, kedua hal ini dapat berjalan jikalau keduanya mendapat tempat yang sama; sejajar, di dalam hati dan pikiran kita. Tidak ada yang saling mendominasi, tetapi keduanya harus saling menyeimbangkan; saling melengkapi satu dengan yang lain.
Jika kedua hal itu telah menjadi sebuah permenungan yang mendasar dalam kehidupan ke-Kristenan kita, maka panggilan kesadaran kita sebagai bagian dari diri-Nya adalah sebuah tanggungjawab kehidupan. Artinya, ke-Kristenan kita tidaklah menjadi hal yang berarti jika hanya melakukan permenungan saja dalam ritus-ritus ke-iman-an kita, baik secara personal maupun komunal. Akan tetapi, permenungan itu akan menjadi berarti jika ada tindakan aktual (sikap nyata seperti kasih yang dilakukan Yesus sewaktu di dunia) dalam diri kemanusian kita (yang juga adalah sosial), untuk kita nyatakan kepada orang lain sebagai bentuk keselamatan yang telah kita terima.
Akan tetapi, hal penting yang sekarang harus kita sadari adalah, apa dasar permenungan kita dalam menguji panggilan ke-Kristenan kita? Benarkah kita telah melakukan permenungan paskah yang sebenarnya? Inilah panggilan yang akan kita jawab dalam memaknai perayaan paskah sebagai bagian dari ibadah panggilan ke-Kristenan kita. Dengan demikian, benarlah bahwa perayaan paskah yang kita lakukan dan maknai ini adalah sebuah perayaan kesadaran iman. Kesadaran iman itu adalah salib yang harus kita pikul setiap saat dan terus berjalan mengikut Dia.
Salib adalah kesadaran penyangkalan diri.
Lambang dari penyangkalan diri adalah salib. Penyangkalan diri harus diungkapkan dalam lambang yang dapat dikenal; dilihat umum. Memikul-mikul salib di depan umum adalah suatu tontonan yang ganjil. Alangkah berat, janggal dan memalukan memang memikul salib itu mengikut Dia. Akan tetapi itulah yang Dia minta kepada kita, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Permasalahannya sekarang adalah, mengapa harus salib, mengapa tidak rantang yang berisi makanan saja? Rantang adalah hal yang menarik dan istimewa, berisi makanan bergizi dan bentuknya ada yang berwarna-warni. Rantang adalah beban yang tidak berat, punya pegangan/ gagang istimewa dan mudah menentengnya. Dengan menenteng rantang yang penuh makanan bergizi kita dapat saja bersiul dan berjalan enjoy tanpa harus terbeban. Sungguh hal yang sangat berbeda sekali dengan salib bukan!
Salib tidak punya gagang, sedangkan rantang makanan punya gagang. Baiklah kita melakukan permenungan sejenak seperti meditasi pikiran dan perbuatan yang dilakukan Koyama. “Gagang” berarti alat yang efisien untuk menguasi sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Mobil yang punya mesin bertenaga kuda dapat kita kita kendalikan hanya dengan memegang sebuah gagang (setir). Pintu juga dapat kita kuasai secara mudah hanya dengan memegang gagangnya. Semua kecanggihan ini adalah perkembangan teknologi yang menghasilkan tenaga (kuat/kuasa) dan gagang kendali. Sehingga, teknologi adalah tenaga yang dikendalikan. Teknologi yang diartikan dalam arti ini tidaklah berbahaya tetapi yang berbahaya adalah jika pemahaman seperti ini dipakai dalam teologia. Bayangkan jika aspek ke-iman-an kita di berikan kemudahan “gagang” untuk dilakukan, tentunya manusia tidak lagi membutuhkan Allah. Karena, kecanggihan gagang yang ditonjolkan adalah kuasa (kendali) manusia itu sendiri dan bukan Allah.
Koyama menegaskan bahwa perbedaan pokok antara teknologi dan teologia adalah bahwa teknologi memberi kita “mesin” dan “gagang”, sedangkan teologia hanya punya “mesin” tanpa “gagang”. Teologia yang memasang gagang pada kuasa Allah adalah penghianatan dan bersifat demonis. Teologia harus menolak untuk mengendalikan kuasa Allah yang menyelamatkan. Dengan demikian, teologia juga tidak boleh mengendalikan manusia.
Dengan kata lain, pikiran yang terlatih memikul beban salib “tanpa gagang” dinamakan pikiran yang disalibkan. Pikiran yang bersemangat perang salib haruslah ditempatkan di bawah terang pikiran yang disalibkan, supaya pikiran itu “disalibkan dan bangkit.” Itulah sebabnya mengapa Yesus tidak mengatakan “.....biarlah dia yang menojolkan dirinya, menenteng rantang makanan dan mengikut Aku”. Sebab, daya pikir manusia hanya penuh inisiatip (rantang yang sangat modern itu) haruslah disalibkan. Apabila daya pikir seperti itu bangkit, maka ia menjadi daya pikir yang sudah dibaptis secara teologis.
Paskah adalah panggilan kesadaran.
Dengan demikian, gambaran yesus yang memikul salib berat tanpa gagang adalah gambaran misiologi yang matang dan tepat. Sehingga dibawah terang inilah kita cari arti teologis dari situasi dan kondisi yang terjadi pada hidup pribadi dan juga bangsa kita sehari-hari. Inilah panggilan kesadaran yang ingin disampaikan Yesus kepada semua orang, bahwa jalan salib sebagai pilihan bukanlah pikiran yang sakit-sakitan dan jalan kematian. Pikiran seperti itu bukanlah pikiran yang ingin mengadakan transaksi dagang dengan Allah. Akan tetapi, pikiran itu adalah pikiran yang muncul karena dorongan teologis yang lahir dari panggilan kesadaran iman kita. Pikiran itu jujur dan hati-hati. Itulah pikiran yang mau percaya dan mengikuti panggilan kesadaran untuk melakukan apa yang Dia mandatkan kepada kita di dunia ini.
Jika kita telah dapat menghayati permenungan perayaan paskah sebagai sebuah panggilan kesadaran baru seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, maka kita dapat memaknai paskah yang sesungguhnya. Sebab, perayaan paskah bukanlah seremoni atau ritus-ritus ibadah yang dijalankan, dan disusun indah dalam sebuah liturgi. Akan tetapi, paskah adalah permenungan dalam menghayati panggilan kesadaran pribadi kita untuk memikul salib sebagai bukti keselamatan hidup. Kemudian, permenungan peran (sikap dalam tanggungjawab sosial) dalam tindakan kita sehari-hari adalah perayaan paskah yang sesungguhnya. Pikiran yang tersalib dalam panggilan kesadaran kita akan mengalirkan energi yang positif dan akan membangun sikap/mental kita yang adaptif terhadap semua tantangan (baik bentuk kemudahan dalam budaya masyarakat kita yang sangat konsumptif, serta pikiran-pikiran pragmatis yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi sebagai solusi praktis) dalam setiap perubahan zaman.
Semoga perayaan paskah yang kita rayakan dengan permenungan dan ketulusan sikap akan menumbuhkan penghayatan dan kedewasaan sikap dalam menjawab setiap panggilan kesadaran ke-Kristenan kita, kapanpun dan dimanapun. Selamat Paskah.
Pendahuluan
“Tidak ada gagang pada salib”, inilah bentuk ungkapan iman yang dituliskan oleh DR. Kosuke Koyama dalam bukunya, sebagai dasar permenungan mengenai pikiran yang disalibkan di Asia. Permenungan ini juga yang nantinya akan kita pakai sebagai cermin dalam melihat bagaimana memaknai paskah sebagai panggilan kesadaran ke-Kristenan kita menghadapi perubahan zaman di era milenium ke tiga ini.
Permenungan dalam menghayati perayaan paskah sebagai bentuk liturgi ke-Kristenan adalah waktu yang tepat dalam menjawab panggilan kesadaran kita sebagai umat-Nya. Sebab, paskah adalah proses permenungan iman setiap orang, untuk menyadari pengorbanan yang telah dilakukan Yesus Kristus di kayu salib dalam memberikan pertolongan keselamatan hidup kepada seluruh dunia.
Permenungan yang dilakukan dalam perayaan paskah adalah permenungan yang mengarah kepada dua aspek, yaitu vertikal dan horizontal. Permenungan vertical maksudnya adalah permenungan dalam sisi ke-iman-an kita. Bagaimana kita dapat melakukan penghayatan dalam memaknai pengorbanan Kristus di kayu salib. Sehingga dengan penghayatan tersebut kita benar-benar bisa memahami bagaimana sebenarnya kemanusiaan kita merasakan apa yang dirasakan-Nya. Artinya, ada konsekuensi iman yang harus berani kita ambil dan lakukan jika kita mengatakan bahwa kita adalah murid-Nya. Konsekuensi iman itu adalah totalitas sikap yang lahir dari penghayatan kita yang tulus dalam memikul salib-Nya.
Sedangkan permenungan horizontal adalah permenungan dalam sisi peran atau perbuatan kita terhadap semua mahluk ciptaan-Nya di seluruh dunia ini. Sisi peran ini adalah bagian yang tidak terlepas dari sisi ke-iman-an kita. Sebab, kedua hal ini dapat berjalan jikalau keduanya mendapat tempat yang sama; sejajar, di dalam hati dan pikiran kita. Tidak ada yang saling mendominasi, tetapi keduanya harus saling menyeimbangkan; saling melengkapi satu dengan yang lain.
Jika kedua hal itu telah menjadi sebuah permenungan yang mendasar dalam kehidupan ke-Kristenan kita, maka panggilan kesadaran kita sebagai bagian dari diri-Nya adalah sebuah tanggungjawab kehidupan. Artinya, ke-Kristenan kita tidaklah menjadi hal yang berarti jika hanya melakukan permenungan saja dalam ritus-ritus ke-iman-an kita, baik secara personal maupun komunal. Akan tetapi, permenungan itu akan menjadi berarti jika ada tindakan aktual (sikap nyata seperti kasih yang dilakukan Yesus sewaktu di dunia) dalam diri kemanusian kita (yang juga adalah sosial), untuk kita nyatakan kepada orang lain sebagai bentuk keselamatan yang telah kita terima.
Akan tetapi, hal penting yang sekarang harus kita sadari adalah, apa dasar permenungan kita dalam menguji panggilan ke-Kristenan kita? Benarkah kita telah melakukan permenungan paskah yang sebenarnya? Inilah panggilan yang akan kita jawab dalam memaknai perayaan paskah sebagai bagian dari ibadah panggilan ke-Kristenan kita. Dengan demikian, benarlah bahwa perayaan paskah yang kita lakukan dan maknai ini adalah sebuah perayaan kesadaran iman. Kesadaran iman itu adalah salib yang harus kita pikul setiap saat dan terus berjalan mengikut Dia.
Salib adalah kesadaran penyangkalan diri.
Lambang dari penyangkalan diri adalah salib. Penyangkalan diri harus diungkapkan dalam lambang yang dapat dikenal; dilihat umum. Memikul-mikul salib di depan umum adalah suatu tontonan yang ganjil. Alangkah berat, janggal dan memalukan memang memikul salib itu mengikut Dia. Akan tetapi itulah yang Dia minta kepada kita, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Permasalahannya sekarang adalah, mengapa harus salib, mengapa tidak rantang yang berisi makanan saja? Rantang adalah hal yang menarik dan istimewa, berisi makanan bergizi dan bentuknya ada yang berwarna-warni. Rantang adalah beban yang tidak berat, punya pegangan/ gagang istimewa dan mudah menentengnya. Dengan menenteng rantang yang penuh makanan bergizi kita dapat saja bersiul dan berjalan enjoy tanpa harus terbeban. Sungguh hal yang sangat berbeda sekali dengan salib bukan!
Salib tidak punya gagang, sedangkan rantang makanan punya gagang. Baiklah kita melakukan permenungan sejenak seperti meditasi pikiran dan perbuatan yang dilakukan Koyama. “Gagang” berarti alat yang efisien untuk menguasi sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Mobil yang punya mesin bertenaga kuda dapat kita kita kendalikan hanya dengan memegang sebuah gagang (setir). Pintu juga dapat kita kuasai secara mudah hanya dengan memegang gagangnya. Semua kecanggihan ini adalah perkembangan teknologi yang menghasilkan tenaga (kuat/kuasa) dan gagang kendali. Sehingga, teknologi adalah tenaga yang dikendalikan. Teknologi yang diartikan dalam arti ini tidaklah berbahaya tetapi yang berbahaya adalah jika pemahaman seperti ini dipakai dalam teologia. Bayangkan jika aspek ke-iman-an kita di berikan kemudahan “gagang” untuk dilakukan, tentunya manusia tidak lagi membutuhkan Allah. Karena, kecanggihan gagang yang ditonjolkan adalah kuasa (kendali) manusia itu sendiri dan bukan Allah.
Koyama menegaskan bahwa perbedaan pokok antara teknologi dan teologia adalah bahwa teknologi memberi kita “mesin” dan “gagang”, sedangkan teologia hanya punya “mesin” tanpa “gagang”. Teologia yang memasang gagang pada kuasa Allah adalah penghianatan dan bersifat demonis. Teologia harus menolak untuk mengendalikan kuasa Allah yang menyelamatkan. Dengan demikian, teologia juga tidak boleh mengendalikan manusia.
Dengan kata lain, pikiran yang terlatih memikul beban salib “tanpa gagang” dinamakan pikiran yang disalibkan. Pikiran yang bersemangat perang salib haruslah ditempatkan di bawah terang pikiran yang disalibkan, supaya pikiran itu “disalibkan dan bangkit.” Itulah sebabnya mengapa Yesus tidak mengatakan “.....biarlah dia yang menojolkan dirinya, menenteng rantang makanan dan mengikut Aku”. Sebab, daya pikir manusia hanya penuh inisiatip (rantang yang sangat modern itu) haruslah disalibkan. Apabila daya pikir seperti itu bangkit, maka ia menjadi daya pikir yang sudah dibaptis secara teologis.
Paskah adalah panggilan kesadaran.
Dengan demikian, gambaran yesus yang memikul salib berat tanpa gagang adalah gambaran misiologi yang matang dan tepat. Sehingga dibawah terang inilah kita cari arti teologis dari situasi dan kondisi yang terjadi pada hidup pribadi dan juga bangsa kita sehari-hari. Inilah panggilan kesadaran yang ingin disampaikan Yesus kepada semua orang, bahwa jalan salib sebagai pilihan bukanlah pikiran yang sakit-sakitan dan jalan kematian. Pikiran seperti itu bukanlah pikiran yang ingin mengadakan transaksi dagang dengan Allah. Akan tetapi, pikiran itu adalah pikiran yang muncul karena dorongan teologis yang lahir dari panggilan kesadaran iman kita. Pikiran itu jujur dan hati-hati. Itulah pikiran yang mau percaya dan mengikuti panggilan kesadaran untuk melakukan apa yang Dia mandatkan kepada kita di dunia ini.
Jika kita telah dapat menghayati permenungan perayaan paskah sebagai sebuah panggilan kesadaran baru seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, maka kita dapat memaknai paskah yang sesungguhnya. Sebab, perayaan paskah bukanlah seremoni atau ritus-ritus ibadah yang dijalankan, dan disusun indah dalam sebuah liturgi. Akan tetapi, paskah adalah permenungan dalam menghayati panggilan kesadaran pribadi kita untuk memikul salib sebagai bukti keselamatan hidup. Kemudian, permenungan peran (sikap dalam tanggungjawab sosial) dalam tindakan kita sehari-hari adalah perayaan paskah yang sesungguhnya. Pikiran yang tersalib dalam panggilan kesadaran kita akan mengalirkan energi yang positif dan akan membangun sikap/mental kita yang adaptif terhadap semua tantangan (baik bentuk kemudahan dalam budaya masyarakat kita yang sangat konsumptif, serta pikiran-pikiran pragmatis yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi sebagai solusi praktis) dalam setiap perubahan zaman.
Semoga perayaan paskah yang kita rayakan dengan permenungan dan ketulusan sikap akan menumbuhkan penghayatan dan kedewasaan sikap dalam menjawab setiap panggilan kesadaran ke-Kristenan kita, kapanpun dan dimanapun. Selamat Paskah.
Sunday, March 20, 2011
Pemuda dan Oikumenisme
A. Pengantar
Pembahasan mengenai Pemuda dan Oikumenisme adalah pembahasan yang tidak akan pernah habis atau selesai diperbincangkan dalam setiap diskusi atau PA. Bahkan dari diskusi yang satu, akan memunculkan kegelisahan dan semangat yang baru untuk segera disikapi. Sebab, berbicara mengenai pemuda dan oikumenisme tidak bisa dilepas-pisahkan dari sejarah masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam artian, pemuda dan oikumenisme adalah pembahasan yang akan terus menerus mengalami proses pencarian hakekat yang sesungguhnya – berkelanjutan (sustainable) dan memberi makna dengan berbagai cara kepada setiap orang-orang yang mencarinya.
Bung Karno pernah berkata, “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.” Lantas, apa yang mesti kita lakukan sekarang ini? Bagaimana memperbaiki keadaan? Kewajiban siapakah ini? Tentu ini adalah kewajiban kita semua, terutama kewajiban kaum muda. Ya, kita para pemuda. Karena hanya pemudalah yang memiliki semangat yang meluap-luap. Dan, urusan besar ini membutuhkan energi besar, yaitu energi kaum muda. Akan tetapi, masa sekarang ini kita juga harus jujur mengakui keberadaan kita sebagai pemuda, khususnya sebagai kader GMKI. Kita mengalami kemerosotan yang sangat berdampak kepada integritas, profesionalitas dan solidaritas terhadap organisasi dan bangsa ini (lihat paparan sub tema GMKI yang ditetapkan pada Kongres XXXII tahun 2010 di Makasar).
Pada masa sekarang pemuda menghadapi tantangan yang sangat besar, baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Salah satu tantangan yang muncul dari dalam adalah virus mentalitas mie instant yang sudah menjangkiti tubuh pemuda sehingga merosotnya idealisme, iman, rasa percaya diri, serta harapan. Hal tersebut dapat kita ukur dari kuantitas dan kualitas dari integritas, profesionalitas dan solidaritas yang dimiliki pemuda hingga sekarang ini, masih sangat minim. Kemudian, pemuda juga menghadapi tantangan dari luar yang tidak kalah hebatnya dalam arus deras globalisasi atau yang sering kita sebut kekagetan perubahan budaya (cultural shock). Bagaimana mungkin kita bisa menghadapi persaingan dalam sebuah kompetisi global jika kita tidak memiliki SDM yang berkualitas? Mengapa penulis mengingatkan hal ini? Supaya kita sebagai pemuda menyadari kelemahan dan kekuatan yang kita miliki. Pemuda dapat mengembangkan potensi dirinya hanya jika pemuda itu sendiri mau mengenali, mengembangkan dan memberdayakan seluruh potensi dirinya tersebut. Jika tidak, maka pemuda akan terus terpuruk dan lambat laun akan hancur tergilas dalam perubahan zaman.
Albert Camus mengatakan, “At 30 a man should know himself like the palm of his hand, know the exact number of his defect and qualities, know how far he can go, foretell his failures – be what he is. And, above all, accept these things.” Seorang berusia 30 tahun, semestinya sudah mengetahui segala sesuatu tentang dirinya; tentang kekurangan, dan kelebihannya; tentang apa yang dapat dicapainya, dan apa yang dapat menyebabkan kegagalannya. Di atas segalanya, ia dapat menerima dirinya, pun menerima apa yang telah di jelaskan di atas (Albert Camus, French Author/Philosopher, Recipient of 1957 Nobel, Prize For Literature).
Masa muda yang disia-siakan untuk mengejar hal-hal yang tidak penting – kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan yang tidak disertai oleh kebijaksanaan diri – dan ditambah dengan tiadanya kemampuan untuk memilah akan mengarah pada kehancuran manusia. Untuk itu, maka pemuda sangat membutuhkan tuntunan Roh dan Hikmat Tuhan dalam mengembangkan dirinya menjadi pemuda yang memiliki integritas, profesionalitas dan mampu bersolidaritas dalam melihat tanda-tanda zaman. Sehingga, dengan cara demikian jugalah selanjutnya oikumenisme diharapkan dapat menjadi suatu kekuatan yang positif untuk mendorong perwujudan fungsinya di tengah-tengah hidup pemuda sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Tuntunan Roh dan hikmat-Nya merupakan pelita dan terang hidup bagi pemuda dalam menghadapi tantangan zaman. Tanpa Roh dan hikmat-Nya maka pemuda akan tersesat dan mengalami ketidakjelasan (disorientasi) sikap. Contoh nyata yang terjadi adalah seperti halnya kemandegan dan ketidakjelasan yang terjadi pada oikumenisme, sebagai bagian dari tri tugas panggilan gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani). Ketidakhadiran semangat oikumenisme dalam pengembangan pemuda selama ini mengakibatkan terjadinya pemaknaan yang kabur terhadap oikumenisme pada diri pemuda. Sehingga, pemuda sebagai bagian dari gereja yang tersamar (in cognito) tidak mengerti, bahkan tidak mengenal apa dan untuk apa oikumenisme itu hadir.
Oikumenisme atau semangat oikumene (hidup bersama; berdiam bersama dalam terang Kasih Kristus) adalah semangat bergereja yang esa sesungguhnya (band. Yohanes 17:21). Maka seyogianyalah semangat itu harus terus mengalir dan mengisi gerakan pemuda. Karena, komunikasi oikumenis atau keesaan ini tidak hanya terbatas dalam upaya menjemaatkan keesaan, tetapi juga dalam menciptakan kesempatan dan kemungkinan melalui program-program yang konkrit untuk bertumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Oikumenisme itu bukanlah sesuatu yang statis atau hanya terbatas pada penampakan struktural. Untuk itu, perlu sebuah upaya bagaimana mengembangkan keseimbangan konseptual dan praksis untuk memberi ruang gerak, kepada mereka yang bertugas dalam institusi gerejawi (termasuk PGI, KWI, PGPI, PGII, dsb.) untuk mengakui keesaan tersebut. Sebab, Gereja-gereja protestan yang ikut dalam Sidang Raya PGI XII tahun 1994 di Jayapura telah menyepakati dan mengakui bersama Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) sebagai dasar untuk melihat dan mengalaminya sebagai sesuatu yang dinamis, dan karena itu kita memahaminya dalam rangka membaharui, membangun, dan mempersatukan Gereja. Termasuk di sini cara berpikir teologis-historis. Akan tetapi bagaimana aksi-nyatanya?
Inilah tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai pemuda. Pada satu sisi kita harus mengembangkan diri pribadi dengan semua potensi yang ada, dan di sisi lain kita juga harus terlibat dalam tugas dan tanggungjawab sosial kita sebagai pemuda Gereja yang oikumenis. Pemuda sebagai bagian Gereja yang tersamar (in cognito) sangat diharapkan mampu menjadi seorang Daniel trasformatif, yang senantiasa menjaga kekudusan diri dengan hormat akan Tuhan dalam menghadapi tantangan pada zamannya. Sehingga dalam ikhtiar tersebut pemuda juga akan dimampukan untuk dapat belajar dan mengembangkan diri dalam tuntunan Roh dan hikmat Tuhan untuk adaptif dalam mengetahui tantangan dalam perubahan zaman yang sangat cepat ini.
Maka untuk mengantisipasi hal tersebut setidaknya pemuda harus melakukan upaya yang holistik. Pertama, jangan menyia-nyiakan masa mudamu. Otakmu, pikiranmu, hatimu, ragamu, pancaindramu adalah alat-alat yang masih fresh, baru dan dalam keadaan paling baik untuk menerima Roh dan Hikmat Tuhan. Kau adalah transreceiver generasi mutakhir, sehingga potensimu pasti berbeda dengan orang yang sudah tua-renta. Janganlah mencemari otakmu dengan makanan yang tidak bergizi. Bebaskan dirimu dari perangkap mi instant. Makanlah sayuran dan buah-buahan yang bergizi supaya kau dapat berpikir lebih jernih dan berkarya dengan baik dalam semangat oikumenis untuk membangun bangsa ini. Jangan kau kira ini adalah hal sepele? Tidak. Ini hal penting. Makanan adalah bahan bakar yang dibutuhkan oleh badan dan otak supaya dapat bekerja dengan baik (baca dan renungkan kisah yang dialami oleh Daniel ketika ia belajar mengembangkan potensi dirinya pada masa itu).
Kedua, bukalah wawasan; kenali kelemahan dan kekuatan diri. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Albert Camus di atas. Sudah saatnya kau keluar dari zona nyamanmu dan berusaha sekuat tenagamu untuk terus belajar di alam semesta kehidupan ini dengan sungguh-sungguh. Karena masa muda itu tidak pernah terulang lagi, berlalu sekali maka berlalu selamanya. Tinggalkanlah kebiasaan buruk yang selama ini merugikanmu. Berilah kebebasan pada pikiranmu yang masih fresh itu. Sebab di luar negri sana, semua orang sudah belajar dan melakukan distance learning, peer-to-peer, dan berbagai macam on-line training lain. Bagaimana dengan dirimu pemuda? Negara maju sudah menggunakan kemajuan teknologi secara on-line, dan arus tersebut tidak bisa dibendung. Oleh sebab itu, persiapkanlah dirimu menghadapi kompetisi tersebut.
Ketiga, mampulah memilah. Kemampuan untuk memilah adalah sesuatu yang sudah kita warisi sejak lahir. Setidaknya kita sudah memiliki potensi itu. Selanjutnya tinggal dikembangkan supaya tidak berkarat. Potensi itu harus terus dikembangkan, dan mintalah Roh dan Hikmat Tuhan hadir atasmu, supaya Tuhan jugalah yang memberi dan memberkati pertumbuhan dan perkembangan hidupmu. Supaya kau menjadi semakin berhikmat, mampu berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah keadilan dunia ini. Keempat, tetaplah waspada dalam kesadaran. Masa tua kita tergantung pada kewaspadaan dan kesadaran yang telah dikembangkan pada masa muda. Investasi kewasapadaan dan kesadaran mesti dilakukan saat kita masih muda. Hal itu ibarat menanam benih, masa muda adalah masa tanam. Masa tua adalah masa panen. Sebab masa muda menyediakan iklim yang tepat dan energi yang sangat kuat untuk bercocok tanam. Bila masa itu terlewatkan, sia-sialah masa tua kita. Jangan mengharapkan panen.
Wahai para pemuda, ingatlah keempat hal tersebut dan janganlah takut. Sebab, karena takut dan keraguan, banyak pemuda yang tidak menjalani kata hati mereka. Mereka mengabaikan suara nurani dan iman percayanya, hingga menyesal kemudian hari. Pintar-pintarlah mengenali, mengembangkan dan memberdayakan potensi dirimu. Tetaplah semangat dan janganlah pernah menyerah. Teruslah belajar dengan sungguh dan bekerja sekuat tenagamu. Sebab, itulah kesempatan yang kita miliki pada masa muda sekarang ini. itulah kesempatanmu. Kesempatan yang kau ciptakan sendiri dengan kreativitasmu. Belajarlah dari organisasi dan kampus. Ciptakan organisasi di dalam kampus; organisasi-organisasi untuk melayani sesama dan membantu mereka yang membutuhkan bantuan dalam semangat oikumenis. Bawa dan beritakanlah semangat oikumene tersebut kepada sesama dan alam semesta. Belajarlah menggalang dana dengan mengembangkan kreativitas diri, jangan bergantung pada donasi. Dengan demikian, kau tidak membutuhkan stempel dari masyarakat untuk membenarkan agamamu. Teruslah mendorong solidaritasmu sebagai pemuda dalam semangat oikumene yang bisa memuaskan semua orang, semua kelompok. Itulah cara untuk melakoni agama dan menunjukkan perbuatan imanmu. Ut omnes unum sint.
B. Diskusi dan Permenungan
Bacalah dalam permenungan kisah yang di alami oleh Daniel dalam kaca mata imanmu saat ini? (Pasal 1; jika kau mau belajar seperti daniel bacalah seluruh kisahnya) bagaimana hidup Daniel bertahan dan tidak kehilangan harapan dalam masa-masa yang penuh kesulitan dan penderitaan walaupun mereka ditengah-tengah bangsa asing.
C. Doa Bersama
“Ya Tuhan, urapilah kami dengan kuasa Roh dan Hikmat-Mu, supaya kami mampu belajar dan berpuasa seperti Daniel.” Berdoalah dan mintalah penyertaan Tuhan dengan ketulusan dan kerendahan hati. Supaya Tuhan memberkati pertumbuhan dan perkembanganmu sebagai pemuda yang bijaksana, yang memiliki integritas, profesionalitas dan bersolidaritas. Amin.
(Tulisan ini disampaikan sebagai bahan buletin PA yang dilaksanakan PP GMKI MB.2010-2012)
Bung Karno pernah berkata, “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.” Lantas, apa yang mesti kita lakukan sekarang ini? Bagaimana memperbaiki keadaan? Kewajiban siapakah ini? Tentu ini adalah kewajiban kita semua, terutama kewajiban kaum muda. Ya, kita para pemuda. Karena hanya pemudalah yang memiliki semangat yang meluap-luap. Dan, urusan besar ini membutuhkan energi besar, yaitu energi kaum muda. Akan tetapi, masa sekarang ini kita juga harus jujur mengakui keberadaan kita sebagai pemuda, khususnya sebagai kader GMKI. Kita mengalami kemerosotan yang sangat berdampak kepada integritas, profesionalitas dan solidaritas terhadap organisasi dan bangsa ini (lihat paparan sub tema GMKI yang ditetapkan pada Kongres XXXII tahun 2010 di Makasar).
Pada masa sekarang pemuda menghadapi tantangan yang sangat besar, baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Salah satu tantangan yang muncul dari dalam adalah virus mentalitas mie instant yang sudah menjangkiti tubuh pemuda sehingga merosotnya idealisme, iman, rasa percaya diri, serta harapan. Hal tersebut dapat kita ukur dari kuantitas dan kualitas dari integritas, profesionalitas dan solidaritas yang dimiliki pemuda hingga sekarang ini, masih sangat minim. Kemudian, pemuda juga menghadapi tantangan dari luar yang tidak kalah hebatnya dalam arus deras globalisasi atau yang sering kita sebut kekagetan perubahan budaya (cultural shock). Bagaimana mungkin kita bisa menghadapi persaingan dalam sebuah kompetisi global jika kita tidak memiliki SDM yang berkualitas? Mengapa penulis mengingatkan hal ini? Supaya kita sebagai pemuda menyadari kelemahan dan kekuatan yang kita miliki. Pemuda dapat mengembangkan potensi dirinya hanya jika pemuda itu sendiri mau mengenali, mengembangkan dan memberdayakan seluruh potensi dirinya tersebut. Jika tidak, maka pemuda akan terus terpuruk dan lambat laun akan hancur tergilas dalam perubahan zaman.
Albert Camus mengatakan, “At 30 a man should know himself like the palm of his hand, know the exact number of his defect and qualities, know how far he can go, foretell his failures – be what he is. And, above all, accept these things.” Seorang berusia 30 tahun, semestinya sudah mengetahui segala sesuatu tentang dirinya; tentang kekurangan, dan kelebihannya; tentang apa yang dapat dicapainya, dan apa yang dapat menyebabkan kegagalannya. Di atas segalanya, ia dapat menerima dirinya, pun menerima apa yang telah di jelaskan di atas (Albert Camus, French Author/Philosopher, Recipient of 1957 Nobel, Prize For Literature).
Masa muda yang disia-siakan untuk mengejar hal-hal yang tidak penting – kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan yang tidak disertai oleh kebijaksanaan diri – dan ditambah dengan tiadanya kemampuan untuk memilah akan mengarah pada kehancuran manusia. Untuk itu, maka pemuda sangat membutuhkan tuntunan Roh dan Hikmat Tuhan dalam mengembangkan dirinya menjadi pemuda yang memiliki integritas, profesionalitas dan mampu bersolidaritas dalam melihat tanda-tanda zaman. Sehingga, dengan cara demikian jugalah selanjutnya oikumenisme diharapkan dapat menjadi suatu kekuatan yang positif untuk mendorong perwujudan fungsinya di tengah-tengah hidup pemuda sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Tuntunan Roh dan hikmat-Nya merupakan pelita dan terang hidup bagi pemuda dalam menghadapi tantangan zaman. Tanpa Roh dan hikmat-Nya maka pemuda akan tersesat dan mengalami ketidakjelasan (disorientasi) sikap. Contoh nyata yang terjadi adalah seperti halnya kemandegan dan ketidakjelasan yang terjadi pada oikumenisme, sebagai bagian dari tri tugas panggilan gereja (bersekutu, bersaksi dan melayani). Ketidakhadiran semangat oikumenisme dalam pengembangan pemuda selama ini mengakibatkan terjadinya pemaknaan yang kabur terhadap oikumenisme pada diri pemuda. Sehingga, pemuda sebagai bagian dari gereja yang tersamar (in cognito) tidak mengerti, bahkan tidak mengenal apa dan untuk apa oikumenisme itu hadir.
Oikumenisme atau semangat oikumene (hidup bersama; berdiam bersama dalam terang Kasih Kristus) adalah semangat bergereja yang esa sesungguhnya (band. Yohanes 17:21). Maka seyogianyalah semangat itu harus terus mengalir dan mengisi gerakan pemuda. Karena, komunikasi oikumenis atau keesaan ini tidak hanya terbatas dalam upaya menjemaatkan keesaan, tetapi juga dalam menciptakan kesempatan dan kemungkinan melalui program-program yang konkrit untuk bertumbuh dan berkembang dalam kebersamaan. Oikumenisme itu bukanlah sesuatu yang statis atau hanya terbatas pada penampakan struktural. Untuk itu, perlu sebuah upaya bagaimana mengembangkan keseimbangan konseptual dan praksis untuk memberi ruang gerak, kepada mereka yang bertugas dalam institusi gerejawi (termasuk PGI, KWI, PGPI, PGII, dsb.) untuk mengakui keesaan tersebut. Sebab, Gereja-gereja protestan yang ikut dalam Sidang Raya PGI XII tahun 1994 di Jayapura telah menyepakati dan mengakui bersama Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) sebagai dasar untuk melihat dan mengalaminya sebagai sesuatu yang dinamis, dan karena itu kita memahaminya dalam rangka membaharui, membangun, dan mempersatukan Gereja. Termasuk di sini cara berpikir teologis-historis. Akan tetapi bagaimana aksi-nyatanya?
Inilah tugas dan tanggungjawab kita bersama sebagai pemuda. Pada satu sisi kita harus mengembangkan diri pribadi dengan semua potensi yang ada, dan di sisi lain kita juga harus terlibat dalam tugas dan tanggungjawab sosial kita sebagai pemuda Gereja yang oikumenis. Pemuda sebagai bagian Gereja yang tersamar (in cognito) sangat diharapkan mampu menjadi seorang Daniel trasformatif, yang senantiasa menjaga kekudusan diri dengan hormat akan Tuhan dalam menghadapi tantangan pada zamannya. Sehingga dalam ikhtiar tersebut pemuda juga akan dimampukan untuk dapat belajar dan mengembangkan diri dalam tuntunan Roh dan hikmat Tuhan untuk adaptif dalam mengetahui tantangan dalam perubahan zaman yang sangat cepat ini.
Maka untuk mengantisipasi hal tersebut setidaknya pemuda harus melakukan upaya yang holistik. Pertama, jangan menyia-nyiakan masa mudamu. Otakmu, pikiranmu, hatimu, ragamu, pancaindramu adalah alat-alat yang masih fresh, baru dan dalam keadaan paling baik untuk menerima Roh dan Hikmat Tuhan. Kau adalah transreceiver generasi mutakhir, sehingga potensimu pasti berbeda dengan orang yang sudah tua-renta. Janganlah mencemari otakmu dengan makanan yang tidak bergizi. Bebaskan dirimu dari perangkap mi instant. Makanlah sayuran dan buah-buahan yang bergizi supaya kau dapat berpikir lebih jernih dan berkarya dengan baik dalam semangat oikumenis untuk membangun bangsa ini. Jangan kau kira ini adalah hal sepele? Tidak. Ini hal penting. Makanan adalah bahan bakar yang dibutuhkan oleh badan dan otak supaya dapat bekerja dengan baik (baca dan renungkan kisah yang dialami oleh Daniel ketika ia belajar mengembangkan potensi dirinya pada masa itu).
Kedua, bukalah wawasan; kenali kelemahan dan kekuatan diri. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Albert Camus di atas. Sudah saatnya kau keluar dari zona nyamanmu dan berusaha sekuat tenagamu untuk terus belajar di alam semesta kehidupan ini dengan sungguh-sungguh. Karena masa muda itu tidak pernah terulang lagi, berlalu sekali maka berlalu selamanya. Tinggalkanlah kebiasaan buruk yang selama ini merugikanmu. Berilah kebebasan pada pikiranmu yang masih fresh itu. Sebab di luar negri sana, semua orang sudah belajar dan melakukan distance learning, peer-to-peer, dan berbagai macam on-line training lain. Bagaimana dengan dirimu pemuda? Negara maju sudah menggunakan kemajuan teknologi secara on-line, dan arus tersebut tidak bisa dibendung. Oleh sebab itu, persiapkanlah dirimu menghadapi kompetisi tersebut.
Ketiga, mampulah memilah. Kemampuan untuk memilah adalah sesuatu yang sudah kita warisi sejak lahir. Setidaknya kita sudah memiliki potensi itu. Selanjutnya tinggal dikembangkan supaya tidak berkarat. Potensi itu harus terus dikembangkan, dan mintalah Roh dan Hikmat Tuhan hadir atasmu, supaya Tuhan jugalah yang memberi dan memberkati pertumbuhan dan perkembangan hidupmu. Supaya kau menjadi semakin berhikmat, mampu berjalan pada jalan kebenaran, di tengah-tengah keadilan dunia ini. Keempat, tetaplah waspada dalam kesadaran. Masa tua kita tergantung pada kewaspadaan dan kesadaran yang telah dikembangkan pada masa muda. Investasi kewasapadaan dan kesadaran mesti dilakukan saat kita masih muda. Hal itu ibarat menanam benih, masa muda adalah masa tanam. Masa tua adalah masa panen. Sebab masa muda menyediakan iklim yang tepat dan energi yang sangat kuat untuk bercocok tanam. Bila masa itu terlewatkan, sia-sialah masa tua kita. Jangan mengharapkan panen.
Wahai para pemuda, ingatlah keempat hal tersebut dan janganlah takut. Sebab, karena takut dan keraguan, banyak pemuda yang tidak menjalani kata hati mereka. Mereka mengabaikan suara nurani dan iman percayanya, hingga menyesal kemudian hari. Pintar-pintarlah mengenali, mengembangkan dan memberdayakan potensi dirimu. Tetaplah semangat dan janganlah pernah menyerah. Teruslah belajar dengan sungguh dan bekerja sekuat tenagamu. Sebab, itulah kesempatan yang kita miliki pada masa muda sekarang ini. itulah kesempatanmu. Kesempatan yang kau ciptakan sendiri dengan kreativitasmu. Belajarlah dari organisasi dan kampus. Ciptakan organisasi di dalam kampus; organisasi-organisasi untuk melayani sesama dan membantu mereka yang membutuhkan bantuan dalam semangat oikumenis. Bawa dan beritakanlah semangat oikumene tersebut kepada sesama dan alam semesta. Belajarlah menggalang dana dengan mengembangkan kreativitas diri, jangan bergantung pada donasi. Dengan demikian, kau tidak membutuhkan stempel dari masyarakat untuk membenarkan agamamu. Teruslah mendorong solidaritasmu sebagai pemuda dalam semangat oikumene yang bisa memuaskan semua orang, semua kelompok. Itulah cara untuk melakoni agama dan menunjukkan perbuatan imanmu. Ut omnes unum sint.
B. Diskusi dan Permenungan
Bacalah dalam permenungan kisah yang di alami oleh Daniel dalam kaca mata imanmu saat ini? (Pasal 1; jika kau mau belajar seperti daniel bacalah seluruh kisahnya) bagaimana hidup Daniel bertahan dan tidak kehilangan harapan dalam masa-masa yang penuh kesulitan dan penderitaan walaupun mereka ditengah-tengah bangsa asing.
C. Doa Bersama
“Ya Tuhan, urapilah kami dengan kuasa Roh dan Hikmat-Mu, supaya kami mampu belajar dan berpuasa seperti Daniel.” Berdoalah dan mintalah penyertaan Tuhan dengan ketulusan dan kerendahan hati. Supaya Tuhan memberkati pertumbuhan dan perkembanganmu sebagai pemuda yang bijaksana, yang memiliki integritas, profesionalitas dan bersolidaritas. Amin.
(Tulisan ini disampaikan sebagai bahan buletin PA yang dilaksanakan PP GMKI MB.2010-2012)
Subscribe to:
Posts (Atom)