“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40)
Bahan bacaan: Matius 25:31-40
Suatu ketika, penulis mengunjungi seorang pasien di sebuah rumah sakit swasta yang ada di Jakarta, dimana pasien tersebut adalah suami dari rekan kerja penulis sendiri. Dalam kunjungan tersebut, penulis bersama teman-teman yang hadir juga menyempatkan waktu untuk berbagi cerita mengenai kondisi dan perkembangan yang dialami pasien. Penulis bisa merasakan luapan emosi yang disampaikan oleh keluarga pasien tersebut. Semua berawal ketika pasien memeriksakan diri ke rumah sakit. Dalam diagnosa tersebut dokter dan perawat yang betugas lalai ketika memeriksa kondisi tubuh pasien. Diagnosa yang disampaikan adalah deman biasa dan batuk. Setelah pasien pulang, demannya tidak kunjung turun. Lantas, hal tersebut menimbulkan kecurigaan bagi rekan penulis. Setelah kembali memeriksakan pasien secara menyeluruh, maka kelihatan terdapat bintik-bintik merah pada seluruh kaki pasien. Dengan yakin rekan penulis tersebut menyampaikan bahwa tanda itu adalah gejala deman berdarah. Setelah dibuktikan dengan hasil tes laboratorium, maka pasien pun dinyatakan positif deman berdarah dan pasien baru kemudian dirawat secara intensif.
Kita sering mendengar terjadinya kelalaian dalam diagnosa pada pasien ketika hendak mendapatkan haknya, bahkan dalam hal ini penulis sendiri juga pernah mengalaminya. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kelalaian tersebut. Mungkin karena dokter dan perawat yang sedang bertugas telah lelah bekerja, sehingga mereka kurang awas dan peka. Atau, bisa juga karena mereka masih dalam proses belajar dan praktek. Tentunya kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja kesehatan (dokter, perawat dan berbagai profesi kesehatan lainnya) yang terkadang harus senantiasa siaga dalam menyediakan waktu, tenaga dan perhatian yang cukup untuk mereka yang harus dilayani.
Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dan perawat adalah sebuah kewajiban dalam profesi yang diemban. Dan jika hal tersebut tidak diperhatikan sungguh-sungguh, maka akan terjadi kelalaian, kesalahan medis, dan akan menimbulkan kerugian pasien. Bercermin dari pengalaman penulis di atas, Sang Tabib Agung telah menyatakan, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Tentunya hal ini merupakan cermin bagi setiap orang yang bekerja dalam dunia sosial, khususnya bagi kita yang bekerja di bidang kesehatan. Sang Tabib senantiasa mengingatkan bahwa, dibutuhkan kerendahan hati dan sikap yang penuh kewaspadaan pada setiap tugas yang kita emban.
Dasar dan tujuan dari setiap tugas yang kita lakukan semata-mata bukanlah karena tuntutan profesi yang kita miliki sebagai pekerja kesehatan (dokter, perawat dan berbagai profesi kesehatan lainnya). Namun, dibalik semua itu kita percaya dan mengimani, bahwa semua pelayanan kesehatan yang kita berikan kepada sesama kita adalah ibadah sesungguhnya yang kita lakukan kepada-Nya. Dalam artian, jika kita menyadari bahwa siapapun yang kita layani – baik dalam kondisi dan status apapun – adalah bagian dari ibadah kita kepada-Nya, maka kita akan senantiasa berserah serta berjaga-jaga untuk tetap peka dalam melayani sesama. Terlebih lagi kepada mereka yang sangat membutuhkan jamahan kita.Tetap semangat mempermuliakan hidup.
Topik doa:
Roh Kudus, mampukan saya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan pelayanan saya setiap hari. Dengan menjamah sesama kami di dalam kasih, sesungguhnya Engkau-lah yang kami jamah. Tuntun kami di dalam Khidmat-Mu agar kami senantiasa terjaga dan melakukan yang terbaik di dalam kasih. Amin.
Tuesday, August 23, 2011
Wednesday, August 3, 2011
Mata sehat untuk hidup berwarna dan penuh makna
Berita di salah satu media surat kabar menyebutkan bahwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan resiko kebutaan tinggi di dunia. Namun, sampai saat ini penanggulangan masalah kebutaan belum menjadi prioritas pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah (Kompas, kamis 23 Juni 2011). Tentu ini bukanlah kabar yang baik bagi masyarakat Indonesia, namun disisi lain informasi ini menjadi tantangan bagi pemerintah, khususnya masyarakat Indonesia agar senantiasa menjada pola hidup sehat, terlebih dalam menjaga kesehatan mata.
Tentunya hal ini menjadi keseriusan yang segera harus disikapi dalam tindakan pencegahan (preventif) dan juga disosialisaikan kepada masyarakat (promotif) seperti yang ditegaskan oleh Tjahjono Darminto Gondhowiarjo sebagai dokter spesialis mata yang menyatakan bahwa penyebab besar kebutaan di Indonesia adalah kebutaan katarak (52 persen). Paparan cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet serta kurangnya nutrisi menjadi pemicu. Kebutaan jenis ini bisa direhabilitasi lewat operasi. Artinya, angka kebutaan di Indonesia bisa ditekan jika para penderita katarak bisa dioperasi.
Namun, besarnya biaya operasi adalah masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu kerjasama pemerintah dan swasta untuk bersama-sama menurunkan angka kebutaan tersebut. Hal yang paling sederhana tentunya adalah dengan mengkampanyekan kesehatan mata kepada generasi muda bangsa Indonesia sejak dini secara terus-menerus dan berkelanjutan (sustainable).
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Sang Pemazmur, “Peliharalah aku seperti biji mata-Mu, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu (Mazmur 17:8).” Pemazmur menggunakan biji mata sebagai lambang yang mengingat kembali kasih dan perhatian Allah terhadap umat-Nya yang setia. “Biji mata" adalah metafora Ibrani yang menyatakan sesuatu yang sangat bernilai dan disayangi. Tentunya, mata sebagai bagian dari tubuh adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita, terlebih bagi Dia Sang Empunya hidup.
Tiada hal lebih yang dapat kita lakukan untuk mata kita selain memelihara dan merawatnya. Mari menjaga kesehatan mata kita, untuk hidup yang lebih berwarna dan penuh makna. Sebab, dari mata yang sehat kita juga bisa memberi arti, paling tidak melalui promosi kesehatan yang dapat kita berikan bagi sesama. Namun, kepedulian untuk berbagi bagi setiap orang yang mengalami kebutaan juga merupakan hal yang sangat mulia dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Semoga motivasi yang kuat dan pelayanan kesehatan yang penuh kasih dan pengorbanan tetap menjadi dasar bagi seluruh lembaga pelayanan kesehatan, untuk mengatasi kebutaan di Indonesia. Selamat mempermuliakan hidup. Salam holistik
Tentunya hal ini menjadi keseriusan yang segera harus disikapi dalam tindakan pencegahan (preventif) dan juga disosialisaikan kepada masyarakat (promotif) seperti yang ditegaskan oleh Tjahjono Darminto Gondhowiarjo sebagai dokter spesialis mata yang menyatakan bahwa penyebab besar kebutaan di Indonesia adalah kebutaan katarak (52 persen). Paparan cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet serta kurangnya nutrisi menjadi pemicu. Kebutaan jenis ini bisa direhabilitasi lewat operasi. Artinya, angka kebutaan di Indonesia bisa ditekan jika para penderita katarak bisa dioperasi.
Namun, besarnya biaya operasi adalah masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu kerjasama pemerintah dan swasta untuk bersama-sama menurunkan angka kebutaan tersebut. Hal yang paling sederhana tentunya adalah dengan mengkampanyekan kesehatan mata kepada generasi muda bangsa Indonesia sejak dini secara terus-menerus dan berkelanjutan (sustainable).
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Sang Pemazmur, “Peliharalah aku seperti biji mata-Mu, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu (Mazmur 17:8).” Pemazmur menggunakan biji mata sebagai lambang yang mengingat kembali kasih dan perhatian Allah terhadap umat-Nya yang setia. “Biji mata" adalah metafora Ibrani yang menyatakan sesuatu yang sangat bernilai dan disayangi. Tentunya, mata sebagai bagian dari tubuh adalah sesuatu yang sangat berharga bagi kita, terlebih bagi Dia Sang Empunya hidup.
Tiada hal lebih yang dapat kita lakukan untuk mata kita selain memelihara dan merawatnya. Mari menjaga kesehatan mata kita, untuk hidup yang lebih berwarna dan penuh makna. Sebab, dari mata yang sehat kita juga bisa memberi arti, paling tidak melalui promosi kesehatan yang dapat kita berikan bagi sesama. Namun, kepedulian untuk berbagi bagi setiap orang yang mengalami kebutaan juga merupakan hal yang sangat mulia dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Keluarga Bertanggungjawab
Dalam kitab Ulangan 11:19 jelas dikatakan, “Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
Sejarah bangsa Ibrani memperlihatkan bahwa orangtua harus rajin mengajar anak-anaknya menuruti jalan dan firman Tuhan demi untuk pertumbuhan rohani dan kesejahteraan mereka. Ayah yang taat kepada perintah-perintah dalam Firman Tuhan akan melakukan hal ini. Kepentingan utama dari ayat ini adalah anak-anak didewasakan dalam “ajaran dan nasehat Tuhan” yang adalah merupakan tanggung jawab orangtua dalam rumah tangga.
Salah satu bentuk pendidikan awal yang diajarkan oleh orangtua kepada anak adalah mengenai pentingnya pola hidup sehat di dalam keluarga; yaitu kesehatan mental dan spiritual pada anak. Sebab, banyak orangtua yang menganggap bahwa kesehatan mental dan emosi adalah hal yang sepele dan tidak terlalu penting diajarkan bagi anak-anak. Implikasinya adalah, anak menjadi rentan dan mudah mengalami gangguan dan ketidakstabilan emosi, khususnya ketika anak akan bertumbuh ke tahap remaja dan dewasa.
Banyaknya kasus pencucian otak oleh kelompok tertentu yang dilakukan kepada anak (orang muda) beberapa waktu yang lalu adalah salah satu bentuk lengahnya perhatian orang tua dalam memonitoring pertumbuhan mental anak. Seperti yang dituturkan oleh dr Surjo Dharmono, SpKJ (K), bahwa pencucian otak adalah proses pembelajaran yang dilakukan dalam tekanan dan dilakukan secara terus-menerus sehingga tercipta pandangan hidup yang salah. "Karena proses pembelajarannya salah, akan tercipta pola yang salah, dan ini akan menimbulkan perasaan kacau dan labil bagi orang yang menerima pembelajaran itu.” (http://health.kompas.com/kamis/5/5/2011)
Dengan kata lain, dr Surjo menekankan pentingnya perhatian orangtua di dalam keluarga untuk turut serta mendidik dan juga memonitoring kesehatan mental anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga, khususnya orang tua punya peran yang sangat besar dalam pertumbuhan mental anak tersebut. Seperti halnya yang telah dinyatakan dalam kitab Ulangan 11 di atas, bahwa mendidik anak adalah proses yang dilakukan senantiasa di dalam keluarga; baik ketika sedang duduk bersama di rumah; sedang dalam perjalanan; sedang berbaring dan juga setelah bangun. Kedekatan dan kehangatan yang dibangun di dalam keluarga adalah tanggung jawab yang sangat mahal harganya.
Oleh karena itu, mari membangun keluarga yang holistik untuk bertumbuh dan berkembang dalam kedewasaan penuh di dalam kasih Kristus; mari mendidik dan memonitoring kesehatan mental dan spiritual anak di rumah dan keluarga kita. Selamat mempermuliakan hidup. Salam holistik.
Sejarah bangsa Ibrani memperlihatkan bahwa orangtua harus rajin mengajar anak-anaknya menuruti jalan dan firman Tuhan demi untuk pertumbuhan rohani dan kesejahteraan mereka. Ayah yang taat kepada perintah-perintah dalam Firman Tuhan akan melakukan hal ini. Kepentingan utama dari ayat ini adalah anak-anak didewasakan dalam “ajaran dan nasehat Tuhan” yang adalah merupakan tanggung jawab orangtua dalam rumah tangga.
Salah satu bentuk pendidikan awal yang diajarkan oleh orangtua kepada anak adalah mengenai pentingnya pola hidup sehat di dalam keluarga; yaitu kesehatan mental dan spiritual pada anak. Sebab, banyak orangtua yang menganggap bahwa kesehatan mental dan emosi adalah hal yang sepele dan tidak terlalu penting diajarkan bagi anak-anak. Implikasinya adalah, anak menjadi rentan dan mudah mengalami gangguan dan ketidakstabilan emosi, khususnya ketika anak akan bertumbuh ke tahap remaja dan dewasa.
Banyaknya kasus pencucian otak oleh kelompok tertentu yang dilakukan kepada anak (orang muda) beberapa waktu yang lalu adalah salah satu bentuk lengahnya perhatian orang tua dalam memonitoring pertumbuhan mental anak. Seperti yang dituturkan oleh dr Surjo Dharmono, SpKJ (K), bahwa pencucian otak adalah proses pembelajaran yang dilakukan dalam tekanan dan dilakukan secara terus-menerus sehingga tercipta pandangan hidup yang salah. "Karena proses pembelajarannya salah, akan tercipta pola yang salah, dan ini akan menimbulkan perasaan kacau dan labil bagi orang yang menerima pembelajaran itu.” (http://health.kompas.com/kamis/5/5/2011)
Dengan kata lain, dr Surjo menekankan pentingnya perhatian orangtua di dalam keluarga untuk turut serta mendidik dan juga memonitoring kesehatan mental anak agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga, khususnya orang tua punya peran yang sangat besar dalam pertumbuhan mental anak tersebut. Seperti halnya yang telah dinyatakan dalam kitab Ulangan 11 di atas, bahwa mendidik anak adalah proses yang dilakukan senantiasa di dalam keluarga; baik ketika sedang duduk bersama di rumah; sedang dalam perjalanan; sedang berbaring dan juga setelah bangun. Kedekatan dan kehangatan yang dibangun di dalam keluarga adalah tanggung jawab yang sangat mahal harganya.
Oleh karena itu, mari membangun keluarga yang holistik untuk bertumbuh dan berkembang dalam kedewasaan penuh di dalam kasih Kristus; mari mendidik dan memonitoring kesehatan mental dan spiritual anak di rumah dan keluarga kita. Selamat mempermuliakan hidup. Salam holistik.
Subscribe to:
Posts (Atom)