Friday, November 15, 2013

Benarkah Kita Sudah Selamat Karena Beriman?

Bahan khotbah ibadah malam 17 Nopember 2013
Ev. Galatia 2: 19-21


Pengantar
Benarkah kita sudah selamat karena iman? Semudah itukah keselamatan di dalam iman? Jika kita sudah percaya bahwa kita selamat karena iman, mengapa GKPI masih membacakan hukum taurat dalam liturgy ibadah Minggu? Apakah hukum taurat itu masih berlaku meskipun kita sudah selamat karena iman? Ini adalah berbagai pertanyaan yang muncul di tengah-tengah jemaat yang sering disampaikan kepada saya. Pertanyaan yang sangat sederhana tetapi sangat mendalam. Sebab tidak semua orang mampu bertanya demikian dalam menggumuli imannya. Dan pertanyaan demikian adalah pertanyaan yang sama diungkapkan dalam konteks jemaat di Galatia, ketika orang Kristen non Yahudi berjumpa dengan orang Kristen Yahudi.   

Kota Galatia merupakan daerah perantauan dimana banyak berkembang kekristenan, khususnya pada orang-orang non Yahudi. Di kota inilah terjadi perjumpaan ke-Kristenan dari orang-orang Yahudi dan non Yahudi yang menimbulkan kebingungan dan konflik di tengah-tengah jemaat. Dalam konteks ini orang Kristen Yahudi merasa seolah-olah menjadi lebih sah dari orang-orang non Yahudi. Sikap tersebut muncul dalam berbagai penekanan budaya, misalnya mengenai sunat dan hukum taurat. Dalam menghadapi kebingungan dan ketegangan yang muncul di tengah-tengah jemaat tersebut, Paulus kembali menegaskan suratnya kepada jemaat bahwa hanya di dalam iman kepada Yesus Kristus-lah ia dapat menerima anugerah yang sudah dinyatakan dalam Yesus Kristus dan bukan dengan melakukan hukum taurat.

Pembahasan
Pada ayat 19 Paulus menegaskan bahwa kehidupan sebelumnya adalah didasarkan pada hukum taurat dan ia sudah mati karena hukum tersebut. Akan tetapi sekarang ia kembali hidup, tetapi bukan karena dirinya sendiri melainkan karena Kristus mengasihi dan mau menyerahkan diri-Nya untuk menyelamatkannya. Sehingga Kristus-lah yang sesungguhnya hidup di dalam hidupnya. Itulah bukti dari iman percaya Paulus; hanya dalam iman kepada Kristus (ay. 20).  

Kasih karunia Allah itu jugalah yang menjadi kekuatan bagi Paulus untuk dapat berkata-kata dan berbuat di dalam kasih kepada semua orang, baik orang Yahudi maupun orang non Yahudi. Sekalipun ia juga mengalami pertentangan dari orang-orang Yahudi sendiri. Namun, Paulus memperlihatkan keyakinannya kepada Kristus sebagai kesaksian iman yang hidup di tengah-tengah orang Yahudi, bahwa karena Kristuslah ia menjadi selamat dan dapat mengerti apa yang menjadi tujuan hidupnya. Jadi, demikian halnya ketika seseorang mengetahui hal ini, ia pun bebas untuk beriman kepada Yesus. Iman kepada Yesus memberinya hidup baru yang didasarkan pada iman akan Kristus.  

Sehingga hukum taurat tidak lagi berkuasa atas hidup orang-orang yang sudah percaya kepada Kristus, sebab di dalam hukum taurat tidak ada kebenaran dan keselamatan (ay. 21). Akan tetapi, kebenaran dan keselamatan hanya diperoleh melalui iman. Imanlah yang menjadi kunci dalam menyingkap rahasia anugerah keselamatan yang diberikan Tuhan di dalam Kristus bagi setiap orang percaya, bukan dengan melakukan hukum taurat. Sehingga, dalam merespon anugerah tersebut Paulus pun semakin bergiat dan bertekun serta tinggal di dalam Kristus untuk memberitakan kabar baik bagi banyak orang.

Seperti halnya Tuhan Yesus yang sudah menggenapi dan membahaui hukum taurat (band. Matius 5:17), Paulus juga telah menyadari dan menyimpulkan bahwa makna dari hukum taurat adalah Kasih (Roma 13:9). Paulus juga mengatakan bahwa semua orang disambut ke dalam Kerajaan Allah, tanpa memperhatikan apa yang mereka makan, pada hari apa mereka beribadat, atau apakah disunat atau tidak. Ini bertentangan dengan banyak peraturan yang didapati di dalam hukum taurat. Paulus menegaskan bahwa orang diselamatkan oleh Kasih Allah yang dinyatakan dalam Yesus, bukan karena mengikuti seperangkat peraturan (Roma 10:4; Gal. 5:1-6). Dalam hal ini Paulus juga mengatakan bahwa hukum taurat bermanfaat sebab ia menunjukkan dosa kita (Roma 3:20; Gal. 3:19) dan memperlihatkan apa yang suci dan baik (Roma 7:12).

Menjawab pertanyaan di atas, jelaskah bahwa kita sudah selamat karena iman percaya kepada Allah yang sudah memberikan anugerah-Nya melalui Kristus, dan bukan dengan melakukan hukum taurat. Akan tetapi hukum taurat masih perlu senantiasa dibacakan dalam setiap liturgy ibadah Minggu hanyalah untuk mengingatkan dan menunjukkan dosa-dosa yang senantiasa (cenderung) kita lakukan setiap hari, karena kita masih ada di dunia ini. Sebab hukum taurat yang dibacakan itu bermanfaat untuk menunjukkan dosa yang kita perbuat, dan kita menjadi tahu apa yang baik dan suci jika kita sudah dibersihkan oleh Firman-Nya dan tinggal di dalam Dia (Yohanes 15:1-8). Sehingga kita selamat karena iman percaya untuk hidup di dalam kasih-Nya dan senantiasa mendengarkan pembacaan hukum taurat tersebut sebagai pengingat akan tabiat keberdosaan kita.       

Dengan demikian Kristuslah yang menjadi dasar iman orang percaya. Sehingga iman itu melingkupi tanggungjawab pribadi dengan Allah dalam Kristus. Sehingga, beriman menjadi kunci bagi setiap orang Kristen untuk masuk dalam persekutuan-Nya yang kudus. Mengacu kepada pandangan Paulus, W.Barcley juga mengartikan beriman sebagai: 1. Kesetiaan kepada Kristus (Kol. 2:5; 2 Tes. 1:4; Fil. 2:17). 2. Percaya mutlak kepada Kristus (2 Tim. 1:2). 3. Kesediaan mengambil bagian dalam Kristus meskipun dalam risiko (Ibrani 11:8). 4. Penyerahan kepada Allah, bahwa beriman sesungguhnya percaya kepada janji Allah dan percaya bahwa apa yang dikatakan Allah adalah benar. 5. Di dalam Kristus, yaitu percaya secara mutlak bahwa Yesus adalah anak Allah (1 Yoh. 5:5) dan tinggal di dalam Kristus (Yoh. 15: 1-8).   
         
Renungan  
Beriman adalah mempertaruhkan hidup kita kepada Allah dan bergantung kepada-Nya (penyembahan dan persembahan). Seperti halnya Abraham mempercayakan hidupnya dan masa depannya kepada Allah yang memanggilnya. Abraham juga senantiasa mencari persekutuan dengan Tuhan dan setia beribadah kepada-Nya, kemanapun dia pindah dan dimanapun ia tinggal (Kej. 12-13). Beriman berarti berpegang teguh dan hidup dalam firman Tuhan, penyerahan dan bergantung serta setia secara total kepada Kristus. Orang yang mempunyai iman kepada Yesus tahu bahwa mereka mempunyai hidup yang kekal (1 Yoh. 5:13).

Firman Tuhan melalui Roh Kudus membimbing kita agar bertekun dalam iman atau tetap percaya kepada Yesus (Kis. 14:22). Dalam hal ini Rasul Paulus juga turut mempersaksikan imannya…hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk (Gal. 2:20b). Tuhan menginginkan agar kita bertumbuh dalam iman (2 Kor. 10:15) dan senantiasa menguji diri sendiri (2 Kor. 13:5), bagaimana kita bersikap di dalam iman dan apakah kita masih tegak berdiri di dalam iman? Apakah bukti kita sudah selamat karena beriman?


Masihkah kita hidup setia membaca firman-Nya senantiasa, percaya dengan semua pengajaran-Nya untuk bersekutu dalam penyembahan dan bersedia mengambil bagian dalam pelayanan yang diberikan kepada kita untuk bermisi, berserah dalam janji yang diberikan-Nya dan tinggal di dalam Dia untuk senantiasa berbuah? Disinilah kita kembali bermenung memaknai ke-beriman-an kita di dalam Dia, secara khusus mempersiapkan hati kita memasuki masa Adven, masa penantian bagi kita akan datangnya Sang Juru Selamat. Amen     

Tinggal di dalam Yesus

Bahan khotbah Minggu 17 Nopember 2013
Ev. Yohanes 15:1-8

Pendahuluan
Ada beberapa ucapan Yesus dalam Injil Yohanes yang diungkapkan dalam perumpamaan, salah satunya adalah mengenai pokok anggur yang benar. Tentu, perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus tersebut bertujuan untuk menggambarkan hubungan Allah, Anak dan para murid berada dalam hubungan yang utuh dan terikat di dalam kasih-Nya. Dalam perumpamaan itu jugalah Yesus menggambarkan tentang Kerajaan Allah dan umat-Nya yang baru sekaligus memanggil setiap orang yang mengerti dan percaya untuk menerima kehendak-Nya.   

Pembahasan
Pada perikop ini (ay. 1-3) Yesus dengan jelas menggambarkan Kerajaan Allah yang dipimpin oleh seorang pengusaha. Allah sendiri adalah pengusaha yang mau mengusahakan semua hal menjadi baru, berguna dan menghasilkan – bahkan yang sudah tidak berguna sekalipun akan dipakai-Nya. Sehingga dalam gambaran itu, Allah sendirilah sebagai pokok anggur yang memerintah dan berkuasa, dan semua umat-Nya adalah ranting-ranting-Nya. Dalam hal ini Yesus memperlihatkan dengan kontras seperti apa yang akan terjadi pada semua ranting yang sudah dibersihkan dengan Firman-Nya, apakah akan berbuah atau tidak?

Yesus mengajak supaya kita tinggal di dalam Dia (ay. 4) dan Dia di dalam kita, supaya kita seperti ranting yang tinggal pada pokok anggur, menjadi ranting yang berbuah dan banyak. Dalam hal ini tinggal di dalam Dia adalah wujud dari sikap hidup yang bersekutu dengan Kristus (1 Kor. 1:9), dan Kristus di dalam Kita (Gal. 2:20). Sehingga jika kita tidak tinggal di dalam Dia, maka kita tidak akan berbuah dan tidak memperoleh apa-apa, selain dipotong dan dikumpulkan untuk dibakar (ay. 6).   

Sumber kehidupan ranting pohon anggur dan juga sumber dari daun dan buahnya, bukanlah dari dirinya sendiri, tetapi diperoleh dari pokoknya. Ranting itu mutlak bergantung kepada pokok anggur. Demikian jugalah kehidupan kita, Tuhan Yesus-lah sumbernya. Dia adalah sumber hidup bagi kita, oleh sebab itu kita mutlak bergantung padanya, hidup harus berpusat pada-Nya.

Berbuah menjadi janji dan jaminan yang akan diberikan Tuhan kepada setiap orang yang percaya. Tuhan berkenan memberikan jaminan (berbuah) di dalam firman-Nya kepada kita anak-anak-Nya (ay. 7). Tuhan juga setia dengan janji-Nya, dan Dia akan menggenapi apa yang difirmankan-Nya. Tentunya janji tersebut hanya dapat direspon dengan iman kita, bukan atas perasaan kita. Sebab kebenaran firman Tuhan tetap adanya, sedangkan perasaan kita dapat berubah-ubah seperti musim atau cuaca.

Demikain juga gereja, sesungguhnya hadir dalam setiap bentuk pelayanan Diakonia belumlah cukup dalam menyampaikan kasih. Namun gereja harus memperlihatkan dirinya dalam aspek Koinonia (persekutuan) dan aspek Marturia (bersaksi) disegenap kehadirannya di tengah-tengah dunia. Gereja tidak hanya menjadi misioner (ke luar) tetapi juga harus bertumbuh dan tinggal di dalam Dia. Bersekutu adalah aspek yang mulai ditinggalkan oleh gereja, sebab lebih mementingkan perbuatan karitatif (diakonia). Akan tetapi gereja harus menjadi misional (ke dalam dan ke luar). Dalam artian, segala bentuk keberadaan gereja, mulai dari persekutuan yang tampak dalam penyembahan di gereja dan seluruh pelayanan yang dilakukan.

Maka misi gereja atau atau gereja misional bukan hanya menunjuk kepada aktivitas misi, tetapi seluruh keberadaaan gereja adalah misi, termasuk persekutuan, pelayanan, kesaksian, organisasi dan SDM, dan relasinya dengan gereja yang Esa di dunia ini, dan dengan semua orang. Di dalam gereja yang misional itulah akan terlihat bahwa gereja tinggal di dalam Kristus. 

Gereja yang tinggal di dalam Kristus adalah gereja yang benar-benar berakar, bertumbuh dan berbuah banyak di dalam Kristus. Seperti halnya tema yang sudah dicanangkan oleh GKPI bahwa gereja harus kembali hidup dalam Penyembahan dan Persembahan. Persekutuan gereja harus diwujudkan dalam penyembahan; hidup bersekutu seperti jemaat mula-mula dan persembahan diwujudkan sebagai bukti hadirnya gereja dalam penyembahan. Sehingga penyembahan dan persembahan menjadi dasar bagi gereja untuk tinggal di dalam Kristus dan berbuah di dalam kasih yang sudah ditetapkan.  

Renungan
Segala kekayaan rohani yang Allah berkenan untuk anugerahkan kepada kita, hanya terdapat dalam Kristus. Karena dalam Kristus, Allah telah berkenan mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga (Ef. 1:3). Sehingga jika kita sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka marilah kita semakin mantap dan bertumbuh, dan hubungan kepadanya haruslah semakin erat tinggal di dalam Dia. Dalam hal ini hendaklah kita hidup tetap di dalam Dia; berakar di dalam Dia; terus dibangun di dalam Dia (bertumbuh).

Tinggal di dalam Dia adalah sebuah pilihan dan sikap hidup yang berakar di dalam kerohanian. Oleh sebab itu, implikasi yang tampak adalah hubungan dengan Allah dan sesama anak Tuhan (jemaat) untuk menghasilkan pertumbuhan rohani. Melalui keterlibatan kita dalam persekutuan, pelayanan dan melalui partisipasi kita mendukung pekerjaan Tuhan-lah kita akan bertumbuh, karena hal itu merupakan latihan rohani bagi kita.

Dengan demikian, jemaat yang terpanggil untuk mau tinggal di dalam Kristus akan mewujudkan iman percayanya melalui persekutuan, pelayanan (dalam setiap kategorial), kesaksian, dan hidup berelasi dengan semua orang dan segala mahluk. Anggota jemaat yang hanya jadi penonton, manja dan egois tidak akan bertumbuh dan berbuah hidup rohaninya. Panggilan kepada setiap orang percaya untuk tinggal di dalam Dia adalah panggilan imamat yang rajani (1 Petrus 2:9) dan untuk mendayakan karunia-karunia rohani yang Tuhan berikan kepada masing-masing anggota (1Kor. 12). Jemaat yang tinggal di dalam Dia haruslah semakin banyak terlibat dalam pelayanan, sebab dengan demikilah kita diajak untuk memahami akan bagaimana mempermuliakan Tuhan. Amen    


Thursday, November 7, 2013

Berhikmat dan berbuat di dalam Kasih (Amsal 26: 17-28)

Pengantar
Kitab Amsal adalah kitab yang banyak memuat; menceritakan dan mengajarkan tentang hikmat. Semua hikmat diajarkan dan telah tertuang dalam bentuk-bentuk praktis, yang dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari. Seluruh pengajaran dalam kitab Amsal “firman Allah”. Pengajaran tersebut mengandung penyataan Allah, merupakan kesaksian tentang Allah dan kehendak-Nya. Seluruhnya mengandung nilai teologis yang sistematis, etis ataupun praktis. Sehingga seluruh pengajaran dalam kitab Amsal ini seluruhnya penting bukan hanya bagi orang Israel dulu, tetapi juga bagi orang Kristen pada zaman ini.

Oleh karena itu, semua orang Kristen perlu mempelajari kitab Amsal, baik orang muda maupun orang tua, yang kurang berpendidikan atau yang berpendidikan tinggi, yang berpengalaman atau tidak berpengalaman, bahkan para guru atau pengajar gereja. Dengan demikian pengajaran dalam kitab Amsal akan membawa seseorang kepada sikap hidup yang “takut akan Tuhan”, yaitu sikap hidup yang dibutuhkan di tengah- tengah merosotnya moral yang umumnya terjadi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan mungkin saja di tengah-tengah keluarga kita.

Pembahasan
Pada perikop ini, sangat jelas diperlihatkan seperti apa sikap (perbuatan) orang yang tidak berhikmat (tidak takut akan Tuhan) dengan sikap yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang takut akan Tuhan. Oleh karena itu penulis kitab Amsal hendak memperlihatkan secara kontras dan tajam antara akibat mencari dan menemukan hikmat dengan akibat mengejar kehidupan yang bodoh (Amsal 1:7). Bagaimana kehidupan yang bodoh yang digambarkan dalam kitab Amsal ini?

Pada ayat 17-28 sangat jelas dikatakan, kehidupan orang bodoh adalah kehidupan yang terlihat pada para pemfitnah (yang suka memfitnah dan melukai hati), yang suka berbantah dan bertengkar, orang yang berbibir manis dengan hati jahat (penuh tipu daya), orang yang suka menyimpan kebencian dan tipu daya, serta bermulut licin yang mendatangkan kehancuran. Semua sikap (perbuatan) tersebut adalah kejahatan yang tidak disukai oleh Tuhan, sebab semua sikap tersebut akan membawa kehancuran bagi orang banyak. Itulah sikap kebodohan yang tidak disukai Tuhan ada pada umat-Nya.  

Oleh karena itu penulis Kitab Amsal kembali menegaskan peringatannya, agar umat Tuhan tidak bersikap (berbuat) hal yang demikian. Karena semua perbuatan (sikap kebodohan) tersebut hanya akan mendatangkan pertengkaran, celaka dan kehancuran. Maka untuk dapat menghindar dan keluar dari kondisi seperti itu, penulis kitab Amsal mengajak semua umat Tuhan untuk kembali mencari hikmat Tuhan. Dikatan dalam Amsal 2:6, “Karena Tuhan-lah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” Takut akan Tuhan adalah adalah langkah pertama dan elemen utama untuk mencapai kebaikan dalam kehidupan manusia.

Renungan

Dengan demikian, jelaslah bahwa Tuhan akan menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjaga jalan keadilan dan memelihara jalan orang yang setia sehingga akan mengerti tentang kebenaran, keadilan dan kejujuran, bahkan setiap jalan yang baik (Amsal 2:7-9). Jika umat Tuhan sudah mengerti tentang semua yang diajarkan, maka demikianlah umat Tuhan semakin berhikmat dan berbuat di dalam kasih-Nya. Tidak lagi hidup dalam perbuatan-perbuatan yang memperlihatkan kebodohan seperti orang fasik. Namun semakin berkarakter “takut akan Tuhan”. 

Takut akan Tuhan harus menjadi karakter moral orang Kristen, sehingga kita bukan saja orang-orang yang setia beribadah, tetapi kelakuan (sikap) kita juga harus sesuai dengan firman-Nya. Karakteristik moral inilah yang menjadi tanda bahwa orang-orang Kristen dapat berbuat baik mengalahkan kejahatan (sikap kebodohan) dengan berhikmat dan berbuat di dalam kasih-Nya. Amen   

(Bahan khotbah kebaktian lingkungan, minggu II Nopember 2013)

Wednesday, November 6, 2013

KALAHKANLAH KEJAHATAN DENGAN KEBAIKAN (ROMA 12: 17-21)

Bahan khotbah, Minggu 10 Nopember 2013

Pengantar
Kota Roma merupakan tujuan akhir Paulus dalam menyebarkan kabar baik tentang Yesus di seluruh kekaisaran Roma. Tetapi Roma sudah diinjili dan memiliki jemaat yang berkembang pesat. Banyak orang Kristen di Roma, mungkin sekali orang Yahudi, dan Paulus menyadari beberapa dari mereka sudah dipengaruhi untuk melawan dia. Kota Roma menjadi sangat penting dalam strategi penginjilan kekaisaran Roma. Dan Paulus juga perlu menyatakan kembali Injilnya dalam suatu bentuk yang tidak disalahtafsirkan, apakah oleh simpatisan ataupun lawan. Jadi Paulus memutuskan untuk menyiapkan kunjungannya ke Roma dengan menulis sebuah surat kepada jemaat disana, yang mengandung pernyataan yang disusun secara teratur tentang kepercayaannya kepada Kristus (Jhon Drane, 2012, BPK-GM).    

Pembahasan
Surat Roma dibagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu pertama. bagaimana mengenal Allah. Dalam hal ini Paulus menekankan sebuah gaya pembelaan dalam penginjilannya seperti yang sudah kita kenal dalam Surat Galatia. Semua orang, baik orang Yahudi maupun bukan orang yahudi berada di bawah kuasa dosa. Di luar Kristus, tidak ada jalan keluar untuk luput dari dosa. Namun terbuka kemungkinan untuk menerima “kebenaran Allah”, yakni pembebasan dari Allah sendiri. Hal ini hanya dapat diperoleh melalui iman kepada Kritus, dan bukan karena perbuatan baik (Rm. 3:21 – 4:25).

Kedua, mengenai Israel dan keselamatan. Paulus sangat prihatin karena Israel menolak keselamatan yang telah diuraikannya. Dalam hal ini Paulus menegaskan penolakan Allah terhadap orang-orang Yahudi karena mereka telah memilih jalan “perbuatan” melalui hukum taurat, daripada memilih jalan “iman”. Meskipun paulus masih yakin bahwa penolakan Allah atas orang Yahudi bukanlah sesuatu yang final, sebab ditengah-tengah ketidaksetiaan mereka masih ada sisa yang setia. Penolakan orang Yahudi pada saat ini sebenarnya menjadi bagian dari rencana Allah agar orang-orang dari semua bangsa akhirnya diselamatkan.

Ketiga, perilaku Kristen. Dalam hal ini Paulus menulis tentang penerapan kebenaran Allah secara praktis dalam kehidupan orang Kristen (Rm. 12-15); membahas hubungan orang Kristen dengan jemaat, dan dengan orang lain (Rm. 12:19-21) dan dengan Negara (Rm. 13:1-10). Paulus meringkaskan kewajiban orang Kristen secara keseluruhan dengan kata kunci “Kasih”. Sehingga Paulus menandaskan bahwa standar perilaku etis (moral) orang Kristen tidaklah dihasilkan melalui seperangkat peraturan yang dipaksakan dari luar, melainkan oleh kuasa Roh Kudus yang bekerja di dalam diri orang percaya. Hasil atau sikap yang tampak dari pekerjaan Roh Kudus adalah bukti bahwa hukum kasih Allah dipelihara dalam perbuatan.

Maka pada perikop ini ayat 17-18: “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang. Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” hendak menjelaskan bahwa sebagai pengikut Kristus, maka setiap orang percaya haruslah hidup dalam kebenaran dan Kasih, sebagaimana Kristus hidup di tengah-tengah dunia untuk semua orang. Sebab dahulu mereka adalah orang-orang yang jahat dan berdosa, namun menjadi benar dan hidup karena Kasih Kristus telah mengampuni dan menyelamatkan. 

Dengan demikian, Kasih itu haruslah terlihat juga dalam sikap setiap orang percaya di dalam kebeneran dan kasih Kristus. Meninggalkan serta tidak melakukan lagi perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal Kasih Kristus – yaitu membalas kejahatan dengan kejahatan (dalam berbagai bentuk). Sebaliknya, kejahatan haruslah dibalas dengan kebaikan, sama seperti Kristus yang telah mengajarkan untuk mengasihi sesama bahkan musuh sekalipun (Mat. 5:4 ; Lukas 6:27, 35).

Sehingga jika sikap hidup dalam Kasih dilakukan, maka apapaun konsekuensi kejahatan yang berdampak kepada setiap orang percaya menjadi tanggungjawab Allah sendiri – menjadi hak pembalasan-Nya (ay. 19) dan bukan hak orang-orang percaya. Paulus sanggup melakukan pembelaan dan menunjukkan sikap kasih-Nya, demikianlah Paulus juga mengingatkan jemaat di Roma agar tetap kuat dan tidak kalah terhadap kejahatan – berbagai sikap destruktif – yang terjadi di tengah-tengah mereka. Namun justru harus mengalahkan semua sikap-sikap tersebut dengan perbuatan baik yang sudah mereka kenal dan percayai di dalam perbuatan Kasih Kristus yang menjadi teladan di tengah-tengah hidup mereka.
  
Renungan
Banyak bentuk kejahatan yang muncul di tengah-tengah aktifitas dan hidup keseharian kita; baik di lingkungan keluarga, lingkungan kerja maupun lingkungan bermasyarakat. Tanpa kita sadari pengaruh lingkungan bisa saja membuat kita ber-perilaku yang sama dalam menyikap segala yang terjadi. Mengantisipasi kondisi tersebut, kita kembali diingatkan untuk tetap menjaga sikap dan kualitas hidup orang-orang Kristen supaya tidak serupa dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan adalah bukti sikap yang semakin bertumbuh dan semakin kuat dalam kasih kepada Tuhan dan bagi sesama (2 Tes. 1:3), semakin melimpah dalam kasih (Fil. 1:9 ; 1 Tes. 3:12), sehingga mampu mengampuni dan memberi bagi orang lain.

Kita harus terus-menerus melatih sikap hidup kita agar bertumbuh dan semakin dewasa dalam kerohanian menuju kepada kesempurnaan Kristus. Tanda yang tampak pada orang Kristen yang sudah bertumbuh dewasa adalah menghasilkan atau memberi buah (Gal. 5:22-23) dan buah dalam pelayanan (Yoh. 4:36 ; Roma 1:13). Sehingga sikap orang Kristen dewasa akan bersedia menerima tanggungjawab dalam pelayanan untuk saling melayani; baik di dalam jemaat dan kepada semua orang (masyarakat). Contoh sederhana yang bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah sapaan dan sentuhan yang penuh kasih dalam setiap interaksi kita di dalam keluarga, gereja dan berjemaat.  

Sikap seperti itulah yang pertama kali tampak dan menjadi dasar dalam sikap yang bertumbuh di dalam kebenaran dan kasih Kristus. Sudahkah tanda itu hidup dan kita lakukan di tengah-tengah keluarga, jemaat dan lingkungan kita? Marilah kita melakukannya, dengan demikianlah kita telah menunjukkan kebaikan dalam setiap kasih yang memotivasi kita. Amen

     

Tuesday, August 6, 2013

HORMATILAH ORANGTUAMU DAN DENGARLAH DIDIKANNYA



(AMSAL 4 : 1 - 4)
(Bahan PA Ibadah Bulan Keluarga 2013)

Orangtua adalah sosok yang telah menghadirkan anak ke dunia dalam sebuah cinta. Tentunya cinta itu haruslah bersatu di dalam kasih Tuhan, dan di dalam kasih itu juga Tuhan memberikan kesempatan kepada orangtua untuk menghadirkan seorang yang akan menjadi penerus mereka, yaitu seorang anak. Dalam kehendak Tuhan, maka orangtua diberikan tanggungjawab untuk mendidik dan membesarkan anak di dunia ini. Orangtua adalah wakil Tuhan bagi anak di dalam dunia ini.

Dalam nas kali ini kita dibawa untuk melihat kisah Raja Salomo dalam membimbing anaknya untuk hidup di dalam hikmat. Salomo memberikan bimbingan dari apa yang telah ia pelajari dan dengar dari ayahnya, Daud. Salomo menekankan bahwa anak-anak harus mendengarkan didikan ayahnya (Ams 4:1). Ayah dalam hal ini memang bisa diartikan secara harafiah sebagai ayah yang sebenarnya. Namun kata “Ayah” bisa mewakili kata “orangtua” karena dalam konsep patriakhal ayah adalah pemimpin dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu prinsip dasarnya Salomo mengatakan bahwa dengarkanlah didikan ayahmu, berarti sebagai anak diajak untuk mendengarkan orangtuanya.

Dalam hal ini mendengarkan ayah tersebut bukan tanpa maksud. Salomo menekankan bahwa dengan mendengarkan maka akhirnya kita dapat beroleh pengertian (ayat 1). Dalam hal ini Salomo menekankan diri sebagai ayah atau orangtua dari anak-anaknya, bahwa Salomo memberikan pendidikan (ilmu pengetahuan) yang baik kepada anak-anaknya, supaya anak-anaknya jangan meninggalkan apapun petunjuk yang telah diberikan oleh Salomo. Dalam hal ini Salomo ingin menekankan kepada umat Tuhan bahwa orangtua harus memberikan pelajaran dan ilmu-ilmu yang baik kepada anak-anaknya dan janganlah kiranya orangtua membuat anaknya sakit hati supaya dididkan dapat diterima anak dengan sukacita.

Di dalam Kol 3:21 dikatakan “Hai bapa-bapa janganlah engkau sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”. Hal yang sama juga dinyatakan Salomo, bahwa ketika ia berada di rumah sebagai anak tunggal, ayahnya mengajarkan kepadanya bahwa biarlah hati kita tetap memegang perkataan-perkataan orangtua dan dengan berpegang pada perkataan dan petunjuk-petunjuk tersebut maka kita akan mampu untuk tetap hidup. Nasehat yang sama juga sampai kepada anak-anak, jemaat Tuhan dan juga kepada orangtua agar mendidik anak dengan sikap takut akan Tuhan, sehingga anak juga akan hormat dan mendengar didikan.      

REFLEKSI
Mendengar Salomo yang memberikan pengajaran kepada anaknya. Kita mendapatkan sebuah pemahaman, bahwa kita harus menghormati dan mendengar perkataan orangtua. Mengapa? Karena orangtua adalah wakil Tuhan di dunia ini dan juga orangtua jugalah yang telah menghadirkan kita di dunia dengan menyatukan kedua insan yang hidup di dalam cinta. Dengan begitu maka kita sebagai anak harus menghormati dan mendengarkan didikan orangtua. Orangtua adalah orang yang terlebih dahulu dan juga yang lebih memahami karena orangtua mengenal anaknya mulai dari anaknya masih kecil. Jadi sebagai anak yang sudah mengetahui bahwa orangtua kita sudah lebih mengenal kita, haruslah kita mendengar didikannya dan menghormatinya.

Orangtua juga dalam memberikan bimbingan dan ilmu harus mengintropeksi diri. Janganlah orangtua memberikan ilmu atau ajaran yang tidak baik kepada anak-anaknya sehingga akhirnya anak-anak tersebut menjadi bimbang menghadapi realita kehidupan yang penuh tantangan. Namun, hendaknya orangtua dapat menjadi sahabat bagi anak yang selalu memberikan nilai-nilai yang terbaik melalui perbuatan dan juga tindakan-tindakan (teladan) yang ditampilkan, sebab itulah pengajaran yang hidup dan bermakna kepada anak. AMIN

Pertanyaan Diskusi
  1. Bagaimana sikap anak-anak di dalam keluarga Kristen saat ini dalam menghormati orangtuanya?
  2. Sikap apa yang perlu ditekankan dalam mendidik anak, supaya anak mau dan belajar untuk menghargai dan mendengarkan didikan-didikan dari orangtuanya?
  3. Mengapa Salomo sangat menekankan agar anak harus mendengar didikan ayah atau orangtuanya? 
  4. Sikap apa yang perlu ditumbuhkan dalam mendidik anak supaya anak dapat berakar, bertumbuh dan berbuah di dalam kasih.

Monday, July 1, 2013

Mengikut Yesus Tanpa Dalih


Matius 8: 18-22

Pengantar
“Selidiki aku, lihat hatiku, apakah ‘ku sungguh mengasihimu Yesus? Kau yang maha tahu, dan menilai hidupku, tak ada yang tersembunyi bagi-Mu. T’lah kulihat kebaikan-Mu; yang tak pernah habis dihidupku, kuberjuang sampai akhirnya, Kau dapati aku tetap setia.” Ini merupakan sebuah lagu yang mengungkapkan tentang kesungguhan hati yang terus berjuang dalam mengasihi Tuhan Yesus. Ungkapan terdalam yang meminta Tuhan untuk dapat melihat jauh ke dalam hati si penulis. Supaya penulis jauh dari penilaian dirinya yang subjektif; merasa benar, namun senantiasa meminta Tuhan untuk menyelidiki hatinya. Sebab, hanya Tuhan yang tau dan sanggup menilai tanpa ada yang tersembunyi, bahkan dalam setiap pretensi (kepura-puraan) sekalipun.  

Demikian halnya yang diungkapkan oleh Penginjil Matius pada perikop ini, yang mengisahkan tentang orang-orang yang mau mengikut Yesus dalam konteks mujijat dan penyebrangan danau Galilea. Dalam hal ini para pelakunya adalah seorang ahli Taurat dan seorang yang sudah menjadi murid Yesus. Intinya, semua itu mau mempertanyakan bagaimana caranya mengikut Tuhan Yesus? Apa dasar dari sikap yang sesungguhnya dalam mengikut Yesus? Disinilah semua orang ditantang, sekaligus disadarkan untuk melihat jauh ke dalam hati, motivasi apa yang mendorong seseorang untuk datang mengikuti-Nya.

Ulasan teologis
Seorang ahli Taurat berkata: “Guru, aku akan mengikut Engkau, kemana Engkau pergi.” Yesus tahu dan mengenal semua orang yang mengikut-Nya. Jawab-Nya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Dalam konteks ini, Yesus hendak menjelaskan bahwa serigala adalah binatang yang suka mengembara dan mempunyai liang, sedangkan burung mempunyai sarang. Anak Manusia mengacu pada manusia yang fana, rapuh dan sementara di dunia ini, sehingga tidak lebih dari serigala dan burung. Sebab, hewan-hewan itu mempunyai tempat untuk berteduh dan berlindung, tetapi Yesus tidak mempunyai tempat yang aman untuk berlindung.

Yesus hendak menegaskan bahwa, Anak Manusia (sekalipun diberi nama Yesus) menjadi sebuah tanda dan sekaligus menjadi bukti bahwa Ia akan mengalami kematian. Yesus menjadi Anak Manusia yang jaya dan mulia karena penderitaan-Nya di dunia. Dengan demikian, selaku Anak Manusia yang jaya dan akbar, kelak seluruh dunia akan menjadi milik Yesus. Tetapi, selama hidup-Nya di dunia, Ia akan menjadi pengembara dan menempuh jalan hidup yang tidak aman, sehingga sering ditolak bahkan dimusuhi orang. Konsekuensinya, semua orang yang mengikuti Yesus akan menempuh jalan yang sama, yakni tidak aman dan dimusuhi oleh dunia.  

Seorang yang lain, yaitu salah seorang murid-Nya juga berkata: “Tuhan, ijinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.” Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ikutlah Aku, dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.” (band. Lukas 9:60, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah dimana-mana”). Bukankah perkataan itu terlalu kasar untuk orang yang berkewajiban menguburkan orangtuanya yang sudah mati? Namun, mengapa Yesus begitu kasar? Atau apa yang hendak dikatakan Yesus dengan perkataan itu?

Adat istiadat Timur Tengah mewajibkan setiap anak untuk taat kepada orangtuanya. Ia wajib memelihara dan menjaganya hingga orangtuanya itu masuk ke liang lahat. Sesudah ayah dan ibunya mati, barulah ia bebas menentukan pilihan dan jalan hidupnya. Karena itu, pergi jauh meninggalkan orangtua, bagi seorang anak adalah perbuatan hina dan terlarang. Nah, berhadapan dengan ketatnya adat istiadat seperti itu, jelaslah tidak mungkin seorang dapat mengikuti Yesus selagi ayah dan ibunya masih hidup. Maka, kepada pengikut-Nya yang masih muda itu Yesus berkata: “Biarlah orang mati menguburkan orang mati”.

Perkataan itu memang keras, sebab setiap orang Yahudi berkewajiban untuk menguburkan orang mati, meski orang asing sekalipun. Namun, jawaban Yesus itu ditujukan bukan kepada orang yang mau menguburkan orang mati. Ia berbicara kepada orang yang mau mengikuti-Nya, tetapi orang itu baru mau nanti kalau ayahnya sudah meninggal. Bagi Yesus, mengikuti-Nya adalah mutlak dan sangat penting, sehingga harus mengalahkan kewajiban menguburkan orang mati sekalipun.  
Mewakili pertanyaan dari kedua orang di atas (ahli Taurat dan sorang murid yang masih muda), Yesus hendak memberikan sebuah pemahaman baru kepada semua orang banyak yang sedang mengikuti-Nya. Bahwa mengikuti-Nya berarti sama dengan menjadi hidup dalam Kebenaran dan Kasih yang dinyatakan-Nya. Yaitu kebenaran yang disingkap dalam setiap perkataan dan perbuatan kasih sesungguhnya; yang lahir dan didorong oleh kesadaran diri dalam mengenal-Nya secara nyata. Kesadaran itu juga yang akhirnya menjadi motivasi dalam sebuah perjumpaan dengan Allah yang hidup; yang nyata dan kekal. Itulah tujuan Allah yang hadir dalam diri Yesus untuk membangkitkan semua orang dari kematian; kehidupan yang semu, yang terlihat hidup secara fisik, namun rohnya mati. 

Sehingga, mau mengikut Yesus bukanlah karena tuntutan tradisi yang telah dipelihara secara turun-temurun, seperti yang dimengerti oleh ahli Taurat. Dan juga bukan hanya sekedar keinginan semata seperti anak muda yang sedang bergelora melihat Yesus yang tampil sebagai motivator kondang. Tentunya Yesus tahu betul dan sangat mengenal setiap motivasi orang-orang yang mengikuti-Nya; bahkan jauh ke dalam hati mereka. Oleh karena itulah Yesus memberikan jawaban yang tegas dan keras! Dengan demikian, Yesus hendak mencelikkan mata dan membuka hati mereka, supaya mereka sadar dan mau ikut, atau berdalih ketika Yesus datang memanggil?

Karena itu Yesus juga berkata: ”Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” Menoleh ke belakang sama artinya dengan ingin mempertahankan warisan nilai-nilai dan pengalaman masa lampau. Bajak biasanya dipegang dengan satu tangan saja dan tangan yang lain digunakan sebagai pengontrol lembu yang menarik bajak itu. Oleh karena itu, pembajak harus kuat, fokus dan setia memperhatikan agar alur-alur bajakan tetap lurus. Kalau menoleh ke belakang, maka alur-alurnya akan menjadi tidak karuan.  

Demikian juga halnya dengan mengikut Yesus. Setiap orang harus berani memutuskan hubungannya dengan warisan-warisan dari masa lampu yang menjadi penghalang. Kita harus siap menyambut kewajiban ketika hendak masuk dalam Kerajaan Allah tanpa merepotkan diri dengan kewajiban-kewajiban yang menjadi penghalang. Kita harus mengambil alih cara Yesus menilai dunia ini, yang kadang terbalik dengan cara dunia ini menilai pada umumnya. Secara sederhana, mengikut Yesus ya tanpa embel-embel; tanpa dalih.

Refleksi
Masihkah ungkapan “nanti dululah, yang lain dululah, belum waktunya, kalau sudah aman barulah, dsb.” masihkah menjadi ungkapan yang dominan di Gereja kita? Mengikut Yesus berarti bersedia melakukan kebenaran dan kasih dalam perbuatan kecil; sederhana, dari setiap talenta maupun karya yang kita miliki. Tentunya kesediaan mengikut Yesus haruslah lahir dari motivasi yang murni. Motivasi murni adalah sebuah dorongan berbentuk energi bio-psiko-spiritual dari dalam hati manusia yang membuat dan memampukan setiap orang untuk memilih dan sanggup melakukan setiap pilihan yang diambil. Motivasi itulah yang akan menentukan, apakah seseorang bersedia melayani atau berdalih.

Sadar atau tidak, ada banyak motivasi setiap orang untuk mengikut Yesus. Ada yang ingin selamat dari kebangkrutan, ada yang ingin sembuh dari sakit penyakit, ada yang ingin memperoleh berkat. Ironisnya ada banyak gereja yang mempergunakan hal ini sebagai alat untuk menjaring jemaat. Akhirnya Yesus bukan lagi menjadi Tuhan, tapi hanya sebagai alat promosi mereka. Hanya sedikit yang benar-benar mencari Yesus dengan motivasi untuk mengenal pribadiNya yang penuh kasih secara sungguh-sungguh. Tidak sedikit juga di antara kita yang rajin mencari Yesus karena motivasi-motivasi yang keliru.

Mencari Yesus itu tentu baik. Tapi itu hanya baik jika didasari motivasi yang benar. Kenyataannya banyak orang yang akhirnya sibuk mencari Yesus bukan karena mengalami pertobatan yang sesungguhnya atau ingin hidupnya diperbaharui namun karena kita mempunyai daftar permintaan yang sangat panjang untuk dibawa kepadaNya. Maksud-maksud terselubung seperti ini sesungguhnya tidaklah menjadi dasar yang baik untuk mencari Yesus.

Mengikut Yesus berarti tidak memiliki jaminan yang pasti seperti yang ditawarkan dunia. Siapkah kita bertarung atau bergumul dalam setiap kebenaran dan keadilan di tengah-tengah kehidupan kita? Atau kita takut digeser, disingkirkan, ditinggalkan ketika kita mengatakan kebenaran ataupun melakukan kebenaran? Tetapi kita harus tetap percaya; berserah penuh dan tidak perlu khawatir sebab Tuhan juga yang senantiasa menyertai kita dalam kuasa Roh Kudus-Nya.

Firman Tuhan mengingatkan dan sekaligus mengajak kita: marilah ikut dan datanglah dengan kesungguhan hati. Kiranya Tuhan senantiasa memampukan kita melalui penyertaan kuasa Roh Kudus-Nya, hingga akhirnya Ia datang dan mendapati kita tetap setia. Amen

(Bahan khotbah, Minggu 30 Juni 2013)