Pengantar
Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang
bertanya-tanya, apakah pelayanan kesehatan jiwa itu? Siapakah yang menjalankan
pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia? Bagaimana pelayanan kesehatan jiwa hadir
membantu masyarakat? Apa dampak pelayanan kesehatan jiwa yang dirasakan masyarakat
hingga saat ini. Pada konteks ini, penulis mencoba bermenung dan merefleksikan
upaya pengembangan unit konseling pastoral di Pelkesi sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam mendorong pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.
Masih kaburnya konsep dan bentuk pelayanan
kesehatan jiwa di Indonesia tergambar dalam pandangan masyarakat yang hanya tau
bahwa bila orang sakit, termasuk “sakit jiwa”, itu harus berobat ke dokter
(tukang memberi resep). Istilah “berobat” berarti harus dengan obat. bahkan
jika tidak diberi obat, maka orang tersebut akan memaksa untuk diberi obat/resep.
Padahal konsep pengobatan di bidang kejiwaan itu “eklektik-holistik”,
menyelediki secara menyuluruh segala aspek kehidupan seorang pasien untuk
kemudian memilih terapi yang paling sesuai dan tepat dengan kondisi yang
dialami.
Jika konsep pengobatan yang menyeluruh dapat
dilakukan dengan tepat, maka pengobatan atau terapi gangguan jiwa tidak mesti,
atau bukan hanya obat (psikofarmaka), tetapi juga psikoterapi, terapi perilaku,
terapi kognitif, terapi realitas, terapi keluarga, terapi okupasional,
konseling atau dalam istilah umum yang sangat dikenal dengan konsultasi. Pengobatan
atau terapi dibidang kesehatan jiwa seperti inilah yang disebut “pelayanan
kesehatan jiwa”. Karena tidak hanya meliputi pemerikasaan fisik (somatik),
tetapi juga psikis dan perilaku, yang akhirnya bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia.
Tantangan
pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day) diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Momentum
hari kesehatan jiwa ini diperingati tentunya dengan tujuan untuk menghormati
hak-hak orang dengan masalah kejiwaan, memperluas program pencegahan masalah
kesehatan jiwa, memperluas pelayanan yang memadai dan mendekatkan akses bagi
mereka yang membutuhkan, serta meningkatkan upaya-upaya pelayanan kesehatan
jiwa secara optimal; sesuai dan tepat.
Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa (WFMH) pada tahun
2012 menetapkan tema “DEPRESSION : A
Global Crisis”, sebuah seruan untuk menggugah kesadaran akan masalah
depresi yang menjangkiti banyak penduduk dunia. Hal ini dirasakan sangat
mendesak karena masalah depresi dapat menimbulkan dampak yang besar, yang
terjadi tidak hanya pada penderitanya, namun bagi keluarga, masyarakat dan
pemerintah. Data yang terungkap dalam survei Kesehatan Jiwa Dunia yang
dilakukan di 17 negara menemukan bahwa rata-rata sekitar 1 dari 20 orang
dilaporkan memiliki episode depresi pada tahun sebelumnya. Dampak paling buruk,
depresi dapat menyebabkan bunuh diri. Hampir 1 juta nyawa hilang setiap tahun
karena bunuh diri, yang dilaporkan terdapat 3000 kematian akibat bunuh diri
setiap harinya (WHO, 2012).
Di indonesia, data per akhir tahun 2011
mengungkapkan bahwa sekitar satu juta orang mengalami gangguan jiwa, atau
sekitar 0.46 persen. Hal ini diungkapkan oleh Diah Setia Utami, Direktur Bina
Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (http://health.kompas.com/Jumlah.Penduduk.yang.Depresi.Meningkat diakses
pada 9/10/2012). Mengapa jumlah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) terus
meningkat? Untuk apa semua data-data di atas diperlihatkan kepada publik, baik
secara global maupun nasional? Selain untuk dapat mengukur sejauhmana upaya yang
sudah dilakukan, tentunya hal tersebut menjadi refleksi kritis dalam dunia
medis secara holistik, bahwa gangguan kesehatan jiwa yang muncul adalah ibarat permukaan
gunung es.
Diah menjelaskan bahwa belum berhasilnya pemerintah
mengatasi kondisi tersebut disebabkan karena tidak
semua Pemda berkomitmen dan memahami dalam melakukan program intervensi
kesehatan jiwa. Oleh karena itu Diah
mengharapkan agar kedepannya ada Permenkes yang akan mengatur program pelayanan
kesehatan jiwa. Sehingga Pemda wajib menjalankannya, mulai dari penyiapan
tenaga terlatih juga sarana dan prasarananya, dimana Kementerian Kesehatan juga
akan menyediakan kebutuhan obat dan pelatihan peningkatan kapasitas bagi dokter
puskesmas dan rumah sakit umum untuk dapat melakukan intervensi kesehatan
jiwa,” (http://infopublik.kominfo.go.id/ diakses pada 9/10/2012).
Tentunya,
semua upaya yang akan dilakukan tersebut tidak akan mampu menjawab persoalan
yang terjadi tanpa membangun kemitraan yang terpadu dan melibatkan masyarakat.
Sebab masyarakat dan semua pihak yang terkait harus dilibatkan bersama-sama
dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti. Sesungguhnya
pemerintah juga menyadari bahwa investasi pada promosi kesehatan jiwa
dan prevensi terhadap gangguan kejiwaan akan menghasilkan individu dan
masyarakat yang dapat beradaptasi terhadap stres dan konflik sehari-hari,
meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya turut serta meningkatkan kualitas
hidup masyarakat Indonesia. Investasi pada kesehatan jiwa juga turut berperan
dalam beberapa upaya pencapaian MDGs di Indonesia, di antaranya adalah pada
meningkatnya kesehatan anak dan ibu, serta pengurangan kemiskinan (http://www.bappenas.go.id/node/44/942/laporan-millenium-development-goals-mdg-indonesia/
diakses pada 9/10/2012).
Namun yang menjadi pertanyaan penting saat
ini adalah, bagaimana pemerintah dapat mendorong investasi dan promosi program
tersebut dalam memberikan intervensi pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat
Indonesia yang sangat kompleks? Dalam hal ini, 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 1
Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di seleluruh Indonesia yang dikelola
oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan juga belum mampu
memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Menyikapi kondisi ini,
pemerintah telah berupaya dan terus menbangun bentuk-bentuk kemitraan yang
terpadu. Secara informal, berarti mandiri, pelayanan kesehatan jiwa
dilaksanakan oleh berbagai Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum Swasta yang
mempunyai psikiater, psikolog dan juga konselor Pastoral (pada Rumah Sakit
Kristen) dengan biro konsultasi swasta (Inu Wicaksana, 2008. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa: Refleksi
Kasus-kasus Psikiatri dan Problematika Kesehatan Jiwa Di Indonesia).
Wicaksana juga menegaskan bahwa kedepannya
– dengan kemajuan tingkat kehidupan masyarakat di era modernisasi ini – lebih
banyak orang akan mencari ahli untuk “konsultasi” guna penyelesaian “sakit”
yang dirasakan, tidak sekedar meminta obat saja. Sehingga pelayanan kesehatan
jiwa masa kini harus mengutamakan “konsultasi” seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat
modern. Jika Rumah Sakit Jiwa belum mampu menjawab kondisi yang ada, maka
kemanakah masyarakat mencari pertolongan pelayanan kesehatan jiwa? Apakah
masyarakat tersebut tidak ada yang stres atau mengalami gangguan jiwa dari yang
ringan sampai seberat-beratnya? Barangkali disinilah hukum ekonomi berlaku.
Konsumen akan mencari sendiri apa yang dibutuhkan dan yang paling sesuai dan
nyaman bagi dirinya.
Secara diam-diam masyarakat kelas menengah
dan elit tentu akan memilih Rumah Sakit Umum Swasta yang elit juga. Dan Rumah
Sakit Umum Swasta pun cepat tanggap, melengkapi pelayanannya dengan tenaga
psikiater part-timer, psikolog dan
juga konselor pastoral (meskipun wajah konselor pastoral di Rumah Sakit Umum
Swasta yang tergabung dalam asosiasi Pelkesi juga sesungguhnya belum jelas).
Poliklinik psikiatri, psikologi dan ruang konseling untuk konsultasi dibuka
hampir di semua Rumah Sakit. Mereka yang dari kalangan menengah ke atas yang
mengalami gangguan kesehatan mental dan butuh rawat inap “diselipkan” dalam
bangsal penyakit fisik atau masuk dalam kelas I dan VIP dengan AC, TV, Kamar
Mandi, dan wi-fi untuk kemudahan
akses internet.
Tantangan (walaupun sebenarnya tuntutan
yang segera) bagi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan Rumah Sakit Umum Swasta (RSUS) dalam
menjawab kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa ini tidak dapat dibendung lagi. Bahkan
peran RSUS untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan jiwa bersama instansi
terkait dalam lintas sektoral harus terus didorong. Sehingga, dalam hal ini
jugalah kesempatan yang besar menjadi terbuka bagi Rumah Sakit Umum Swasta,
khususnya Rumah Sakit Kristen yang bergabung dalam Pelkesi untuk bisa
berpartisipasi dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang
purnabakti di Indonesia. Dalam hal apakah peran tersebut dapat diambil?
Peran
Unit Konseling Pastoral PELKESI dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa
Pelayanan kesehatan jiwa sesungguhnya telah tercermin dalam visi
pelayanan kesehatan yang holistik. Dalam hal ini pelayanan kesehatan yang
holistik tentunya tidak bisa dipisahkan dari peran konseling pastoral; baik
yang tersedia dalam unit maupun sudah menjadi terpadu dalam poliklinik. Kebutuhan
akan pelayanan kesehatan yang holistik merupakan kebutuhan yang sudah menjadi
prioritas dewasa ini. Bahkan hal ini terlihat dari gelombang kesadaran dunia
medis yang juga kian berkembang dalam proses re-edukasi dan transformasi.
Proses panjang yang sudah berlangsung tersebut kian mengkristal menjadi sebuah
gerakan yang dinamis di dunia internasional dalam pelayanan kesehatan,
penyembuhan dan keutuhan manusia (health,
healing, wholeness).
Sehingga pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
di rumah sakit, tidak hanya bersifat kuratif saja, melainkan lebih mengutamakan
upaya promotif, preventif tanpa mengabaikan pelayanan yang bersifat
rehabilitatif. Disamping itu, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak
hanya terfokus pada upaya mengatasi gejala fisik saja, melainkan juga
menekankan pada faktor mental atau kejiwaan, spiritual serta sosial. Dengan
demikian, maka pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Rumah Sakit Umum Swasta
(Kristen), benar-benar mengupayakan pasiennya dapat menjadi sehat secara fisik,
mental, spiritual dan sosial secara komprehensif (holistik).
Penyembuhan holistik adalah menjadi ciri khas dan sekaligus
menjadi jantung pelayanan yang telah dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan
(UPK) Pelkesi. Dimana, Pelkesi sebagai organisasi Persekutuan Pelayanan
Kesehatan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia sejak lahirnya telah menyatakan
bahwa penyembuhan yang holistik merupakan keharusan bagi unit-unit pelayanan
kesehatan sebagai anggota Pelkesi. Salah satu implementasi pelayanan holistik yang
dilaksanakan UPK Pelkesi adalah dalam pelayanan konseling pastoral. Dimana, konseling
pastoral sudah menjadi dasar dan disadari sebagai bagian yang utuh dalam
pelayanan kesehatan holistik (Bert A Supit, 2004. Penyembuhan Holistik).
Dengan
demikian, sesungguhnya unit konseling pastoral Pelkesi telah ikut
berpartisipasi dan mengambil bagian dalam mendorong pelayanan kesehatan jiwa
Indonesia. Sebab semua upaya pelayanan kesehatan holistik yang dilakukan
merupakan bagian yang sama dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa
yang purnabakti di Indonesia. Semoga dengan semakin memaknai peran tersebut,
Rumah Sakit Anggota (UPK) Pelkesi juga semakin menyadari bahwa banyak hal yang
harus dipersiapkan dalam mendorong pengembangan peran unit konseling
pastoralnya masing-masing. Jika UPK Pelkesi semakin siap dalam mengembangkan
peran unit konseling pastoralnya, maka pada saat yang sama Pelkesi telah
mengambil bagian dalam mendorong
terwujudnya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia.
Selamat mempertingati hari kesehatan jiwa.