Wednesday, February 27, 2013

Ada yang Baik di Balik Ketidakadilan



Bacaan, Pengkotbah 3:16-22

“Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya....” (Ayat 22)

Di siang yang biasanya terik dan panas, suara denyut alat monitoring membelah keheningan seisi ruangan yang dingin. Kelap kelip lampu indikator berdetak tepat seiring detik jam dinding. Sepi, sunyi, sendiri, begitulah yang tampak dirasakan tubuh yang terbaring penuh dengan alat bantu. Tubuhnya dingin membujur seperti tidak bernafas, tetapi nafas itu masih jelas terlihat di layar monitor dengan garis yang  naik turun. Apakah ini tidak adil? Sementara di luar sana sayup-sayup terdengar gelak tawa gadis seusianya. Tetapi dia, dengan paras manisnya seperti bersabar saja melewati masa kritis sesaat setelah pisau membelah kepalanya dalam operasi  karena kecelakaan lalu lintas. Apakah ini tidak adil? Sementara di pintu keluar tampak pasien lain tersenyum bahagia karena kesehatannya sudah pulih dan boleh kembali pulang. Apakah ini tidak adil? Sementara pasien lain penuh kehangatan dengan anggota keluarga yang berkerumun memberi dukungan tetapi dia hanya sendiri, tidak tahu siapa dan di mana keluarganya.

Pengkotbah memberikan kesaksian tentang ketidakadilan di dalam hidup. Ayat 16 menjelaskan bahwa di mana saja ada ketidakadilan. Di tempat pengadilan sekalipun, ada ketidakadilan. Bahkan di tempat yang disebut tempatnya keadilan, tetap saja ada ketidakadilan. Tetapi di ayat 17 Pengkotbah meyakini bahwa Allah itu akan datang untuk memberikan keadilan, bagi siapa saja, dan apa saja situasinya, karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya. Ya, ada kalanya situasi yang kita alami, pekerjaan yang kita hadapi, membuat kita merasa ada yang tidak adil untuk kita. Namun ayat 17 ini memberikan kekuatan bahwa Allah sendiri yang akan mengadili yang bisa kita pahami sebagai memberikan keadilan pada waktu yang tepat atas ketidakadilan situasi yang kita alami. 

Ayat ke 18 - 19 disampaikan bahwa “Tentang anak-anak manusia aku berkata dalam hati: “Allah hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang”...” Mungkin jika kita membaca ayat ini begitu saja, bisa membuat kita kecil hati, apakah iya bahwa Allah  ingin memperlihatkan bahwa anak-anak manusia itu hanyalah binatang. Namun yang bisa kita pahami dari sisi ini adalah, bahwa kita tidak berhak menuntut keadilan itu segera datang menghampiri kehidupan kita. Siapakah kita yang berhak menuntut Allah untuk segera menunjukkan keadilan yang kita harapkan. Kita sedang diajarkan untuk bersikap rendah hati atas situasi yang sedang tidak berpihak di dalam kehidupan kita. 

Memang cara pengkotbah menjelaskan terdengar cukup keras, namun sekeras itu pulalah kita berupaya untuk mau memberi diri sungguh-sungguh memahami apa yang sedang Allah kehendaki di balik situasi yang tidak berpihak bagi kita. Dari segala perasaan yang serba tidak menyenangkan, yang salah satunya adalah situasi yang kita rasa tidak adil didalam kehidupan kita, tetaplah ada pengharapan dan kekuatan. Ayat 22 disebutkan bahwa “....Tidak ada yang lebih baik bagi manusia daripada bergembira dalam pekerjaannya.....”. Ya, BERGEMBIRA adalah sikap untuk melawan rasa ketidakadilan yang sedang melanda kehidupan kita. Bergembira mengerjakan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita. 

Demikian juga ketika kita menghadapi situasi di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) tempat kita bekerja. Sebagai dokter, perawat, petugas kebersihan, petugas radiologi, petugas apotek, semuanya mungkin pernah merasa ada ketidak-adilan dalam situasi bekerja. Namun, apakah keadaan yang tidak adil ini akan menghentikan langkah kita untuk tetap bergembira dalam melakukan pekerjaan kita? Semakin hari persaingan di dunia kesehatan semakin meningkat. Ada begitu banyak Rumah Sakit berdiri dan siap memberi pelayanan terbaik. Masyarakat semakin mampu memilih manakah Rumah Sakit yang dipercaya untuk menangani kesehatan mereka. Untuk tetap bertahan memberikan pelayanan kesehatan, semakin tahun semakin banyak persyaratan yang harus kita upayakan. 

Kadang kala, kita juga merasa ada ketidak –adilan ketika misalnya saja upaya kita untuk mengurus perijinan dan ketetapan lainnya ternyata tidak memenuhi syarat. Mungkin kita merasa ada ketidakadilan saat kita tidak mampu memenuhi pengadaan alat kesehatan yang memadai. Apakah dengan terus menerus merasa bahwa situasi ini tidak adil akan mampu membawa UPK kita menjadi kesaksian karya Allah bagi sesama? Apakah dengan terus menerus meratapi ketidakadilian yang sedang menimpa hidup kita, maka kita mampu menunjukkan kasih Allah dari dalam diri kita untuk sesama? 

Sekarang, adalah saatnya untuk bergembira mengerjakan tugas dan tanggungjawab kita, sebagai apa pun kita di UPK yang kita kelola bersama. Kegembiraan kita hari ini akan mengawali saat di mana Allah akan menunjukkan keadilan dan damai sejahtera di waktu yang tepat, dan waktu itu adalah waktu Allah, waktu yang tidak bisa kita prediksi. Saat kita merasakan ada ketidakadilan menimpa hidup kita, saat itulah kita bisa memahami bahwa ada hal baik di balik situasi ketidakadilan yang kita rasakan [RH-Dee].

Tuhan Yesus, ketika ada ketidakadilan menimpa kehidupan kami, mampukanlah kami menerima dengan kerendahan hati. Jangan biarkan kami larut dalam keputusasaan, tapi mampukanlah kami bergembira melakukan pekerjaan kami untuk sampai pada keadilan sesuai dengan waktu-Mu. Amin.

Tuesday, February 5, 2013

Peran Unit Konseling Pastoral PELKESI dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa



Pengantar
Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang bertanya-tanya, apakah pelayanan kesehatan jiwa itu? Siapakah yang menjalankan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia? Bagaimana pelayanan kesehatan jiwa hadir membantu masyarakat? Apa dampak pelayanan kesehatan jiwa yang dirasakan masyarakat hingga saat ini. Pada konteks ini, penulis mencoba bermenung dan merefleksikan upaya pengembangan unit konseling pastoral di Pelkesi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mendorong pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Masih kaburnya konsep dan bentuk pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia tergambar dalam pandangan masyarakat yang hanya tau bahwa bila orang sakit, termasuk “sakit jiwa”, itu harus berobat ke dokter (tukang memberi resep). Istilah “berobat” berarti harus dengan obat. bahkan jika tidak diberi obat, maka orang tersebut akan memaksa untuk diberi obat/resep. Padahal konsep pengobatan di bidang kejiwaan itu “eklektik-holistik”, menyelediki secara menyuluruh segala aspek kehidupan seorang pasien untuk kemudian memilih terapi yang paling sesuai dan tepat dengan kondisi yang dialami.

Jika konsep pengobatan yang menyeluruh dapat dilakukan dengan tepat, maka pengobatan atau terapi gangguan jiwa tidak mesti, atau bukan hanya obat (psikofarmaka), tetapi juga psikoterapi, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi realitas, terapi keluarga, terapi okupasional, konseling atau dalam istilah umum yang sangat dikenal dengan konsultasi. Pengobatan atau terapi dibidang kesehatan jiwa seperti inilah yang disebut “pelayanan kesehatan jiwa”. Karena tidak hanya meliputi pemerikasaan fisik (somatik), tetapi juga psikis dan perilaku, yang akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Tantangan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day) diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Momentum hari kesehatan jiwa ini diperingati tentunya dengan tujuan untuk menghormati hak-hak orang dengan masalah kejiwaan, memperluas program pencegahan masalah kesehatan jiwa, memperluas pelayanan yang memadai dan mendekatkan akses bagi mereka yang membutuhkan, serta meningkatkan upaya-upaya pelayanan kesehatan jiwa secara optimal; sesuai dan tepat.

Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa (WFMH) pada tahun 2012 menetapkan tema “DEPRESSION : A Global Crisis”, sebuah seruan untuk menggugah kesadaran akan masalah depresi yang menjangkiti banyak penduduk dunia. Hal ini dirasakan sangat mendesak karena masalah depresi dapat menimbulkan dampak yang besar, yang terjadi tidak hanya pada penderitanya, namun bagi keluarga, masyarakat dan pemerintah. Data yang terungkap dalam survei Kesehatan Jiwa Dunia yang dilakukan di 17 negara menemukan bahwa rata-rata sekitar 1 dari 20 orang dilaporkan memiliki episode depresi pada tahun sebelumnya. Dampak paling buruk, depresi dapat menyebabkan bunuh diri. Hampir 1 juta nyawa hilang setiap tahun karena bunuh diri, yang dilaporkan terdapat 3000 kematian akibat bunuh diri setiap harinya (WHO, 2012).

Di indonesia, data per akhir tahun 2011 mengungkapkan bahwa sekitar satu juta orang mengalami gangguan jiwa, atau sekitar 0.46 persen. Hal ini diungkapkan oleh Diah Setia Utami, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (http://health.kompas.com/Jumlah.Penduduk.yang.Depresi.Meningkat diakses pada 9/10/2012). Mengapa jumlah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) terus meningkat? Untuk apa semua data-data di atas diperlihatkan kepada publik, baik secara global maupun nasional? Selain untuk dapat mengukur sejauhmana upaya yang sudah dilakukan, tentunya hal tersebut menjadi refleksi kritis dalam dunia medis secara holistik, bahwa gangguan kesehatan jiwa yang muncul adalah ibarat permukaan gunung es.
 
Diah menjelaskan bahwa belum berhasilnya pemerintah mengatasi kondisi tersebut disebabkan karena tidak semua Pemda berkomitmen dan memahami dalam melakukan program intervensi kesehatan jiwa.  Oleh karena itu Diah mengharapkan agar kedepannya ada Permenkes yang akan mengatur program pelayanan kesehatan jiwa. Sehingga Pemda wajib menjalankannya, mulai dari penyiapan tenaga terlatih juga sarana dan prasarananya, dimana Kementerian Kesehatan juga akan menyediakan kebutuhan obat dan pelatihan peningkatan kapasitas bagi dokter puskesmas dan rumah sakit umum untuk dapat melakukan intervensi kesehatan jiwa,” (http://infopublik.kominfo.go.id/ diakses pada 9/10/2012).
Tentunya, semua upaya yang akan dilakukan tersebut tidak akan mampu menjawab persoalan yang terjadi tanpa membangun kemitraan yang terpadu dan melibatkan masyarakat. Sebab masyarakat dan semua pihak yang terkait harus dilibatkan bersama-sama dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti. Sesungguhnya pemerintah juga menyadari bahwa investasi pada promosi kesehatan jiwa dan prevensi terhadap gangguan kejiwaan akan menghasilkan individu dan masyarakat yang dapat beradaptasi terhadap stres dan konflik sehari-hari, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya turut serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Investasi pada kesehatan jiwa juga turut berperan dalam beberapa upaya pencapaian MDGs di Indonesia, di antaranya adalah pada meningkatnya kesehatan anak dan ibu, serta pengurangan kemiskinan (http://www.bappenas.go.id/node/44/942/laporan-millenium-development-goals-mdg-indonesia/ diakses pada 9/10/2012).    

Namun yang menjadi pertanyaan penting saat ini adalah, bagaimana pemerintah dapat mendorong investasi dan promosi program tersebut dalam memberikan intervensi pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat Indonesia yang sangat kompleks? Dalam hal ini, 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 1 Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di seleluruh Indonesia yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan juga belum mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Menyikapi kondisi ini, pemerintah telah berupaya dan terus menbangun bentuk-bentuk kemitraan yang terpadu. Secara informal, berarti mandiri, pelayanan kesehatan jiwa dilaksanakan oleh berbagai Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum Swasta yang mempunyai psikiater, psikolog dan juga konselor Pastoral (pada Rumah Sakit Kristen) dengan biro konsultasi swasta (Inu Wicaksana, 2008. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa: Refleksi Kasus-kasus Psikiatri dan Problematika Kesehatan Jiwa Di Indonesia).

Wicaksana juga menegaskan bahwa kedepannya – dengan kemajuan tingkat kehidupan masyarakat di era modernisasi ini – lebih banyak orang akan mencari ahli untuk “konsultasi” guna penyelesaian “sakit” yang dirasakan, tidak sekedar meminta obat saja. Sehingga pelayanan kesehatan jiwa masa kini harus mengutamakan “konsultasi” seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat modern. Jika Rumah Sakit Jiwa belum mampu menjawab kondisi yang ada, maka kemanakah masyarakat mencari pertolongan pelayanan kesehatan jiwa? Apakah masyarakat tersebut tidak ada yang stres atau mengalami gangguan jiwa dari yang ringan sampai seberat-beratnya? Barangkali disinilah hukum ekonomi berlaku. Konsumen akan mencari sendiri apa yang dibutuhkan dan yang paling sesuai dan nyaman bagi dirinya.

Secara diam-diam masyarakat kelas menengah dan elit tentu akan memilih Rumah Sakit Umum Swasta yang elit juga. Dan Rumah Sakit Umum Swasta pun cepat tanggap, melengkapi pelayanannya dengan tenaga psikiater part-timer, psikolog dan juga konselor pastoral (meskipun wajah konselor pastoral di Rumah Sakit Umum Swasta yang tergabung dalam asosiasi Pelkesi juga sesungguhnya belum jelas). Poliklinik psikiatri, psikologi dan ruang konseling untuk konsultasi dibuka hampir di semua Rumah Sakit. Mereka yang dari kalangan menengah ke atas yang mengalami gangguan kesehatan mental dan butuh rawat inap “diselipkan” dalam bangsal penyakit fisik atau masuk dalam kelas I dan VIP dengan AC, TV, Kamar Mandi, dan wi-fi untuk kemudahan akses internet.

Tantangan (walaupun sebenarnya tuntutan yang segera) bagi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan Rumah Sakit Umum Swasta (RSUS) dalam menjawab kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa ini tidak dapat dibendung lagi. Bahkan peran RSUS untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan jiwa bersama instansi terkait dalam lintas sektoral harus terus didorong. Sehingga, dalam hal ini jugalah kesempatan yang besar menjadi terbuka bagi Rumah Sakit Umum Swasta, khususnya Rumah Sakit Kristen yang bergabung dalam Pelkesi untuk bisa berpartisipasi dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia. Dalam hal apakah peran tersebut dapat diambil?  
             
Peran Unit Konseling Pastoral PELKESI dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa
Pelayanan kesehatan jiwa sesungguhnya telah tercermin dalam visi pelayanan kesehatan yang holistik. Dalam hal ini pelayanan kesehatan yang holistik tentunya tidak bisa dipisahkan dari peran konseling pastoral; baik yang tersedia dalam unit maupun sudah menjadi terpadu dalam poliklinik. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang holistik merupakan kebutuhan yang sudah menjadi prioritas dewasa ini. Bahkan hal ini terlihat dari gelombang kesadaran dunia medis yang juga kian berkembang dalam proses re-edukasi dan transformasi. Proses panjang yang sudah berlangsung tersebut kian mengkristal menjadi sebuah gerakan yang dinamis di dunia internasional dalam pelayanan kesehatan, penyembuhan dan keutuhan manusia (health, healing, wholeness).

Sehingga pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di rumah sakit, tidak hanya bersifat kuratif saja, melainkan lebih mengutamakan upaya promotif, preventif tanpa mengabaikan pelayanan yang bersifat rehabilitatif. Disamping itu, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak hanya terfokus pada upaya mengatasi gejala fisik saja, melainkan juga menekankan pada faktor mental atau kejiwaan, spiritual serta sosial. Dengan demikian, maka pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Rumah Sakit Umum Swasta (Kristen), benar-benar mengupayakan pasiennya dapat menjadi sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial secara komprehensif (holistik).

Penyembuhan holistik adalah menjadi ciri khas dan sekaligus menjadi jantung pelayanan yang telah dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) Pelkesi. Dimana, Pelkesi sebagai organisasi Persekutuan Pelayanan Kesehatan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia sejak lahirnya telah menyatakan bahwa penyembuhan yang holistik merupakan keharusan bagi unit-unit pelayanan kesehatan sebagai anggota Pelkesi. Salah satu implementasi pelayanan holistik yang dilaksanakan UPK Pelkesi adalah dalam pelayanan konseling pastoral. Dimana, konseling pastoral sudah menjadi dasar dan disadari sebagai bagian yang utuh dalam pelayanan kesehatan holistik (Bert A Supit, 2004. Penyembuhan Holistik). 

Dengan demikian, sesungguhnya unit konseling pastoral Pelkesi telah ikut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam mendorong pelayanan kesehatan jiwa Indonesia. Sebab semua upaya pelayanan kesehatan holistik yang dilakukan merupakan bagian yang sama dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia. Semoga dengan semakin memaknai peran tersebut, Rumah Sakit Anggota (UPK) Pelkesi juga semakin menyadari bahwa banyak hal yang harus dipersiapkan dalam mendorong pengembangan peran unit konseling pastoralnya masing-masing. Jika UPK Pelkesi semakin siap dalam mengembangkan peran unit konseling pastoralnya, maka pada saat yang sama Pelkesi telah mengambil bagian dalam mendorong  terwujudnya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia. Selamat mempertingati hari kesehatan jiwa.

Semuanya Untuk Mereka



Bahan bacaan: Amsal 27:17-19
“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya (17)”

Sudah 3 tahun Ferdi menjadi penanggungjawab dalam program pengendalian malaria yang ada di Tentena, Poso, Sulawesi Tengah. Bermula sebagai relawan bencana bersama sebuah lembaga kemanusiaan di Palu, Ferdi kemudian mendapat kesempatan untuk mengecap pendidikan kesehatan di Akedemi Keperawatan yang ada di Palu. Setelah menyelesaikan studinya, Ferdi merasa terpanggil untuk kembali ke kampung halamannya, di Tentena, Poso. Ada tantangan besar yang harus ia kerjakan dalam upaya peningkatan derajad kesehatan masyarakat yang ada di Tentena.

Saya sangat tergugah dengan semangatnya yang menyala-nyala setiap melakukan program penyuluhan bagi warga, meskipun ia masih muda. Mulai dari mempersiapkan kader di setiap desa, berkoordinasi dengan tokoh atau pemerintah setempat, hingga harus turun ke kebun-kebun warga dalam melakukan penyuluhan dan memberikan kelambu sebagai tindakan preventif dan promotif. Semua dilakukan tanpa lelah, hingga masyarakat yang dilayani pun sangat mengenalnya sebagai “tukang kelambu”. Bersama dengan kader-kader malaria yang lain, Ferdi mencoba menjangkau setiap warga masyarakat maupun warga jemaat yang terkena demam berdarah.

Tentunya masih banyak juga petugas maupun pemerhati kesehatan seperti Ferdi yang berbuat bagi masyarakat – bersedia melakukan semua upaya dalam meningkatkan derajad kesehatan. Hal tersebut mengingatkan saya dengan refleksi yang pernah disampaikannya, bahwa jika tidak ada yang malakukan upaya tersebut, maka masyarakat Tentena tidak akan pernah menjadi semakin tahu bagaimana mencegah dan mengatasi demam berdarah. “Semua upaya yang kami lakukan adalah untuk mereka”. Ungkapan inilah yang senantiasa terlihat dari sikap Ferdi dalam setiap pelayanannya.

Demikian juga halnya apa yang diungkapkan sebagai khidmat dalam kita Amsal, bahwa besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya (Amsal 27: 17). Khidmat kitab Amsal mengajarkan bahwa, jika besi adalah bahan yang harus dipakai untuk menajamkan besi yang akan dibentuk, terlebih lagi manusia. Manusia adalah mahluk yang sempurna, dengan akal budi yang dimiliki tentunya membuat manusia menjadi berguna bagi kehidupan sesama. Proses penajaman pada besi bukanlah hal yang mudah. Demikian ju ga dengan manusia, Tuhan mengharapkan agar manusia dengan sesamanya jugalah yang saling menajamkan – saling membangun, saling mengajar, saling mengasah untuk bertumbuh dan berkembang bersama dalam segala hal.

Khidmat kitab Amsal sangat tegas mengatakan bahwa, “hormat akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina khidmat dan didikan (Amsal 1:7)”. Dalam hal ini, hanya dengan hormat akan Tuhanlah maka semua kepandaian, kebijaksanaan, etika dan sikap hidup akan ditambahkan. Sehingga dalam khidmat Tuhan itu jugalah kepandaian, kebijaksanaan, etika dan sikap hidup akan tercermin dan dipakai untuk kemuliaan Tuhan. Dengan kata lain, kepandaian, etika dan sikap hidup yang dimiliki setiap orang yang hormat akan Tuhan akan dirasakan sebagai berkat (sejahtera) bagi sesama dalam berbagai cara.

Pengalaman hidup Ferdi merupakan sebuah pembelajaran yang sangat berguna bagi semua pekerja dan pemerhati kesehatan. Sebag ai pekerja kesehatan Ferdi berusaha untuk tidak sekedar  tau dan melakukan tugas sebagai perawat. Namun, mengajar masyarakat di sekitarnya dalam proses pembelajaran; untuk tau dan sadar serta menjadi peduli terhadap kesehatan. Ferdi menyadari, bahwa hanya dengan mengajarkan apa dan bagaimana kesehatan pada masyarakat adalah cara yang terbaik untuk mempermuliakan hidup. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga rindu untuk mau berbagi, belajar bersama, saling mengasah, saling membangun untuk bertumbuh dan berkembang di dalam upaya peningkatan derajad kesehatan bersama masyarakat di sekitar kita?

“Belajar untuk saling menajamkan karakter tidak perlu menunggu, mengajarkan sesama untuk bertumbuh dalam karakter yang berkualitas dan berguna adalah proses mengasah hidup yang sesungguhnya”.Tetap semangat mempermuliakan hidup.

Allah Turut Bekerja Dalam Segala Sesuatu



Bacaan nas: Roma 8: 18-30
“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai rencana Allah.”

"Ketika Anda sedang sibuk, siapakah yang ikut menyelesaikan pekerjaan Anda?"

"Ketika Anda sedang dalam kesulitan, siapakah yang ikut menolong Anda?"

"Ketika Anda sedang sedih, siapakah yang turut menghibur Anda?"

"Ketika Anda sedang putus asa, siapakah yang ambil bagian untuk menopang Anda?"

Ya, banyak kondisi yang kita alami dalam kehidupan kita. Demikian juga saat kita melakukan pekerjaan di Unit Pelayanan Kesehatan.  Pada sebuah kesempatan, seorang dokter menyampaikan pergumulannya kepada saya mengenai pelayanannya di rumah sakit. Ia menyadari bahwa dirinya adalah seorang pelayan kesehatan bagi masyarakat. Bahkan ia meyakini, bahwa ia dimampukan melayani di rumah sakit hanya karena kemurahan dan penyertaan Tuhan.  

Sang dokter bercerita: "Pak, tanggung jawab saya di RS ini semakin berat!! Ingin lari saja rasanya. Akreditasi ini membuat saya hampir tidak berpengharapan. Apakah saya mampu??"  Lantas saya pun bertanya:  "Apa yang dokter pergumulkan?" "Pak, tidak banyak waktu kami menyelesaikan semua data ini. Penilaian akreditasi sudah sebentar lagi. Saya hanya ingin Tuhan dipermuliakan jika kami mampu menyelesaikan akreditasi ini."

Secara langsung maupun tidak langsung, tentulah setiap orang mungkin memiliki banyak pergumulan seperti yang dialami oleh dokter di atas. Beban pergumulan yang dihadapipun pastilah berbeda-beda; berdasarkan tanggungjawab yang diemban masing-masing. Namun, bukan berarti beratnya beban pekerjaan yang dihadapi membuat hidup menjadi lemah dan tidak bisa berusaha habis-habisan. Justru di dalam setiap penderitaan dan pergumulanlah anak-anak Tuhan akan melihat kemuliaan-Nya (ay.18).  sehingga, dalam setiap pergumulan anak-anak Tuhan dibimbing untuk senantiasa berharap dan berserah penuh kepada-Nya dengan tekun (25).

Demikian halnya, dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan, entah sebagai dokter, perawat, konselor, maupun petugas lainnya sebagai pekerja kesehatan di rumah sakit, tentunya kita tidak akan pernah bisa menghindar dari beban pekerjaan pelayanan kita. Namun justru ditantang untuk mampu menghadapinya dengan penuh sukacita. Sebab Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai rencana Allah (28). Kita tidak pernah tau bagaimana cara Tuhan bekerja, tetapi kita percaya Ia bekerja dan mempersiapkan segala sesuatu bagi kita.

Segala sesuatu, termasuk penderitaan dengan Kristus, akan menghasilkan kebaikan bagi kita. Kebaikan yang mana akan dihasilkan? Paulus menjawab pertanyaan ini dalam ayat yang berikut, di mana dia menjelaskan bahwa kita akan "menjadi serupa dengan gambaran AnakNya" yang mulia, yang akan bertakhta dalam Kerajaan Allah. Sehingga dalam semua proses itu, nyatalah bahwa Allah memang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai rencana Allah. Dengan demikian, beban pergumulan apapun yang kita hadapi sesungguhnya adalah “sebuah jalan” yang harus kita lalui untuk dapat bersama-sama dengan Kristus.

Pada jalan itu jugalah kita akan menyaksikan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu sehingga proses pergumulan itu juga yang sekaligus menjadi pengharapan bagi orang-orang percaya yang mengasihi Allah untuk mampu bertahan menghadapi beban pergumulan, sekaligus dikuatkan untuk tetap semangat mempermuliakan hidup.

"Siapakah yang selalu hadir dan turut bekerja dalam segala hal yang Anda alami dalam kehidupan ini?"