Tuesday, February 5, 2013

Peran Unit Konseling Pastoral PELKESI dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa



Pengantar
Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang bertanya-tanya, apakah pelayanan kesehatan jiwa itu? Siapakah yang menjalankan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia? Bagaimana pelayanan kesehatan jiwa hadir membantu masyarakat? Apa dampak pelayanan kesehatan jiwa yang dirasakan masyarakat hingga saat ini. Pada konteks ini, penulis mencoba bermenung dan merefleksikan upaya pengembangan unit konseling pastoral di Pelkesi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mendorong pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Masih kaburnya konsep dan bentuk pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia tergambar dalam pandangan masyarakat yang hanya tau bahwa bila orang sakit, termasuk “sakit jiwa”, itu harus berobat ke dokter (tukang memberi resep). Istilah “berobat” berarti harus dengan obat. bahkan jika tidak diberi obat, maka orang tersebut akan memaksa untuk diberi obat/resep. Padahal konsep pengobatan di bidang kejiwaan itu “eklektik-holistik”, menyelediki secara menyuluruh segala aspek kehidupan seorang pasien untuk kemudian memilih terapi yang paling sesuai dan tepat dengan kondisi yang dialami.

Jika konsep pengobatan yang menyeluruh dapat dilakukan dengan tepat, maka pengobatan atau terapi gangguan jiwa tidak mesti, atau bukan hanya obat (psikofarmaka), tetapi juga psikoterapi, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi realitas, terapi keluarga, terapi okupasional, konseling atau dalam istilah umum yang sangat dikenal dengan konsultasi. Pengobatan atau terapi dibidang kesehatan jiwa seperti inilah yang disebut “pelayanan kesehatan jiwa”. Karena tidak hanya meliputi pemerikasaan fisik (somatik), tetapi juga psikis dan perilaku, yang akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Tantangan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day) diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Momentum hari kesehatan jiwa ini diperingati tentunya dengan tujuan untuk menghormati hak-hak orang dengan masalah kejiwaan, memperluas program pencegahan masalah kesehatan jiwa, memperluas pelayanan yang memadai dan mendekatkan akses bagi mereka yang membutuhkan, serta meningkatkan upaya-upaya pelayanan kesehatan jiwa secara optimal; sesuai dan tepat.

Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa (WFMH) pada tahun 2012 menetapkan tema “DEPRESSION : A Global Crisis”, sebuah seruan untuk menggugah kesadaran akan masalah depresi yang menjangkiti banyak penduduk dunia. Hal ini dirasakan sangat mendesak karena masalah depresi dapat menimbulkan dampak yang besar, yang terjadi tidak hanya pada penderitanya, namun bagi keluarga, masyarakat dan pemerintah. Data yang terungkap dalam survei Kesehatan Jiwa Dunia yang dilakukan di 17 negara menemukan bahwa rata-rata sekitar 1 dari 20 orang dilaporkan memiliki episode depresi pada tahun sebelumnya. Dampak paling buruk, depresi dapat menyebabkan bunuh diri. Hampir 1 juta nyawa hilang setiap tahun karena bunuh diri, yang dilaporkan terdapat 3000 kematian akibat bunuh diri setiap harinya (WHO, 2012).

Di indonesia, data per akhir tahun 2011 mengungkapkan bahwa sekitar satu juta orang mengalami gangguan jiwa, atau sekitar 0.46 persen. Hal ini diungkapkan oleh Diah Setia Utami, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (http://health.kompas.com/Jumlah.Penduduk.yang.Depresi.Meningkat diakses pada 9/10/2012). Mengapa jumlah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) terus meningkat? Untuk apa semua data-data di atas diperlihatkan kepada publik, baik secara global maupun nasional? Selain untuk dapat mengukur sejauhmana upaya yang sudah dilakukan, tentunya hal tersebut menjadi refleksi kritis dalam dunia medis secara holistik, bahwa gangguan kesehatan jiwa yang muncul adalah ibarat permukaan gunung es.
 
Diah menjelaskan bahwa belum berhasilnya pemerintah mengatasi kondisi tersebut disebabkan karena tidak semua Pemda berkomitmen dan memahami dalam melakukan program intervensi kesehatan jiwa.  Oleh karena itu Diah mengharapkan agar kedepannya ada Permenkes yang akan mengatur program pelayanan kesehatan jiwa. Sehingga Pemda wajib menjalankannya, mulai dari penyiapan tenaga terlatih juga sarana dan prasarananya, dimana Kementerian Kesehatan juga akan menyediakan kebutuhan obat dan pelatihan peningkatan kapasitas bagi dokter puskesmas dan rumah sakit umum untuk dapat melakukan intervensi kesehatan jiwa,” (http://infopublik.kominfo.go.id/ diakses pada 9/10/2012).
Tentunya, semua upaya yang akan dilakukan tersebut tidak akan mampu menjawab persoalan yang terjadi tanpa membangun kemitraan yang terpadu dan melibatkan masyarakat. Sebab masyarakat dan semua pihak yang terkait harus dilibatkan bersama-sama dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti. Sesungguhnya pemerintah juga menyadari bahwa investasi pada promosi kesehatan jiwa dan prevensi terhadap gangguan kejiwaan akan menghasilkan individu dan masyarakat yang dapat beradaptasi terhadap stres dan konflik sehari-hari, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya turut serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Investasi pada kesehatan jiwa juga turut berperan dalam beberapa upaya pencapaian MDGs di Indonesia, di antaranya adalah pada meningkatnya kesehatan anak dan ibu, serta pengurangan kemiskinan (http://www.bappenas.go.id/node/44/942/laporan-millenium-development-goals-mdg-indonesia/ diakses pada 9/10/2012).    

Namun yang menjadi pertanyaan penting saat ini adalah, bagaimana pemerintah dapat mendorong investasi dan promosi program tersebut dalam memberikan intervensi pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat Indonesia yang sangat kompleks? Dalam hal ini, 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 1 Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di seleluruh Indonesia yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan juga belum mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Menyikapi kondisi ini, pemerintah telah berupaya dan terus menbangun bentuk-bentuk kemitraan yang terpadu. Secara informal, berarti mandiri, pelayanan kesehatan jiwa dilaksanakan oleh berbagai Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Umum Swasta yang mempunyai psikiater, psikolog dan juga konselor Pastoral (pada Rumah Sakit Kristen) dengan biro konsultasi swasta (Inu Wicaksana, 2008. Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa: Refleksi Kasus-kasus Psikiatri dan Problematika Kesehatan Jiwa Di Indonesia).

Wicaksana juga menegaskan bahwa kedepannya – dengan kemajuan tingkat kehidupan masyarakat di era modernisasi ini – lebih banyak orang akan mencari ahli untuk “konsultasi” guna penyelesaian “sakit” yang dirasakan, tidak sekedar meminta obat saja. Sehingga pelayanan kesehatan jiwa masa kini harus mengutamakan “konsultasi” seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat modern. Jika Rumah Sakit Jiwa belum mampu menjawab kondisi yang ada, maka kemanakah masyarakat mencari pertolongan pelayanan kesehatan jiwa? Apakah masyarakat tersebut tidak ada yang stres atau mengalami gangguan jiwa dari yang ringan sampai seberat-beratnya? Barangkali disinilah hukum ekonomi berlaku. Konsumen akan mencari sendiri apa yang dibutuhkan dan yang paling sesuai dan nyaman bagi dirinya.

Secara diam-diam masyarakat kelas menengah dan elit tentu akan memilih Rumah Sakit Umum Swasta yang elit juga. Dan Rumah Sakit Umum Swasta pun cepat tanggap, melengkapi pelayanannya dengan tenaga psikiater part-timer, psikolog dan juga konselor pastoral (meskipun wajah konselor pastoral di Rumah Sakit Umum Swasta yang tergabung dalam asosiasi Pelkesi juga sesungguhnya belum jelas). Poliklinik psikiatri, psikologi dan ruang konseling untuk konsultasi dibuka hampir di semua Rumah Sakit. Mereka yang dari kalangan menengah ke atas yang mengalami gangguan kesehatan mental dan butuh rawat inap “diselipkan” dalam bangsal penyakit fisik atau masuk dalam kelas I dan VIP dengan AC, TV, Kamar Mandi, dan wi-fi untuk kemudahan akses internet.

Tantangan (walaupun sebenarnya tuntutan yang segera) bagi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan Rumah Sakit Umum Swasta (RSUS) dalam menjawab kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa ini tidak dapat dibendung lagi. Bahkan peran RSUS untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan jiwa bersama instansi terkait dalam lintas sektoral harus terus didorong. Sehingga, dalam hal ini jugalah kesempatan yang besar menjadi terbuka bagi Rumah Sakit Umum Swasta, khususnya Rumah Sakit Kristen yang bergabung dalam Pelkesi untuk bisa berpartisipasi dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia. Dalam hal apakah peran tersebut dapat diambil?  
             
Peran Unit Konseling Pastoral PELKESI dalam Pelayanan Kesehatan Jiwa
Pelayanan kesehatan jiwa sesungguhnya telah tercermin dalam visi pelayanan kesehatan yang holistik. Dalam hal ini pelayanan kesehatan yang holistik tentunya tidak bisa dipisahkan dari peran konseling pastoral; baik yang tersedia dalam unit maupun sudah menjadi terpadu dalam poliklinik. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang holistik merupakan kebutuhan yang sudah menjadi prioritas dewasa ini. Bahkan hal ini terlihat dari gelombang kesadaran dunia medis yang juga kian berkembang dalam proses re-edukasi dan transformasi. Proses panjang yang sudah berlangsung tersebut kian mengkristal menjadi sebuah gerakan yang dinamis di dunia internasional dalam pelayanan kesehatan, penyembuhan dan keutuhan manusia (health, healing, wholeness).

Sehingga pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di rumah sakit, tidak hanya bersifat kuratif saja, melainkan lebih mengutamakan upaya promotif, preventif tanpa mengabaikan pelayanan yang bersifat rehabilitatif. Disamping itu, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak hanya terfokus pada upaya mengatasi gejala fisik saja, melainkan juga menekankan pada faktor mental atau kejiwaan, spiritual serta sosial. Dengan demikian, maka pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Rumah Sakit Umum Swasta (Kristen), benar-benar mengupayakan pasiennya dapat menjadi sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial secara komprehensif (holistik).

Penyembuhan holistik adalah menjadi ciri khas dan sekaligus menjadi jantung pelayanan yang telah dilakukan oleh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) Pelkesi. Dimana, Pelkesi sebagai organisasi Persekutuan Pelayanan Kesehatan Kristen untuk Kesehatan di Indonesia sejak lahirnya telah menyatakan bahwa penyembuhan yang holistik merupakan keharusan bagi unit-unit pelayanan kesehatan sebagai anggota Pelkesi. Salah satu implementasi pelayanan holistik yang dilaksanakan UPK Pelkesi adalah dalam pelayanan konseling pastoral. Dimana, konseling pastoral sudah menjadi dasar dan disadari sebagai bagian yang utuh dalam pelayanan kesehatan holistik (Bert A Supit, 2004. Penyembuhan Holistik). 

Dengan demikian, sesungguhnya unit konseling pastoral Pelkesi telah ikut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam mendorong pelayanan kesehatan jiwa Indonesia. Sebab semua upaya pelayanan kesehatan holistik yang dilakukan merupakan bagian yang sama dalam mendorong tercapainya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia. Semoga dengan semakin memaknai peran tersebut, Rumah Sakit Anggota (UPK) Pelkesi juga semakin menyadari bahwa banyak hal yang harus dipersiapkan dalam mendorong pengembangan peran unit konseling pastoralnya masing-masing. Jika UPK Pelkesi semakin siap dalam mengembangkan peran unit konseling pastoralnya, maka pada saat yang sama Pelkesi telah mengambil bagian dalam mendorong  terwujudnya pelayanan kesehatan jiwa yang purnabakti di Indonesia. Selamat mempertingati hari kesehatan jiwa.

No comments:

Post a Comment